Di Pulau Jawa dan Sumatera serta daerah, seperti Riau, Lombok, dan Madura, memang betul Islam adalah mayoritas. Namun, bagaimana dengan di Bali, NTT, Ambon, dan Papua, bukankah justru Islam-lah yang minoritas? Sementara di pulau-pulau besar lainnya, antara Islam dan non-Islam dalam posisi cukup berimbang. Lantas faktor apa yang bisa mengikat kita jika hendak terus bertahan dalam wadah Indonesia dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke yang satu untuk semua dalam kebinekaan?
Saat-saat kritis telah kita lewati, bagaimana mungkin gara-gara seorang Basuki, eksistensi kita sebagai negara bangsa nyaris tercabik-cabik. Jangan dikira keunggulan mayoritas Islam di Jakarta tidak segera ditandingi mayoritas non-Islam di wilayah lain. Beruntung sejarah kembali berulang. Jika dahulu menjelang kemerdekaan Republik ini kebesaran jiwa sejumlah tokoh Islam telah melahirkan Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara, kali ini kebesaran jiwa sejumlah tokoh Islam terlebih yang langsung terlibat di lapangan dalam demo 4 November dan 2 Desember 2016 kembali menampilkan wajah baru peradaban Indonesia sekaligus menyelamatkan negeri ini dari stigma Islam yang "menakutkan".
Lebih dari itu, keberanian dan ketulusan Presiden Joko Widodo yang hadir untuk shalat berjemaah bersama jutaan umat Islam di Monas telah membalik keadaan darikekhawatiran bakal terjadi tragedi dan malapetaka menjadi berkah yang tak ternilai harganya. Sudah barang tentu kesemuanya itu tidak lepas dari kedewasaan aparatur keamanan TNI dan Polri dalam mengawal dan mengamankan jalannya demo.
Besarnya desakan warga negara, khususnya kaumibu-ibu yang anaknya gugur atau cacat dalam perang di Vietnam, Amerika Serikat kemudian mengubah kebijakan dalam membendung komunisme, dari semula operasi militer diganti dengan operasi intelijen. Dalam kasus Indonesia, keberhasilan misi tersebut tidak bisa lepas dari karakter komunisme sebagai ideologi pendobrakan dan juga kepiawaian operator lapangan dalam mengadu domba antarkelompok masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebagaimana teori Clifford Geertz yang membagi masyarakat kita ke dalam tiga kelompok, yaitu priayi, santri, dan abangan.
Menjelang peristiwa G30S/PKI di sejumlah daerah, kader PKI membantai kiai dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) yang notabene adalah tetangga, guru mengaji, bahkan imam (pemimpin) shalat mereka sendiri. Begitu juga sebaliknya, pasca G30S/PKI, santri NU yang dengan sadar bersama kekuatan lain menghabisi nyawa tokoh dan anggota PKI yang tak lain juga tetangga, bahkan anggota keluarga atau famili dan kerabat mereka sendiri. Aneh tetapi nyata, bangsa yang agamais dan berbudaya adiluhung serta-merta berubah seolah menjadi tak beradab.
Yang pasti kemudian Bung Karno jatuh, kita kemudian masuk ke era baru di mana tatanan politik dan khususnya ekonomi kita beralih ke paham kapitalisme dengan cap ekonomi Pancasila. Pak Harto kemudian berhasil mengantar negeri ini bersiap diri untuk tinggal landas, sangat disayangkan "sial tak bisa dielakkan", di pengujung tahun 1997 dunia mengalami krisis moneter akibat gelembung (bubble) ekonomi. Indonesia kemudian dilanda krisis multidimensional dan dalam waktu singkat kerusuhan anti Tionghoa begitu serempak terjadi di banyak tempat.
Kembali lagi, serta-merta sebagai bangsa yang dikenal agamais dan budaya adiluhung sebagian karakternya berubah total menjadi penjarah dengan semangat anti Tionghoa. Pak Harto kemudian memilih mundur dan kita memasuki era demokratisasi.
Lantas siapa dalang yang sebenarnya atas kerusuhan sosial itu semua? Bukankah kita tahu siapa sesungguhnya yang diuntungkan dari serangkaian kerusuhan sosial tersebut? Biaya politik yang begitu besar, bahkan dibarengi dengan jatuh korban di antara anak bangsa dalam jumlah yang tidak kecil, dalam rentang 70 tahun ternyata rakyat banyak belum menikmati manfaat keberadaan negara sebagaimana mestinya.
Yang terjadi justru sebaliknya,kini rakyat terbebani oleh warisan masa lalu yang begitu berat akibat salah kelola kekuasaan negara, berupa rusaknya moral sebagian besar elite negeri ini, utang yang begitu besar dan kerusakan alam, sementara kekayaan alam hanya dinikmati oleh sekelompok orang kroni penguasa dalam dan luar negeri.
Cengkeraman kapitalisme brutal
Dalam era reformasi, negeri ini kemudian menganut paham "kapitalisme brutal". Atas nama demokrasi, rakyat boleh bicara sebebas-bebasnya, tetapi sumber daya alam dan uang tetap di tangan kelompok tertentu yang terang-terangan melakukan oligarki serta kartel kekuasaan dan ekonomi. Jika pada era Orde Baru konglomerat yang dibesarkan pemerintah sepenuhnya di bawah kontrol negara, dalam era reformasi yang terjadi sebaliknya, mereka dengan mudahnya bisa "membeli" penguasa, tak terkecuali jajaran keamanan dan hukum.
Disebut kapitalisme brutal karena sistem yang diterapkan tidak lagi peduli terhadap sebagian besar rakyat hidup dalam kesulitan dan sebagian lagi tak berdaya menghadapi capital violenceyang justru dilindungi negara. Bahkanuntuk kepentingan konglomerat "hitam", negara melakukan terorisme oleh negara (state terrorism). Penguasa tak lagi peduli bahwa mereka yang digusur adalah rakyatnya sendiri yang tidak pernah bisa memilih terlahir dari keluarga miskin. Praktik mafia dan kartel berkembang di semua lini kehidupan. Bahkan, Presiden Joko Widodo pada awal pemerintahannya menyimpulkan bahwa "mafia di mana-mana dan di mana-mana mafia".
Presiden Joko Widodo memang tidak hendak melanjutkan cara-cara lama. Nawacita sebagai kontrak sosial secara terang benderang hendak mengubah dan menghentikan hal-hal buruk yang terjadi pada masa lampau. Konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari adalah terancamnya eksistensi konglomerat "hitam", mafioso, pelaku kartel, sejumlah tokoh yang tersangkut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Century, koruptor kelas kakap, dan semua pihak yang terlibat proyek mangkrak. Begitu pula kebijakan amnesti pajak. Secara awam, amnesti pajak memang terbaca sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan anggaran, tetapi bagi pihak-pihak tertentu, pajak amnesti adalah ancaman nyata atas diri dan uang haramnya.
Menjadi mudah untuk dipahami kalau sebagian besar dari mereka hingga saat ini belum mau ikut program amnesti pajak. Dengan sadar mereka tahu bahwa dirinya akan selamat manakala Presiden Joko Widodo jatuh atau setidaknya Indonesia dilanda kerusuhan sosial apalagi berlatar belakang SARA sebelum batas akhir program amnesti pajak.
Kondisi menjadi lebih buruk lagi ketika konflik personel tokoh nasional tertentu dan juga persaingan politik dalam pilkada DKI makin menganga. Sudah barang tentu untuk sejumlah negara, program amnesti pajak yang kita tempuh juga sebagai ancaman kebangkrutan perekonomian mereka.Maka, sesungguhnya ada atau tidak ada kasus penistaan agama oleh Basuki, niscaya suhu politik dan keamanan akan mengalami gonjang-ganjing untuk menggoyang pemerintahan Jokowi. Menjadi lebih "laris manis" ketika muncul kasus yang sensitif, yaitu penistaan agama.
Hikmah kasus
Kasus Basuki membawa hikmah yang luar biasa, kini kita tahu kadar kebinekaan kita yang begitu rentan. Bangsa ini masih perlu kerja keras dalam membangun nasionalisme dan toleransi dalam kebinekaan. Di sanalah maka ke depan negara perlu memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam mendukung program-program pemerintah. Karena nasionalisme kekinian tidak mungkin tanpa bicara manfaat negara bagi segenap rakyat tanpa kecuali. Karena itu, sejumlah program pemerintah yang terkait dengan pembangunan rasa kebangsaan dan bela negara mutlak perlu diubah sesuai dengan tuntutan kekinian.
Kasus Basuki juga bukti konkret bahwa tokoh Islam mustahil akan rela ditunggangi oleh kepentingan pihak lain yang nyata-nyata telah mengantar Indonesia menjadi begitu amburadul yang kini sedang dibenahi oleh Presiden Joko Widodo. Maka, sepanjang hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya, niscaya ke depan tidak ada gejolak politik yang bersumber dari kasus Basuki.
Kekuatan rakyat yang begitu besar, tak terkecuali dari lingkungan Islam, adalah kekuatan nyata yang perlu disinergikan dengan program pemerintah. Pemberantasan narkoba, mafia dan kartel, sapu bersih pungutan liar dan suap, serta "perang" melawan korupsi mustahil akan berhasil tanpa dukungan nyata dari kekuatan rakyat terorganisasi. Bukankah dengan kondisi yang ada selama ini justru banyak pihak di jajaran pemerintah, legislatif, peradilan, dan termasuk di lingkungan TNI dan Polri kebagian rezeki dari perdagangan narkoba, praktik mafia, kartel, korupsi, pungli, dan suap itu sendiri.
Langkah berikutnya adalah pembenahan prosedur birokrasi pemerintahan dengan berbasis teknologi informasi agar munculnya peluang untuk melakukan praktik mafia dan kartel, serta suap, pungli, dan korupsi dapat dinihilkan.
Kasus Basuki semestinya menyadarkan kita semua bahwa ke depan sistem kenegaraan kita perlu segera dirombak agar negara melalui konstitusi dan perundang-undangan turunannya menjamin Indonesia yang bineka ini adalah wadah yang satu untuk semua dalam kebinekaan, bukan semua untuk sekelompok orang. Ketika frustrasi publik terakumulasi, maka kasus sekecil apa pun, apalagi yang terkait penistaan agama, otomatis akan menjadi besar yang hampir saja menggoyahkan eksistensi negara karena Basuki sesungguhnya hanyalah medium belaka.
Rasanya lucu kalau kita berharap lantai yang disapu bakal bersih, sementara sapu yang digunakan begitu kotornya. Bagaimana mungkin, kita berharap pabrik tahu bisa memproduksi keju... mimpi kali.
SAURIP KADI, MANTAN ASISTEN TERITORIAL KEPALA STAF TNI ANGKATAN DARAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar