Secara kuantitatif, sebagaimana dicatat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga 31 Oktober 2016, perkara korupsi menunjukkan kenaikan tajam dibandingkan 2015. Misalnya, penanganan tindak pidana korupsi tahap penyidikan naik dari 57 menjadi 81 kasus dan penuntutan naik dari 62 menjadi 70 kasus (Kompas, 17/12). Apabila ditambah perkara sampai hari terakhir 2016, kenaikannya pasti semakin memprihatinkan. Cacatan ini akan makin memprihatinkan apabila ditambahkan dengan data kejaksaan dan kepolisian.
Kenaikan itu, misalnya, berasal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap salah seorang deputi Badan Keamanan Laut dan seorang pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam batas penalaran yang wajar, sebagai kejahatan yang tidak mungkin bekerja dengan pelaku tunggal, kedua kejadian itu pasti melibatkan pelaku lain. Tambahan lain, banyaknya jejaring korupsi yang berada di sekitar kepala daerah yang terperosok dalam "pelukan" KPK.
Contoh paling mutakhir, hanya dalam hitungan jam menuju pergantian tahun, KPK disibukkan oleh OTT terhadap Sri Hartini, Bupati Klaten, Jawa Tengah, periode 2016-2021. Penangkapan ini terkait jual-beli jabatan dalam pengisian susunan organisasi dan tata kerja di lingkungan pemerintah daerah. Dari perspektif yang lebih luas, penangkapan Sri Hartini sekaligus menjadi bukti betapa perilaku koruptif-primitif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terus berlangsung.
Tiga penyebab
Sekalipun data yang disajikan itu hanya berasal dari catatan KPK, angka itu lebih dari cukup guna menggambarkan betapa agenda menghentikan praktik korupsi masih jauh dari berhasil. Padahal, menilik perjalanan waktu, pemberantasan korupsi telah menjadi agenda prioritas selama hampir dua dekade terakhir. Tak sebatas prioritas, pemberantasan korupsi pun dilakukan secara luar biasa (extraordinary).
Selama ini, salah satu penyebab yang sering dikemukakan dalam menjelaskan meruyaknya perilaku koruptif adalah kelemahan elementer dari materi hukum (legal substance). Sebagaimana acap kali saya kemukakan, salah satu kelemahan paling dasar adalah banyak aturan hukum yang tak jelas, memiliki makna ganda (multiinterpretasi), dan memihak pelaku korupsi. Namun disadari, secermat dan sebaik apa pun membuat UU, sulit keluar secara paripurna dari kelemahan tersebut.
Karena itu, meningkatnya perkara korupsi sepanjang 2016 menjadi tak cukup relevan hanya dijelaskan dari kelemahan materi hukum. Bagaimanapun, dalam bingkai penegakan hukum, materi hukum salah satu faktor yang dapat memengaruhi pemberantasan korupsi. Karena itu, di antara penyebab berikut dapat dikatakan memberikan kontribusi penting sulitnya membendung dan menghentikan laju korupsi. Tentunya, penyebab dimaksud memberi kontribusi pula meningkatnya perkara korupsi pada tahun-tahun sebelumnya, termasuk tahun 2016.
Pertama, perilaku koruptif telah menjadi praktik keseharian sehingga menjadi sulit membedakan antara perilaku koruptif dan perilaku yang seharusnya. Bahkan acap kali terdengar ungkapan "jika korupsi dihentikan, gerak pembangunan pun akan berhenti secara tiba-tiba". Bagi mereka yang menerima kebenaran ungkapan ini, korupsi dipandang semacam pelumas bergeraknya roda pembangunan. Oleh karena itu, di tengah masyarakat korupsi dianggap sesuatu yang umum, biasa dan tak dipandang sebagai bentuk kejahatan.
Bilamana pandangan di atas dikerucutkan menjadi perilaku menyimpang yang menjangkiti birokrasi, praktik suap di lingkungan birokrat benar-benar memiliki akar sejarah dalam membiaknya perilaku koruptif. Hasil penelitian Bruce Glassburner (1978) membuktikan betapa kebijakan pemerintah dan perilaku aparat menjadi akar meruyaknya praktik korupsi di Indonesia. Boleh jadi, perilaku koruptif sama sekali belum hilang sekalipun pemberantasan korupsi jadi agenda sentral hampir dua dekade terakhir. Setidaknya, sejumlah peristiwa sepanjang 2016 membuktikan betapa mengakarnya perilaku korupsi.
Karena itu, jangan kaget saat perilaku menyimpang memperdagangkan kuasa dan wewenang terkuak ke permukaan. Sangat mungkin perilaku itu masih amat mengalir dengan masif dalam penyelenggaraan negara. Bisa jadi, kejadian yang menimpa deputi Badan Keamanan Laut dan pejabat eselon III DJP serta sejumlah OTT KPK terhadap kepala daerah sepanjang 2016 hanya karena mereka bernasib sial. Artinya, peristiwa itu semacam puncak gunung es betapa masifnya praktik jual-beli kuasa dan wewenang.
Kedua, tindakan dan langkah pembaruan begitu mudah terjebak pada perilaku "hangat-hangat tahi ayam". Fakta empirik membuktikan, sejumlah skandal korupsi yang terkuak di lingkungan pemerintah hanya memiliki daya kejut dalam waktu terbatas. Seperti terjebak dalam sebuah pola: sebuah skandal segera menguap begitu skandal baru terkuak. Kecenderungan, terkuaknya skandal korupsi nyaris tak pernah menjadi momentum melakukan perubahan secara total. Biasanya, ketika pelaku yang bernasib sial dihukum, upaya untuk mengungkap jejaringnya tidak pernah dilakukan dengan serius. Padahal jamak dipahami bahwa korupsi, apalagi yang masuk kategori skandal, tidak mungkin dijalankan pelaku secara tunggal.
Menilik kasus tangkap tangan terhadap seorang pejabat eselon III DJP di atas, kejadian ini membuktikan bahwa proses hukum dan tindakan lain dalam skandal penggelapan pajak yang pernah dilakukan Gayus P Tambunan tak mampu sepenuhnya memberikan efek jera. Sangat mungkin pengulangan kasus di lingkungan DJP disebabkan gagalnya melakukan upaya terus-menerus "menjaga" makna efek jera penjatuhan hukuman bagi Gayus. Lebih dari itu, tidak tertutup pula, perilaku serupa belum sepenuhnya berhenti.
Ketiga, selain kedua faktor di atas, penyebab lain tidak mudah mengurangi dan menghentikan laju praktik korupsi dipicu oleh penjatuhan hukum (vonis hakim) yang jauh dari memadai untuk mampu memberikan efek jera. Bukti paling menonjol, sejak 2013, secara umum, pengadilan menjatuhkan vonis semakin hari makin ringan. Bahkan, akhir-akhir ini, vonis bagi mereka yang melakukan korupsi berada di kisaran dua tahun. Celakanya, kecenderungan penurunan ini terjadi sejak pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi daerah. Padahal, sebagai bagian menimbulkan efek jera, UU pemberantasan tindak pidana korupsi memberikan ruang untuk menjatuhkan hukuman secara maksimal.
Sebagai contoh, dalam hal seseorang tersangkut tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat (1) UU No 31/1999, UU memberi ruang untuk menjatuhkan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Begitu pula dengan Pasal 3 UU No 31/1999, UU memberi ruang menjatuhkan pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun. Sekalipun kedua pasal memberi ruang untuk menjatuhkan pidana minimal satu tahun, penjatuhan hukuman harus selalu diletakkan dalam bingkai pesan efek jera memberantas korupsi. Karena pesan penjeraan itu, UU No 31/1999 memberi ruang menjatuhkan pidana mati apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
Sejumlah pengalaman menunjukkan, penjatuhan pidana rendah diikuti dengan kemudahan lain yang dinikmati mereka yang dipidana. Kemudahan dimaksud adalah adanya ketentuan selama melaksanakan hukuman memiliki kesempatan menghuni rumah tahanan lebih singkat dari vonis hakim. Bahkan, berkaca dari sejumlah kasus, dengan kemampuan keuangan yang dimiliki terpidana korupsi, rumah tahanan tidak cukup memberikan efek penjeraan. Sebagian di antara terpidana mudah menikmati segala macam kemewahan, termasuk mangkir dari rumah tahanan sebagaimana yang pernah dilakukan Gayus Tambunan.
Tidak kalah mengkhawatirkan, bekas narapidana korupsi diberi ruang untuk ikut kontestasi politik begitu selesai menjalani masa hukuman. Dengan kemudahan itu, sebagian mereka yang pernah dipidana kasus korupsi dengan mudah mengikuti kontestasi politik. Jalan mudah berkiprah kembali di panggung politik meruntuhkan misi politik menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Disadari atau tidak, segala kemudahan tersebut membuat banyak kalangan tidak takut melakukan korupsi.
Jalan keluar
Sebagai catatan awal tahun, perlu disadari, labirin perilaku koruptif sangat mungkin kian menggila sepanjang 2017. Untuk itu, haruslah ditemukan jalan keluar dari labirin perilaku koruptif yang telah lama menjadi virus perusak yang terus membelit dan melilit negeri ini. Melihat daya rusak yang ditimbulkan, tak cukup lagi dengan mengimbau agar menghentikan perilaku koruptif. Untuk itu, mereka yang diberikan wewenang mengelola kepentingan publik apabila terbukti melakukan korupsi, hukuman harus mampu memberikan efek jera.
Begitu juga bagi pelaku korupsi karena ketamakan, hukuman maksimal harus mampu menjangkau dan memiskinkan pelaku korupsi. Tak berhenti sampai pelaku, penegakan hukum harus mampu membongkar jejaring pelaku korupsi secara tuntas. Selama hanya berfokus pada pelaku, koruptor mungkin saja menggunakan pihak lain sebagai tempat menyimpan harta hasil korupsi. Karena itu, langkah serius mengejar dan membongkar semua pihak yang jadi jejaring koruptor menjadi pilihan yang tak terhindarkan.
Sementara itu, bagi pelaku politik yang terbukti melakukan korupsi, hukuman tidak cukup dengan pidana badan dan pemiskinan, tetapi harus berani juga mencabut hak politik mereka. Tanpa itu, politisi yang pernah dihukum karena terbukti korupsi akan tetap memiliki ruang "merampas" panggung politik. Tanpa keberanian mencabut hak politik, banyak kalangan percaya, suatu waktu nanti panggung politik negeri ini akan dikuasai oleh bekas pelaku korupsi. Saya termasuk orang yang percaya: pidana maksimal dan memangkas segala kemudahan dapat menjadi strategi ampuh keluar dari jebakan labirin praktik korupsi di kalangan politisi.
SALDI ISRA, PROFESOR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Labirin Praktik Korupsi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar