Kita mengetahui bahwa ada sejumlahmegatrend di awal abad ke-21 ini, seperti transformasi demografi, lompatan teknologi, gelombang urbanisasi, dan makin meluasnya globalisasi.
Sementara itu, pada tahun 2016 dunia memiliki banyak unknowns, misalnya kita belum tahu apakah Inggris jadi keluar dari Uni Eropa (Brexit), siapa yang akan menjadi presiden Amerika Serikat Hillary Clinton atau Donald Trump, dan apakah Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) tetap kuat atau semakin lemah posisinya di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kini unknowns tersebut banyak yang sudah mendapatkan jawabannya. Melalui artikel ini, saya akan fokus pada dua hal. Pertama, perkembangan dan dinamika geopolitik dan geoekonomi yang bisa terjadi pada tahun 2017 dan tahun-tahun berikutnya. Sementara yang kedua, game changers apa yang bakal memiliki daya ubah yang tinggi pada tingkat global dan kawasan.
Tiga front besar geopolitik
Di arena geopolitik, dunia masih menghadapi tiga front besar, yaitu situasi di Timur Tengah dan Afrika Utara, perkembangan di Asia Timur dan Asia Tenggara, khususnya konflik di Laut Tiongkok Selatan, dan meningkatnya aksi-aksi terorisme di Eropa.
Khusus di Timur Tengah dan Afrika Utara, penentu utamanya adalah Suriah dan NIIS. Jika ada perbaikan situasi keamanan di Suriah, dunia bisa menjadi lebih lega. Jika Amerika Serikat dan negara-negara Barat mulai disengagedatau tidak melibatkan diri lagi atas konflik Suriah, bola ada di tangan Bashar al-Assad, Rusia, Iran, dan Turki.
Jika Suriah bisa mengontrol kembali wilayahnya pasca ofensif besar di Aleppo bersamaan dengan melemahnya kaum pemberontak (oposisi) dan NIIS, secara signifikan keamanan di Suriah akan membaik.
Jika memang kekuatan dan gerakan konvensional NIIS benar-benar melemah, situasi di keseluruhan kawasan secara gradual juga akan berubah. Namun, saat ini terlalu dini untuk mengatakan bahwa perbaikan situasi itu pasti akan terjadi.
Yang dikhawatirkan adalah melemahnya perlawanan NIIS di Timur Tengah dan Afrika Utara justru akan meningkatkan aksi-aksi terorisme di Eropa bahkan di bagian dunia yang lain.
Sementara itu, terpilihnya Rodrigo Duterte menjadi Presiden Filipina yang baru memang telah mengurangi ketegangan di Laut Tiongkok Selatan. Namun, Filipina bukanlah negara penentu, sungguh pun negeri itu berada di garis depan konflik.
Masih ada yang lebih menentukan, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok. Kita harus menunggu seperti apa sikap dan manuver Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump kelak. Makin memanasnya situasi konflik di Laut Tiongkok Selatan sudah barang tentu akan berpengaruh pada wilayah ASEAN, di mana Indonesia berada.
Tren dan realitas geoekonomi
Di bidang geoekonomi, kita mengamati sejumlah kecenderungan dan realitas. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan sedikit lebih baik dari tahun 2016, tetapi belum sepenuhnya pulih dari krisis besar tahun 2008-2009.
Kawasan Asia dengan motor penggerak Tiongkok juga masih akan mengalami tekanan kendati ekonomi ASEAN diperkirakan akan lebih baik. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang jauh lebih rendah dari era kejayaannya dulu tentu menjadi berita kurang baik bagi mitra-mitranya yang memiliki kerja sama ekonomi yang signifikan, termasuk Indonesia.
Nasib negara-negara yang pasarnya masih bertumbuh (emerging markets), termasuk Indonesia, juga belum pulih benar dari perlambatan ekonominya.
Kabar yang sedikit menggembirakan adalah ekonomi Indonesia punya peluang untuk menggeliat denganoutlook yang stabil. Menurut pandangan saya, hal ini dimungkinkan karena di samping akan ada perbaikan harga-harga komoditas pertanian dan minyak, Indonesia juga menjanjikan berbagai peluang investasi.
Dengan uraian tentang kecenderungan global, sejumlah unknowns dan perkembangan geopolitik dan geoekonomi yang telah saya kedepankan tadi, ada lagi yang mesti kita lihat baik-baik, yaitu game changers.
Dari sejumlah game changers, mari kita amati apa yang kira-kira akan dilakukan oleh empat pemimpin dunia, yaitu Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Kanselir Jerman Angela Merkel.
Kecuali Donald Trump, kebetulan saya mengenal secara pribadi para pemimpin dunia itu sehingga sedikit banyak saya mengetahui kepribadian, visi, dan pikiran- pikirannya.
Jika Trump menjalankan politik luar negeri yang lebih "keras" dan hostile(bermusuhan) terhadap Tiongkok, sebagaimana yang diretorikakan dalam kampanye pemilihan presiden yang lalu, geopolitik di kawasan Asia bakal makin panas.
Situasi keamanan mulai semenanjung Korea, Asia Timur, hingga Laut Tiongkok Selatan juga akan lebih rawan, bahkan berbahaya. Faktornya bukan hanya terletak pada Donald Trump yang tindakannya bisa saja tak terduga, melainkan juga pada Xi Jinping yang kita kenal sebagai pemimpin yang "keras" dan memiliki mimpi besar bagi kejayaan Tiongkok pada abad ke-21 ini.
Faktor Putin juga memiliki pengaruh yang sangat kuat (powerful). Bukan hanya urusan Suriah, melainkan juga untuk Eropa bahkan Asia Timur. Putin juga merasa memiliki kewajiban moral untuk mengembalikan kejayaan Rusia yang susut sejak berakhirnya Perang Dingin 25 tahun yang lalu.
Pernyataan baik Trump maupun Putin baru-baru ini tentang perlunya kekuatan nuklir yang tangguh bagi negaranya masing-masing telah memunculkan kecemasan baru bagi dunia.
Sementara itu, masa depan Angela Merkel, tokoh terkuat dan berpengaruh di Eropa, juga akan memiliki implikasi bagi dunia, utamanya kawasan Eropa. Jika Merkel tetap kuat, kebijakannya yang pro imigran akan tetap berlaku meskipun barangkali akan mengalami penyesuaian.
Kita tahu bahwa gelombang imigran ke Eropa ini menjadi masalah yang rumit dan sensitif di lingkungan Uni Eropa bukan hanya menyangkut aspek kedaulatan dan keamanan, melainkan juga ekonomi.
Kesalahan dalam mengelola eksodus kaum migran ini dapat menimbulkan ancaman baru di bidang keamanan, termasuk terorisme.
Tentu masih banyak nama pemimpin dunia yang bisa menjadi game changersdi masa depan, tetapi itulah yang paling perlu untuk kita amati.
Fenomena lain yang menarik perhatian masyarakat internasional satu-dua tahun terakhir ini adalah gejala, mungkin juga kecenderungan, makin meningkatnya nasionalisme, proteksionisme, dan akhir- akhir ini "penolakan" (rejection) terhadap konsensus global yang telah disepakati.
Sikap dan pandangan yang makin nasionalistik dapat diamati misalnya keluarnya Inggris dari Uni Eropa, sikap Donald Trump yang boleh dikatakan nasionalistik, termasuk dalam batas-batas tertentu juga Xi Jinping dan Vladimir Putin.
Ancaman proteksionisme
Proteksionisme juga memiliki tendensi yang meningkat. Kendati dalam forum global, seperti G-20 dan APEC, semua pemimpin beretorika menolak proteksionisme, kenyataannya kebijakan yang proteksionis di sana-sini masih dianut.
Yang tergolong baru adalah munculnya penolakan atau sikap yang berbeda dari sejumlah pemimpin dunia terhadap berbagai konsensus global. Sebagai contoh, jika tidak ada perubahan, di bawah Trump Amerika Serikat tidak lagi menjadi champion perubahan iklim.
Trump juga bisa menarik diri dari TPP (Trans-Pacific Partnership) yang justru inisiator dan yang paling berkepentingan adalah Amerika Serikat sendiri. Semangat dunia untuk mengurangi senjata nuklir bisa mundur kembali dengan tekad Trump dan Putin untuk mempertahankan bahkan meningkatkan senjata-senjata nuklir mereka.
Sementara itu, jika negara-negara di Eropa lebih mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing, tentu masa depan Uni Eropa akan menghadapi tantangan baru.
Hal seperti ini juga bisa terjadi di ASEAN. Kohesi dan peran sentral ASEAN di kawasan Asia bisa melemah jika kepedulian dan komitmen para pemimpin ASEAN terhadap kemitraan dan kerja sama subkawasan melemah.
Kalau hal-hal seperti ini terjadi, upaya banyak negara untuk membangun arsitektur kerja sama regional yang bisa menghadirkan stabilitas dan keamanan kawasan serta kerja sama ekonomi yang kuat dan terus meningkat bakal mengalami kemunduran.
Jika sikap dan perilaku nasionalistik, proteksionis, dan membatalkan berbagai kesepakatan regional dan global terjadi pada tahun 2017, tatanan dunia baru tengah dibangun kembali. Yang perlu diingat, perubahan tata world orderselalu menghadirkan instabilitas dan ketidakpastian karena memang demikianlah hakikat sebuah perubahan besar yang kompleks.
Bagi Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah antisipatif menghadapi perkembangan dan dinamika lingkungan strategis ini agar kepentingan nasional dapat senantiasa kita lindungi dan penuhi.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Presiden Republik Indonesia 2004-2014
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Lingkungan Strategis dan 2017".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar