Paling kentara, tentu saja, isu penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Kejadian itu menciptakan efek yang luar biasa. Saya sebut luar biasa mengingat eskalasi publik yang besar.
Secara awam, saya melihat gerakan ini memiliki efek yang berkepanjangan di media sosial ataupun perbincangan pada skala publik lebih kecil, yaitu rumah tangga. Saya pribadi melihat ini sebagai sesuatu yang mendasar sekaligus memiliki efek interdependensi.
Saya sebut mendasar dengan alasan bahwa tuntutan penodaan agama oleh komunal Islam, yang di Indonesia mayoritas, sebagai sesuatu yang wajar dan konstitusional di negara yang demokratis. Sementara di sisi lain, peristiwa tersebut juga memiliki efek interdependensi yang buruk pada tegaknya negara Indonesia sebagai negara yang bineka tunggal ika. Lalu, mengapa interdependensi buruk ini bisa terjadi?
Peristiwa interdependensi adalah sebuah peristiwa yang saling terkait satu dengan yang lain. Seperti sistem sebuah mobil, mesin menyala karena ada busi, busi bisa hidup karena ada aki, aki bisa mengalirkan listrik karena ada starter, dan seterusnya.
Interdependensi buruk
Kembali ke bahasan di atas, saya menyebutnya interdependensi yang buruk, dengan mendasarkan pada efek yang timbul. Paling tidak dapat dilihat melalui tiga kategori. Pertama, media sosial yang merupakan refleksi publik paling aktual di era high technology based. Kedua, peristiwa aksi publik sebagai refleksi pada dunia nyata. Yang terakhir, cacatnya administrasi publik sebagai refleksi peran negara.
Di media sosial, saya mengumpulkan tidak kurang dari 100 isu yang mengatasnamakan sengketa keberagaman. Pergulatan antara pihak satu dan yang lain melalui rekayasa gambar, ujaran kebencian, dan juga faksi politik. Melalui pemahaman yang telanjang, kita bisa melihat langsung bagaimana permusuhan antar- pihak di media sosial. Sebut saja, satu pihak menuduh A adalah orang kafir, sedangkan yang lain menuduh B sebagai pihak yang terinjak-injak martabat agamanya. Situasi ini bertambah runyam tatkala ditambahi bumbu hujatan dan fitnah. Lihat saja di media sosial sekarang.
Lain lagi dengan aksi publik baru-baru ini. Oknum ormas menghentikan perayaan keagamaan di Bandung atausweeping yang dilakukan oknum ormas di sebuah kafe yang disinyalir menjual minuman keras di Solo. Aksi publik ini semakin menambah kentara goyahnya kemapanan keberagaman di Indonesia.
Hal ini diperparah oleh adanya cacat administrasi yang dilakukan oknum birokrat yang seharusnya bertugas mengawal tegaknya keberagaman. Saya mencatat paling tidak ada dua peristiwa, yaitu keluarnya sebuah produk kebijakan berupa surat edaran oleh Kapolresta Bekasi dan Kapolres Kulon Progo tentang atribut natal yang rujukannya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di luar surat edaran tersebut memiliki tujuan yang benar atau salah, ini jelas janggal, sebuah produk kebijakan mengacu pada fatwa MUI yang bukan merupakan produk hukum positif.
Saya melihat ketiga kategori tersebut sebagai sebuah peristiwa interdependensi. Seseorang berbicara di media sosial disebabkan oleh kesadaran faktual mereka sehingga berkembang menjadi isu publik, lalu itu mendorong ormas tertentu mengambil timing untuk melakukan aksi yang mereka anggap benar. Adapun kebijakan yang dibuat oleh dua unsur pimpinan polisi setingkat kabupaten/kota, saya menebak, dimaksudkan untuk tindakan preventif pada isu yang sama walaupun sesungguhnya salah kaprah. Itu semua dapat terjadi disebabkan oleh cacatnya sistem administrasi publik.
Peran administrasi publik
Administrasi publik lahir pada tahun 1886 saat Woodrow Wilson —Presiden Amerika Serikat saat itu—menulis sebuah jurnal tentang ilmu administrasi publik. Isi dari jurnal tersebut salah satunya adalah ia mengingatkan perlunya sebuah administrasi publik yang pro terhadap keberagaman.
Artinya, administrasi publik, dalam hal ini birokrasi, harus berfungsi sebagai mesin, yang memiliki jiwa kemanusiaan, untuk memastikan tegaknya keberagaman di suatu negara yang demokratis. Bagaimana caranya? Metodenya tentu saja berkembang sejak dulu hingga sekarang saat dunia telah mengenal penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan e-government.
Dalam konteks Indonesia saat ini, saya melihat adanya sumbatan pada sistem administrasi publik yang sedang berjalan. Presiden Joko Widodo dengan jargonnya‚ revolusi mental, memiliki subprioritas program, yaitu menjaga kebinekaan, tetapi ternyata itu tidak terlaksana sampai pada tingkat eksekusi. Buktinya sudah saya sampaikan pada deskripsi di atas.
Lalu, bagaimana pemerintah harus bersikap melihat situasi sekarang? Hemat saya, pemerintah harus kuat dalam penegakan hukum dan e-government tools.
Instrumen hukum dan manusianya harus linier untuk sepakat menciptakan efek hukum terhadap publik. Efek yang dimaksud adalah efek jera. Penegakan hukum yang kuat akan secara tidak langsung menggiring logika publik untuk sadar bahwa pelanggaran terhadap statuta keberagaman memiliki efek pada individu. Publik akan mawas diri ketika akan mengambil tindakan yang bersentuhan pada eksistensi kemapanan keberagaman.
Keguncangan terhadap mantapnya keberagaman di negara kita diawali maraknya isu liar yang bergulir bebas di media sosial. Pemerintah alpa terhadap pelanggaran hukum yang terjadi di media sosial. Jika pun ada penindakan, itu tidak berlaku secara sistemik. Saya tidak bermaksud mengajak pemerintah untuk mengontrol pendapat publik di media sosial secara masif, tetapi lebih pada penerapan hukum yang sama terhadap aktivitas media sosial.
Di wilayah ilmu administrasi publik, isu ini sedang naik daun di semua negara, yaitu bagaimana pemerintah hadir di dunia baru kesadaran publik, yaitu media sosial. Di masa depan, kesadaran publik mungkin saja 100 persen ada di media sosial atau electronic based. Negara harus mempersiapkan hal ini.
Secara praktis pemerintah sebaiknya menunjukkan kepada publik penindakan hukum yang dilakukan terhadap oknum yang mencederai keberagaman. Tindakan ini juga bentuk terobosan akuntabilitas bersifat langsung.
Di sisi lain, pemerintah dapat membuat instrumen baru yang sistemik untuk mengontrol ruang publik dengan tetap berasaskan demokrasi. Praktisnya, membuat instrumen e-government yang mampu melakukan tindakan preventif terhadap ancaman keberagaman.
Segera membuat peraturan, seperti membuat peraturan turunan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang applicable oleh polisi dan penegak hukum lain dengan tetap menjaga marwah negara Pancasila yang bebas, akuntabel, dan melindungi kepentingan publik.
Siapa yang harus memulainya? Tentu saja Presiden Jokowi.
AGUNG TRI WIBOWO, PENELITI PUSAT KAJIAN ILMU ADMINISTRASI (PUSKA ADM), FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA; PROGRAM MASTER DAN DOKTORAL UNIVERSITE PANTHEON SORBONNE, PERANCIS, JURUSAN HUKUM ADMINISTRASI PUBLIK PERBANDINGAN (2015-2021)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Refleksi Administrasi Publik untuk Keberagaman".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar