Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi yang menyambut langkah penyelesaian konflik Suriah yang digagas Rusia dan Turki. Resolusi itu dibuat menyusul gencatan senjata yang disebut ditandatangani 11 kelompok pemberontak.
Bahkan, Pemerintah Suriah dan kelompok pemberontak akan bertemu di Astana, Kazakhstan, bulan Januari ini. Pertemuan ini digagas Rusia dan Iran, pendukung utama Presiden Bashar al-Assad, dan Turki selaku pendukung kelompok oposisi.
Namun, belum lagi perundingan dimulai, pesawat dan artileri Turki menyerang sasaran Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang menewaskan 22 orang. Sumber militer Turki, Senin (2/1), menyebutkan, pesawat Rusia mengebom kawasan Dayr Kak yang dikuasai NIIS, sekitar 8 kilometer barat daya kota Al-Bab. Sebelumnya, NIIS mengakui telah meledakkan bom di kota Tartous, di pesisir Suriah dan menewaskan dua aparat keamanan.
Perdana Menteri Perancis Bernard Cazeneuve meminta Rusia untuk menghentikan aksi militernya di Suriah guna menghormati gencatan senjata yang rapuh. "Kami tegas menolak setiap tindakan Rusia di Suriah yang dapat membuat pertempuran terus berlangsung," katanya.
Bukan hanya kali ini gencatan senjata dibuat oleh pihak luar untuk Suriah. PBB, Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan negara-negara di Timur Tengah berkali-kali mengupayakan gencatan senjata, tetapi gagal.
Sebenarnya, sejak gencatan senjata ini digagas akhir Desember lalu lewat pertemuan di Astana, sudah muncul kekhawatiran serupa. Sejumlah kelompok mempertanyakan perubahan dokumen yang oleh Rusia diajukan untuk dibahas di Dewan Keamanan PBB.
Upaya menyelesaikan konflik di Suriah terus dilakukan, tetapi sejauh ini belum terlihat hasilnya. Meskipun Rusia dan Turki sudah bisa duduk bersama, tidak adanya sikap saling percaya antara pemerintah dan kelompok oposisi membuat upaya itu seperti mengurai benang kusut.
Keterlibatan banyak negara asing yang terlalu dalam sejak konflik berkecamuk membuat kelompok oposisi dan pemerintah seperti kehilangan pegangan. Apalagi, perubahan sikap Turki yang membuat kelompok oposisi seperti kehilangan induk.
Apalagi, Rusia dan Turki tidak melibatkan AS dan negara-negara Arab dalam upaya mutakhir penyelesaian konflik tersebut. Padahal, AS dan negara di kawasan, kecuali Iran, merupakan pendukung utama kelompok oposisi. Apakah konflik Suriah akan selesai tanpa AS? Pertanyaan ini yang coba dijawab Rusia bersama Turki dengan rencana menggelar pertemuan di Astana.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Menunggu Hasil dari Astana".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar