Mitra dagang dimaksud adalah Tiongkok. Nilai hubungan dagang Indonesia dengan Tiongkok lebih besar daripada hubungan dagang dengan Amerika Serikat ataupun Uni Eropa. Atas dasar ini, Presiden berpendapat bahwa sebaiknya kita meninggalkan penggunaan dollar AS dan menggantinya dengan yuan atau renminbi sebagai tolok ukur. Sehari setelah itu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution membuat pernyataan bahwa itu bukan yang dimaksud Presiden, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksudkan.
Menurut saya, pernyataan tersebut bukan hanya reaksi sesaat yang boleh diabaikan. Mengapa? Karena ini bukan satu- satunya ataupun yang pertama disampaikan pemerintah. Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan dari kabinet sebelum dilakukan perombakan (reshuffle) pernah mengusulkan digunakannya renminbi dalam perdagangan antarnegara- negara ASEAN dalam fora resmi. Demikian pula Presiden Jokowi dalam Pertemuan Puncak ASEAN dengan mitra dialognya.
Sebagaimana diketahui, hubungan perdagangan dan investasi Indonesia dan banyak negara lain di Asia dan kawasan lain dengan Tiongkok memang terus meningkat, apalagi semenjak dunia dilanda resesi berkepanjangan (the great recession) setelah krisis keuangan 2008/2009. Kemudian IMF memasukkan renminbi sebagai dasar nilai danareserves ciptaan IMF yang dikenal sebagai SDRs (special drawing rights). Pengumumannya dilakukan lebih dari setahun lalu, sedangkan peresmiannya awal Oktober 2016. Dengan keputusan ini, renminbi masuk dalam mata uang kelas elite bersama dollar AS, poundsterling, euro, dan yen.
Atas dasar hal itu, apa yang dinyatakan Presiden yang didampingi sejumlah menteri ekonomi di depan seratus ekonom itu tentu bukan keseleo lidah (slip of the tounge) dan memang beralasan. Akan tetapi, saya punya pendapat yang agak berbeda dalam permasalahan ini.
Peran ekonomi Tiongkok
Perkembangan ekonomi Tiongkok memang luar biasa sejak dilancarkannya kebijakan ekonomi PM Deng Xiaoping, dikenal sebagai ekonomi sosialis dengan karakteristik Tiongkok, akhir 1970-an. Ekonomi Tiongkok tumbuh dua digit setiap tahun selama tiga dasawarsa dua tahun yang lalu.
Melampaui posisi Jepang, menjadi nomor dua terbesar di dunia tahun 2010. Kalau digunakan ukuran paritas daya beli (purchasing power parity), ekonomi Tiongkok sudah terbesar di dunia tahun lalu. Dengan menggunakan nilai nominal PDB, ekonomi Tiongkok akan menjadi nomor satu sekitar 10 tahun lagi.
Sejak menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001, dua tahun kemudian nilai perdagangan Tiongkok 4 triliun dollar AS, terbesar di dunia, melampaui AS. Pada waktu perekonomian negara-negara maju mengalami kelesuan dalam resesi yang berkepanjangan sebagai akibat dari krisis keuangan dunia 2008-2009, ekonomi Tiongkok menjadi penyelamat banyak perekonomian, terutama negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam, termasuk Indonesia. Sejak itu, banyak negara, termasuk Jepang dan Korea Selatan, yang mengalami perubahan dalam posisi hubungan perdagangan, di mana Tiongkok menjadi mitra dagang terbesarnya.
Bersamaan dengan hal itu, Tiongkok menjadi pengumpul cadangan devisa terbesar dan pemegang terbesar utang AS. Devisa yang terkumpul melampaui 4 triliun dollar AS dan kebanyakan dalam aset dollar AS. Ini salah satu unsur yang mendorong IMF mengakui bahwa renminbi selayaknya menjadi bagian dari SDR.
Tiongkok sendiri, mulai dengan masuknya menjadi anggota WTO, terus berupaya meningkatkan hubungan perdagangan, investasi, dan ekonomi-keuangan di dunia, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang menyaingi Bank Dunia beberapa waktu lalu, dan meningkatnya peran dalam pembangunan di negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia, semua melambungkan peran Tiongkok dalam hubungan perdagangan, ekonomi-keuangan Tiongkok dengan negara-negara lain di seluruh dunia.
Dalam hubungan perdagangan dan investasi yang dikembangkan ini, peran renminbi sebagai alat pembayaran juga terus meningkat. Tiongkok juga membiarkan digunakannya renminbi sebagai alat pembayaran secara internasional. Pemerintah Tiongkok juga mendorong dijadikannya renminbi mata uang yang diperdagangkan di pusat-pusat keuangan internasional London dan Singapura. Semua yang disebut itu merupakan unsur yang mendorong kian besarnya peran renminbi dalam sistem pembayaran dunia dan posisi renminbi sebagai bagian cadangan devisa.
Di Indonesia, antara lain karena kurangnya pemahaman tentang arti sesungguhnya dari status renminbi menjadi bagian dari SDR telah menumbuhkan persepsi di pasar yang berlebihan. Hampir dua tahun lalu ada pengamat finansial yang memprediksikan dalam waktu singkat renminbi akan menggantikan kedudukan dollar AS menjadi mata uang dunia.
Renmimbi sebagai tolok ukur?
Seandainya pernyataan Presiden Jokowi dikemukakan waktu cadangan devisa Tiongkok mencapai 4 triliun lebih seperti setahun lalu dan negara ini masih pemegang obligasi AS paling besar (kini sudah tidak lagi) serta renminbi resmi jadi bagian dari SDR dan tak ada kekhawatiran perubahan sikap AS, mungkin lebih mudah untuk diterima. Namun, saya mengamati perkembangan yang kurang mendukung pendapat itu dewasa ini.
Salah satu alasannya adalah meningkatnya ketidakpastian dengan Donald Trump menjadi presiden AS, 20 Januari nanti. Tidak seperti dipersepsikan banyak orang, implikasi dari kebijakan yang berubah dari Pemerintah AS dan The Fed terhadap perekonomian Tiongkok tampaknya tidak banyak berbeda dengan negara-negara berkembang lain.
Perekonomian Tiongkok juga mengalami tekanan seperti Indonesia dan negara-negara berkembang lain yang menghadapi terjadinya arus balik modal dan dana yang selama ini tertanam di negara- negara tersebut karena kondisi ekonomi AS yang lebih lemah. Keputusan The Fed menaikkan Fed funds rate medio Desember lalu dan akan dilanjutkan dengan kenaikan tiga kali lagi pada 2017 mengubah ekspektasi pasar terhadap perekonomian AS.
Hal itu diperkuat oleh lebih besarnya kemungkinan terjadi peningkatan pengeluaran investasi infrastruktur dan pengeluaran pada umumnya karena pemotongan pajak korporasi dan pendapatan ataupun liberalisasi yang probisnis.
Semua perkembangan itu mendorong menguatnya dollar AS terhadap semua mata uang di dunia yang sedang berlangsung dan besar kemungkinan akan berlanjut. Dollar AS yang menguat atau mata uang negara-negara berkembang yang melemah mendorong arus balik modal. Dalam pada itu, kebijakan Trump yang merkantilis, proteksionistis akan menimbulkan implikasi bahwa melemahnya mata uang negara-negara lain terhadap dollar AS kemungkinan tak akan berdampak pada meningkatnya ekspor negara-negara tersebut.
Yang disebut itu bukan analisis teoretis. Kecenderungan itu sudah tampak dari sejumlah laporan dan analisis yang dibahas Financial Times. Cadangan devisa Tiongkok 4 triliun dollar AS lebih pada 2015. Dewasa hanya sedikit lebih besar dari 3 triliun dollar AS. Artinya, dalam setahun terjadi pengurangan luar biasa yang tentu mengkhawatirkan. November lalu, dalam sebulan terjadi penurunan cadangan sekitar 70 miliar dollar AS, sangat besar bahkan buat Tiongkok.
Analisis sejumlah kalangan menunjukkan, keluarnya aliran dana ini sebagian karena intervensi yang sengaja dilakukan Bank Sentral Tiongkok (PBOC) untuk mengurangi laju depresiasi renminbi yang cepat. Sebagian lain karena pembayaran kembali pinjaman korporasi yang membengkak dan pelarian modal. Hal ini tampak, misalnya dari kegiatan merger dan akuisisi (MA) dan transaksi yang agak di luar kebiasaan seperti adanya over pricing, pembayaran jasa-jasa asuransi yang sangat besar, pembelian properti dan perusahaan di luar negeri di berbagai sektor oleh pemodal Tiongkok merupakan tanda-tanda terjadinya kegiatan yang sebenarnya pelarian modal secara terselubung.
Pemerintah Tiongkok juga kembali melaksanakan berbagai langkah pengendalian modal (capital control) dengan membatasi besarnya dana untuk pembayaran dividen buat pemilik saham asing, pembatasan izin dan besarnya penanaman modal di luar negeri bagi pemodal Tiongkok. Semua ini mengisyaratkan ada perasaan waswas dari dunia usaha Tiongkok yang kemudian melakukan tindakan penyelamatan modal (flight to safety) dan kemudian dihadapi otoritas dengan upaya pencegahannya.
Masyarakat kita kurang paham kondisi yang berkembang dalam perekonomian Tiongkok. Misalnya tentang besarnya pinjaman resmi pemerintah yang masih dalam kondisi yang aman (sekitar 40 persen terhadap produk domestik bruto). Tak jelas apakah di dalamnya sudah termasuk pinjaman pemerintah provinsi yang juga tinggi dan meningkat waktu semua berlomba membangun infrastruktur dan properti beberapa tahun terakhir dengan pembiayaan mengandalkan pinjaman shadow banksyang kurang jelas pengaturannya.
Selain itu, terjadi peningkatan pesat pinjaman korporasi dua tahun terakhir sehingga IMF mengeluarkan peringatan karena pinjaman korporasi 145 persen dari PDB. Ini menyebabkan pinjaman Tiongkok secara keseluruhan mencapai 225 persen dari PDB. Bukan seperti digambarkan beberapa pihak di Indonesia, rasio pinjaman terhadap PDB Tiongkok juga tinggi seperti kebanyakan negara Barat.
Karena itu, untuk mengubah tolok ukur sebagai panduan berusaha buat Indonesia dari dollar AS ke renminbi, kalaupun akan dilakukan seyogianya bukan sekarang ataupun dalam waktu singkat. Keputusan penting ini harus didahului kajian yang mendalam, menyangkut semua informasi yang relevan apa untung-ruginya bagi perekonomian nasional, bukan perhitungan sesaat ataupun untuk kepentingan mikro atau kelompok.
J SOEDRADJAD DJIWANDONO, GURU BESAR EKONOMI EMERITUS, UNIVERSITAS INDONESIA DAN PROFESSOR EKONOMI INTERNASIONAL, RSIS, NANYANG TECHNOLOGICAL UNIVERSITY SINGAPURA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Renminbi sebagai Acuan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar