Kasus pertama, penangkapan Dian Yulia Novi di Bekasi. Penangkapan Dian ini sekaligus membuktikan, jejaring terorisme bukan lagi domain kaum lelaki semata, melainkan sudah melibatkan jejaring kaum perempuan secara aktif. Bermula dari seorang tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang bersimpati dengan perjuangan Islam di Suriah, Dianmengaku mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet, khususnya melalui jejaring Facebook dan situs radikal lain, termasuk situs jihadonline yang dikelola jejaring Aman Abdurrahman.
Setahun mempelajari doktrin dan ajarantakfiri Ustaz Aman dan perkenalan dengan jejaring teror Bahrun Naim via telegram, Dian merasa sudah sangat yakin dan siap menjadi "pengantin" yang hendak meledakkan diri dengan target Istana Negara.
Kasus kedua, penangkapan Ika Puspitasari alias Salsabila di Purworejo. Perempuan lain yang juga diduga kuat terlibat tindak pidana terorisme. Kasus ketiga, penangkapan Jumiatun Muslim alias Atun alias Bunga alias Umi Delima, istri Santoso, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang tewas tertembak dalam operasi Tinombala. Atun ditangkap di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Ketiga perempuan ini tentu telah berbaiat ke Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di bawah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi yang bermarkas di Irak.
Tiga kasus terakhir menambah daftar panjang perempuan yang sudah menjalani hukuman atas keterlibatan dalam tindak pidana terorisme di Indonesia, antara lain Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu Cahyaningsih, Munfiatun, Rasidah binti Subari alias Najwa alias Firda, Ruqayah binti Husen Luceno, Deni Carmelita, Nurul Azmi Tibyani, Rosmawati, dan Arina Rahma.
Dalam proses persidangan di pengadilan, nama-nama itu secara sah terbukti terlibat dalam tindak pidana terorisme dan saat ini sebagian dari mereka ada yang masih menjalani hukuman. Sebagian lain telah bebas dan bahkan telah menikah kembali dengan napi teroris lain yang masih menjalani hukuman di penjara.
Mengapa perempuan?
Ada beberapa argumen yang bisa menjawab mengapa sel jejaring teroris NIIS di Indonesia kian gencar merekrut perempuan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri dan tak sekadar aktif terlibat dalam kegiatan dakwah serta bantuan logistik semata.
Pertama, sel NIIS di Indonesia sedang meniru strategi dan taktik NIIS internasional yang melibatkan perempuan dalam peran-peran kombatan yang selama ini didominasi lelaki, termasuk pasukan artileri dan pasukan bom bunuh diri. Strategi ini diambil mengingat jumlah kombatan laki-laki NIIS di Irak dan Suriah terus berkurang akibat luka parah atau tewas dalam peperangan. NIIS di Suriah dan Irak saat ini mengalami banyak kekalahan. Menjadikan perempuan pelaku bom bunuh diri atau pasukan artileri dianggap efektif untuk mengelabui pasukan lawan.
Begitu juga saat ini di Indonesia sedang terjadi fenomena sama. Berbagai penangkapan anggota NIIS di Indonesia telah membuat sel ini kekurangan kader dan kombatan sehingga konsolidasi kian susah dan menuntut taktik dan strategi baru. Maka, pilihan untuk menjadikan perempuan sebagai martir adalah pilihan sebab keterdesakan.
Kedua, secara sosiologis, kaum perempuan, termasuk anak- anak, adalah kelompok rentan (the vulnerable groups).Dalam kasus Dian, pengalaman menjadi TKW di Singapura dan Taiwan selama hampir 4,5 tahun menunjukkan Dian berasal dari keluarga kurang mampu. Persisnya sekitar satu tahun, Dian mengaku sering membuka status-status Facebook para jihadis di Suriah dan sering mengonsumsi berita dan artikel keagamaan di situs millahibrahim.netyang berisi ajaran-ajaran Aman Abdurrahman tanpa nalar kritis.
Hal ini kian menguatkan hipotesis, latar belakang pendidikan keagamaan, dan sempitnya akses informasi yang diserap Dian memudahkan Bahrun Naim via telegram dan Solihin sebagai "pseudo" suami dalam ikatan perkawinan siri untuk merekrut Dian sebagai pelaku bom bunuh diri. Meski dalam jumlah masih terbilang sedikit, potensi bahaya dan dampak perkembangan baru ini cukup mengkhawatirkan. Tidak menutup kemungkinan, di Indonesia ke depan, para perempuan yang menjadi martir.
Ketiga, banyak studi menunjukkan, perempuan yang menjadi TKW mengalami banyak kekerasan psikis dan fisik. Kekerasan ini lalu melahirkan patologi psikis berupa marah (anger), gelisah (anxiety), dan putus asa (despair). Patologi psikis ini menjadikan mereka kian rentan terhadap pengaruh apa pun. Semakin intens pengaruh luar yang masuk, akan makin kuat diserap mentah- mentah. Dian tampaknya mengalami hal sama. Ketika dalam masa ketertekanan psikis ini, setiap manusia selalu butuh mekanisme pertahanan diri (self-defence mechanism) untuk bertahan atas tekanan yang dialami.
Sayangnya, dalam kasus Dian, mekanisme pertahanan justru diperoleh dari jalan yang tak benar, yakni penolakan total atas apa yang selama ini dimiliki, serta beralih secara total ke pengaruh dan doktrin NIIS, lalu merelakan diri jadi calon pelaku bom bunuh diri. Ini membuktikan, TKW Indonesia di luar negeri saat ini termasuk target baru perekrutan dan target penggalangan dana untuk kepentingan NIIS.
NIIS dan motif perkawinan
Solihin, suami Dian yang sekaligus anak buah Bahrun Naim, mengaku dalam satu wawancara, salah satu motif menikahi Dian adalah menjadikannya pelakuistisyhadiyah (pelaku syahid) dengan cara apa pun. Dalam kasus Dian, ia mengaku diminta Solihin melakukan amaliah istisyhadiyah atas petunjuk Bahrun Naim.
Motif pernikahan seperti ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Al Quran dan hadis, tak pernah ada ajaran yang membolehkan motif atau tujuan perkawinan seperti yang dilakukan Solihin. Dalam Islam, tujuan perkawinan adalah suci, yakni ibadah dalam rangka menjaga atau melanjutkan keturunan (hifdzun nasl) demi kesinambungan kehidupan manusia. Jika ada motif perkawinan dengan tujuan merusak kehidupan itu sendiri, tentu itu sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam.
Bahkan, dalam fikih jihad, jika kita merujuk kitab-kitab karya ulama, dalam konteks perang sekalipun, perempuan dan anak- anak adalah kelompok yang harus dilindungi dan tak boleh dilukai, apalagi dibunuh. Aturan ini sudah baku diatur dalam kitab- kitab fikih yang menjadi aturan hukum Islam yang sebenarnya. Hal ini semata untuk menjaga kesinambungan generasi biar tetap bisa hidup dan melanjutkan kehidupan ini secara turun temurun. Karena itu, jika simpatisan NIIS menggunakan dalil untuk mengabsahkan motif menikahi perempuan dengan tujuan agar istri mau melakukan amaliahistisyhadiyah, ini sudah jauh menyimpang dan melanggar ajaran atau doktrin Islam.
Tak ayal, melihat perkembangan baru yang mengkhawatirkan ini, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah jitu. Pemerintah perlu memfasilitasi perwakilan ormas Islam di luar negeri untuk melakukan dakwah ke kantong TKI/TKW tentang bahaya paham NIIS yang aktif menyebarkan paham takfiriagar terhindar dari hasutan kelompok NIIS.Pemerintah juga perlu melakukanrapid assessment terhadap para TKW/TKI yang pulang dari daerah konflik untuk memastikan paham keagamaan mereka tak membahayakan dan berpotensi merusak sendi-sendi kebinekaan kita.
SAID AQIL SIROJ, KETUA UMUM PBNU
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Perempuan dan Terorisme".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar