Mengapa? Karena penyakit akut bangsa ini, kita, tidak pernah belajar dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Penegasan alih kelola tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sementara pendidikan dasar oleh kabupaten/kota. Karena tidak ditindaklanjuti, jadilah serba tergagap-gagap.
Tujuan alih kelola ini bagus, dalam arti pemerataan tanggung jawab yang memberikan kontribusi pemerataan mutu dan peningkatan angka partisipasi kasar. Kabupaten/kota lebih fokus pada pengelolaan pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan masyarakat. Kebijakan pemerintah provinsi (pemprov) pun menjadi seragam dalam pengelolaan pendidikan menengah atas.
Yang terjadi adalah birokrasi "ketok palu". Awalnya ada pro-kontra, misalnya gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, dari sisi fungsional dan mobilitas kerja, alih kelola merupakan kebijakan progresif. Tahap-tahap pelimpahan wewenang, tetapi konsekuensi dari UU No 23/2014 tidak pernah dilakukan menyeluruh.
Karena tak pernah duduk bersama instansi yang terkait di dalamnya, minimal Kemenkeu, Kemdikbud, Kemendagri, keputusan per 1 Januari 2017 mengenai SMA/SMK itu lewat begitu saja. Tidak disadari sepenuhnya, sementara pemprov yang proaktif spontan disergap berbagai masalah.
Banyak hal bisa dibahas dan mencari solusi dari pertemuan bersama itu, di antaranya alih kelola bukan hanya masalah pengelolaan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, bukan juga bantuan operasional sekolah. Alih kelola berdampak pada banyak hal, antara lain masalah "klasik" guru yang tak pernah beres dan perubahan pola anggaran dan pendapatan daerah.
Dengan alih kelola yang tergagap-gagap, puluhan ribu guru belum menerima gaji bulan Januari 2017, alih-alih menjadi pembenar atas 41.000 PNS di beberapa daerah yang belum menerima gaji bulan ini. Komitmen pemprov dan pemda pun menentukan mutu pendidikan.
Menyangkut ribuan guru berstatus "honda", yang honornya di bawah UMP, mengharuskan perubahan pola anggaran pemprov. Kemdikbud, Kemenkeu, dan Kemendagri duduk bersama. Cermati persoalannya dan cari solusi bersama yang bersifat win win solution. Selesaikan berbagai masalah "abu-abu", seperti pemberlakuan Kurikulum 2013, ujian nasional, masalah guru, dan masalah teknis lainnya.
Jauhkan kebijakan "sepotong-sepotong", tidak holistik, dan instan agar tidak meninggalkan residu kebingungan masyarakat, termasuk melepas rencana kebijakan ke publik.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Alih Kelola SMA/SMK".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar