Hilang sudah keyakinan bahwa globalisasi akan mendatangkan manfaat bagi semua orang. Saat ini kalangan elite mengakui kita harus menerima kenyataan bahwa globalisasi tidak hanya menghasilkan "pemenang" (mereka yang diuntungkan globalisasi), tetapi juga "pecundang" (mereka yang dirugikan oleh globalisasi).
Respons yang benar adalah tidak dengan membalikkan arah globalisasi, tetapi memastikan bahwa orang yang dirugikan mendapat kompensasi.
Konsensus baru ini diutarakan oleh Nouriel Roubini: penolakan terhadap globalisasi "dapat diredam dan dikelola melalui kebijakan yang memberikan kompensasi terhadap kerugian dan biaya yang harus ditanggung para pekerja". "Hanya dengan menerapkan kebijakan seperti itulah kelompok yang dirugikan dalam globalisasi akan merasa bahwa mereka juga pada akhirnya akan diuntungkan."
Argumen ini terdengar sangat masuk akal, baik secara ekonomi maupun politis. Ekonom tahu betul bahwa liberalisasi perdagangan akan menyebabkan redistribusi pendapatan dan kerugian absolut bagi kelompok masyarakat tertentu meski secara keseluruhan kue ekonomi negara tersebut membesar.
Oleh karena itu, perjanjian perdagangan hanya dapat meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa jika orang yang diuntungkan globalisasi bisa mengompensasi mereka yang dirugikan. Pemberian kompensasi juga menjamin adanya dukungan terhadap keterbukaan perdagangan dari konstituen yang lebih luas dan ini merupakan hal yang baik dalam sudut pandang politik.
Negara kesejahteraan
Sebelum munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state), ketegangan antara keterbukaan dan redistribusi diselesaikan melalui emigrasi pekerja dalam skala besar atau dengan menerapkan kembali kebijakan proteksi dalam perdagangan, khususnya di bidang pertanian.
Munculnya negara kesejahteraan, hambatan ini kian mengecil sehingga liberalisasi perdagangan dapat dilakukan dengan skala lebih besar.
Dewasa ini, negara maju yang paling terpapar perekonomian global adalah juga negara yang paling ekstensif menerapkan program jaring pengaman dan asuransi sosial atau disebut negara kesejahteraan. Penelitian di Eropa menunjukkan, negara yang mengalami kekalahan dalam globalisasi cenderung menerapkan program sosial yang aktif dan intervensi di pasar tenaga kerja.
Jika penolakan terhadap perdagangan bebas di Eropa belum begitu terlihat, hal ini lebih karena perlindungan sosial masih sangat kuat meski kian melonggar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara kesejahteraan dan perekonomian terbuka adalah dua sisi dari koin yang sama di hampir sepanjang abad ke-20.
Dibandingkan dengan kebanyakan negara Eropa, Amerika Serikat (AS) adalah pemain baru globalisasi. Hingga baru-baru ini pasar domestik AS yang besar dan wilayah geografisnya yang cukup terisolasi menerapkan kebijakan proteksi yang relatif ketat dari impor, khususnya impor dari negara berupah buruh murah. Secara tradisional, AS termasuk dalam negara kesejahteraan yang lemah.
Ketika AS mulai membuka diri terhadap impor dari Meksiko, China, dan negara berkembang lainnya pada 1980-an, banyak yang mengira bahwa mereka akan menjadi seperti Eropa. Namun, karena pengaruh paham Reaganite dan ide fundamentalisme pasar, AS justru berkembang ke arah yang berlawanan dengan Eropa.
Seperti dikatakan Larry Mishel, Presiden Economic Policy Institute, "Mengabaikan kelompok yang dirugikan oleh globalisasi adalah sebuah tindakan yang disengaja." Pada 1981, bantuan penyesuaian perdagangan (TAA) adalah salah satu program yang diserang oleh Reagan dengan cara memotong pembayaran kompensasi mingguan program tersebut.
Hal itu berlanjut pada pemerintahan berikutnya di bawah Partai Demokrat. Mengutip Mishel, "Jika para pendukung perdagangan bebas betul peduli kepada pekerja, mereka akan mendukung serangkaian kebijakan yang mendukung pertumbuhan gaji yang kuat seperti menumbuhkan lapangan kerja, perundingan bersama, standar kerja yang tinggi, pertumbuhan upah minimum, dan lainnya." Dan hal ini bisa dilakukan "sebelum memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara dengan buruh murah".
Membalik haluan?
Dapatkah AS mengubah arah dan mengikuti pemahaman umum yang belakangan ini muncul? Tahun 2007, ilmuwan politik Ken Scheve dan ekonom Matt Slaughter menyerukan perlunya "sebuah Kesepakatan Baru (New Deal) untuk globalisasi" di AS, orang mungkin akan mengaitkan "kerja sama dengan negara lain dengan redistribusi pendapatan yang substansial". Di AS, menurut mereka, hal itu berarti memberlakukan sistem pajak federal yang jauh lebih progresif.
Slaughter adalah mantan pejabat di masa pemerintahan Presiden George W Bush dari Partai Republik. Ini adalah sebuah indikasi betapa terpolarisasinya iklim politik di AS. Terasa sulit untuk membayangkan proposal semacam itu bisa muncul dari seorang anggota Partai Republik pada saat ini.
Upaya Trump dan sekutunya di Kongres untuk menghapuskan program asuransi kesehatan yang merupakan program andalan Presiden Barack Obama adalah refleksi komitmen dari Partai Republik untuk mengurangi, bukan memperluas, perlindungan sosial.
Konsensus, terkait perlunya pemberian kompensasi kepada kelompok yang dirugikan oleh globalisasi, yang ada dewasa ini menganggap bahwa kelompok yang diuntungkan dalam globalisasi digerakkan oleh kepentingan pribadi. Bahwa membeli dari orang yang dirugikan oleh globalisasi adalah hal yang penting untuk mempertahankan keterbukaan ekonomi.
Pemerintahan Trump mengungkapkan sebuah persepsi alternatif di mana globalisasi, setidaknya dalam bentuk yang ada sekarang, cenderung mendukung kelompok yang memiliki keterampilan dan aset yang bisa mengambil manfaat dari keterbukaan perdagangan dan kian merongrong apa pun pengaruh yang dimiliki oleh kelompok yang dirugikan oleh globalisasi.
Trump telah menunjukkan bagaimana ketidakpuasan terhadap globalisasi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mencapai agenda yang menjadi kepentingan kaum elite yang tak ada hubungannya sama sekali dengan perdagangan.
Politik kompensasi ini selalu menjadi subyek permasalahan yang oleh para ekonom disebut dengan "inkonsistensi waktu". Sebelum sebuah kebijakan baru diberlakukan, misalnya saja perjanjian dagang, maka penerima manfaat perjanjian cenderung menjanjikan kompensasi. Namun, setelah kebijakan ini berjalan, mereka tak lagi merasa berkepentingan untuk menindaklanjuti. Hal ini bisa saja mengingat ongkos mahal yang harus dibayar untuk membalikkan keadaan atau karena kini perimbangan kekuasaan berpihak kepada mereka.
Waktu yang tepat untuk memberikan kompensasi sudah terbuka dan kita sia-siakan. Kalaupun kompensasi adalah sebuah pilihan yang mungkin diambil dua dekade lalu, hal ini tidak lagi menjadi respons praktis terhadap dampak buruk globalisasi. Untuk bisa merangkul mereka yang dirugikan oleh globalisasi, kita perlu mempertimbangkan mengubah aturan globalisasi yang ada.
DANI RODRIK
Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard, dan Penulis "Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science"
©Project Syndicate, 2016. www.project-syndicate.org
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2017, di halaman 1 dengan judul "Terlambat Memberikan Kompensasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar