Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah cita-cita para pendiri bangsa Indonesia. Cita-cita mulia itu telah membuat bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa lain. Sayang, di negeri sendiri keberagaman suku, budaya, agama, dan golongan belum dihargai setara.
Memang, mengelola negara yang baru merdeka tidak semudah mengikrarkan "cita-cita" yang masih banyak penafsiran makna. Bahkan, masih banyak elite politik seperti anak TK, mengutip ucapan Gus Dur. Masih berebut bicara, berebut kuasa, untuk kepentingannya sendiri.
Jika terjadinya di awal kemerdekaan, hal ini bisa dimaklumi karena sebagai bangsa yang dulu direndahkan penjajah akhirnya bisa duduk sama rata dan sama rasa. Namun, kehadiran mereka yang masih saja mendahulukan kepentingan pribadi dan golongannya, bahkan menjelang 72 tahun Indonesia merdeka, sangatlah memprihatinkan.
Padahal, pada kenyataannya, sejarah justru menunjukkan para pendiri bangsa di awal-awal kemerdekaan lebih memiliki patriotisme dan nasionalisme. Mereka yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama, dan tingkat ekonomi berhasil mengalahkan kepentingan masing-masing untuk kepentingan bangsa yang lebih besar dalam forum Panitia Persiapan Kemerdekaan yang berlangsung alot sepanjang 1 Juni 1945 sampai 17 Agustus 1945.
Saat itu Bung Karno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara dengan konsep demokrasi yang mengedepankan kekuasaan di tangan rakyat. Sementara sebagian peserta rapat, meski menerima demokrasi Bung Karno, ingin menambahkan catatan pemerintahan demokrasi religius.
Padahal, demokrasi dan religius itu adalah dua kata yang berseberangan makna. Demokrasi mengutamakan kepentingan rakyat banyak, sedangkan religius mendahulukan kepentingan pribadi/golongan. Jika demokrasi berkolaborasi dengan religius, pemerintah akan menjalankan kekuasaan yang bermuka dua.
Meskipun secara konstitusi Indonesia bukan negara agama, "diam-diam" para pengikut demokrasi religius masih mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia. Maka, para pelaksana tugas dalam pemerintahan demokrasi rakyat banyak bersikap ambigu. Akibatnya adalah kegaduhan dan keributan yang terus saja mengiringi jalannya pemerintahan dari masa ke masa, sampai hari ini.
Mari kita kembali mempersatukan perbedaan dalam satu rasa kebangsaan kita. Rasa Bhinneka Tunggal Ika.
HARI PURNOMO
Jl Julang, Tanah Sereal, Bogor
Tidak Terima Tunai
Saya adalah nasabah Bank Rakyat Indonesia di unit kerja BRI cabang Citeureup, Cibinong, atas nama Bedjo Bintoro.
Pada 21 Maret 2017, saya mengambil uang tunai lewat ATM BRI Unit Sentul untuk mengurus sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor.
Ketika di BPN Bogor, saya akan membayar tunai ke BRI Unit BPN Bogor. Akan tetapi, oleh petugas, pembayaran tunai ini ditolak dengan alasan BRI Unit BPN Bogor hanya melayani pembayaran lewat daring (online).
Saya sempat kaget, saya nasabah BRI, tetapi tidak dilayani sebagaimana mestinya. Buat saya ini merepotkan karena saya sudah manula.
BEDJO BINTORO
Jl Raya Sirkuit Sentul, Leuwinutug, Citeureup, Bogor
Paket Luar Negeri
Saya berlangganan kartu pascabayar Indosat sejak 2002 dan selama ini baik-baik saja.
Namun, kali ini ada satu pengalaman yang membuat saya kesal. Pada 18 Februari 2017 pukul 23.30, sebelum sayatake off ke Dubai, saya menelepon operator Indosat untuk memastikan bahwa paket Asia Rp 300.000 per lima hari berlaku di Dubai dan dijawab "iya". Saya sampai dua kali menelepon, sebelum mengaktifkan.
Saat mendarat di Dubai, 19 Februari, ada notifikasi masuk menyatakan saya mengaktifkan paket Rp 249.000 per hari. Saya meminta istri saya telepon ke operator dari Jakarta dan dijawab di Dubai tidak berlaku paket Asia Rp 300.000 per lima hari.
Saat kembali ke Jakarta, saya komplain berulang kali dengan nomor laporan 1-13157176395. Jika Indosat mendengarkan rekaman pada 18 Februari malam, jelas bahwa operator Indosat menyatakan paket Asia bisa berlaku di Dubai.
HERWIN
Jl Hayam Wuruk, Jakarta Barat 11160
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar