Kasus tersebut s
ebenarnya kasus lama. Tahun 2010, Churchill menggugat Pemerintah Indonesia melalui PTUN atas pembatalan izin usaha pertambangan oleh bupati, tetapi gagal. Upaya hukum terus dilanjutkan Churchill hingga kasasi di Mahkamah Agung, dan hasilnya tetap sama. Sampai akhirnya Churchill membawa kasus ini ke forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), yang hasilnya gugatan mereka tak dapat diterima (inadmissible). Gugatan kandas karena terbukti dokumen yang diajukan penggugat ternyata dokumen yang telah dipalsukan.
Sebelum kasus ini putus, Indonesia juga baru menang di ICSID atas gugatan Rafat Ali Rizvi (kasus Century). Kemenangan beruntun ini merupakan tren yang baik, yang bisa memberikan pesan kepada dunia internasional bahwa Indonesia sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang merugikan investor.
Selain itu, rentetan kemenangan ini juga semakin menunjukkan kesolidan pemerintah bersama tim penasihat hukumnya dalam menangani perkara. Beracara di arbitrase internasional bukan hanya masalah penguasaan substansi hukum, melainkan juga mengenai kecermatan pada hal teknis tertentu, seperti pemilihan arbiter.
Tren kemenangan ini harus disyukuri, tetapi kita tetap harus bersikap kritis dan mampu mengambil pelajaran. Di antaranya, pertama, tren kemenangan ini dapat dilihat dari sisi semakin seringnya investor asing menggugat pemerintah. Lebih khusus lagi, gugatan yang masuk gugatan yang sebenarnya tidak memiliki dasar yang jelas, hanya coba-coba. Gugatan semacam ini bisa dikategorikanfrivolous claim, yaitu gugatan coba-coba atau main-main. Menghadapi gugatan semacam ini, urusannya bukan lagi kalah atau menang, melainkan juga biaya beperkara.
Kedua, beracara di arbitrase internasional itu sangat tidak murah. Di kasus Churchill ini, pemerintah telah menghabiskan biaya lebih kurang Rp 100 miliar, mirip dengan hasil penelitian Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang mengatakan bahwa rata-rata biaya beperkara di arbitrase internasional adalah 8 juta dollar AS, dan bisa mencapai 30 juta dollar AS pada beberapa kasus (OECD, 2012). Beruntung dalam kasus ini tribunal ICSID memutuskan penggugat harus mengganti 75 persen biaya beracara yang sudah dikeluarkan pemerintah, yaitu 8.646.528 dollar AS, dan biaya administrasi ICSID sebesar 800.000 dollar AS.
Ketiga, untuk publik, ada persepsi yang sering muncul ketika pemerintah digugat investor asing, yaitu pemerintah langsung dianggap benar-benar telah melakukan kesalahan. Ini persepsi keliru dan harus diperbaiki. Di kasus ini justru penggugat yang terbukti beritikad buruk melakukan pemalsuan (forgery). Publik harus mulai terbiasa berpikir jernih dan obyektif. Terlebih pengadilan nasional di semua tingkat sudah memutuskan bahwa pembatalan izin yang dilakukan bupati dalam kasus ini telah sesuai prosedur. Kalau bukan kita yang percaya dengan pengadilan kita sendiri, lalu siapa lagi?
Keempat, kita memang tidak perlu paranoid, tetapi tetap juga harus sadar dan waspada. Faktanya, putusan ICSID di kasus ini belum masuk ke tahap pemeriksaan pokok perkara. Dengan kata lain, jika dokumen tersebut tidak palsu, bisa saja pada pemeriksaan pokok perkara tribunal memutuskan Pemerintah Indonesia telah melanggarfair and equitable treatment atau indirect expropriation sebagaimana dituduhkan. Demikian juga pada kasus Century, gugatan belum masuk ke pokok perkara karena kandas pada tahapan pembentukan yurisdiksi.
Sebagai salah satu upaya menghindari gugatan investor asing, pemerintah saat ini tengah melakukan tinjauan (review) atas seluruh perjanjian investasi bilateral. Salah satu targetnya adalah membuat Indonesia model Bilateral Investment Treaty (BIT) yang benar-benar mencerminkan kepentingan nasional. Selain membuat model BIT, momentumreview ini juga untuk mencoba menganalisis untung rugi beberapa opsi, seperti opsi keluar dari keanggotaan ICSID seperti yang dilakukan Bolivia dan Ekuador; tidak lagi menggunakan skema penyelesaian sengketa investor-state dispute settlement seperti yang dilakukan Australia pada beberapa perjanjian; atau bahkan tidak lagi membuat perjanjian investasi bilateral seperti yang dilakukan Brasil.
Ini tentu pekerjaan rumah yang tidak mudah. Salah strategi malah bisa menurunkan daya tarik Indonesia bagi investasi asing. Terkait gugatan investor asing, pekerjaan rumah pemerintah belum selesai. Masih ada dua gugatan lagi di forum arbitrase internasional yang sedang berjalan, yaitu gugatan dari Indian Metals & Ferro Alloys Ltd asal India dan Oleovest Pte Ltd asal Singapura. Semoga menang lagi.
M IQBAL HASAN
Pemerhati Hukum Investasi Internasional; Kandidat Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Pelita Harapan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Setelah Kasus Churchill".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar