Krisis ekonomi dan politik yang berlarut-larut telah memecah Venezuela: antara yang berpihak kepada penguasa, Presiden Nicolas Maduro, dan kelompok oposisi. Venezuela, terpecah, persis seperti yang terjadi di Mesir ketika ada gerakan untuk menjatuhkan Presiden Muhammad Mursi. Di Mesir, ketika itu, militer segera turun dan bertindak, dan mendapatkan dukungan kelompok nasionalis, Islam moderat, dan kelompok-kelompok minoritas, menggusur pemerintahan Mursi yang ibarat kata baru seumur jagung.
Maduro yang memimpin Venezuela setelah Hugo Chavez meninggal (2013), dengan Partai Sosialis Bersatunya, ternyata kedodoran. Ia tak mampu menyelamatkan krisis ekonomi yang membelit Venezuela, tetapi ia menutup mata, dan bahkan cenderung menyalahkan pihak lain sebagai biang keladi krisis. Dalam outlook ekonomi terakhirnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan, "Venezuela tetap terperosok dalam krisis ekonomi yang dalam" dengan angka pengangguran yang terus naik dan resesi yang tak kunjung henti.
Memburuknya perekonomian itu antara lain ditandai oleh mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Barang-barang kebutuhan pokok tidak hanya mahal, tetapi juga sangat langka. Itulah yang menyebabkan puluhan ribu orang Venezuela melintasi perbatasan masuk ke Kolombia untuk membeli bahan kebutuhan pokok, bahkan termasuk untuk membeli tisu. Negara kaya minyak ini pun akhirnya limbung karena pemerintahnya tak mampu mengelola dan menjalankan roda pemerintahan.
Yang membuat Venezuela semakin terperosok ke dalam krisis politik adalah keputusan Mahkamah Agung (yang pro-Maduro) mengambil alih kekuasaan Majelis Nasional yang dikuasai oposisi. Langkah tersebut diambil untuk mencegah penggusuran Maduro lewat pemilu yang dipercepat. Belakangan, keputusan Mahkamah Agung itu dicabut setelah mendapat kritik dan kecaman dari Mahkamah Internasional dan dianggap sebagai langkah yang tidak demokratis.
Kemarahan rakyat, terutama dari kelompok oposisi, juga dipicu oleh keputusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman larangan berpolitik selama 15 tahun kepada tokoh oposisi Henrique Capriles yang pada pemilu tahun 2013 kalah tipis dari Maduro. Keputusan itu telah menutup peluang Capriles untuk menghadapi lagi Maduro dalam Pemilu Presiden 2018 apabila sesuai jadwal.
Apa yang terjadi saat ini merupakan cerminan dari sikap penguasa yang tidak peduli kepada rakyatnya, penguasa yang lebih mengutamakan bagaimana mempertahankan kekuasaan daripada menciptakan kesejahteraan rakyat.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Adu Kuat antara Presiden dan Rakyat".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar