Parlemen akan membubarkan diri pada awal Mei ini dan partai-partai politik akan segera melakukan kampanye sekitar satu bulan.
Selama berbulan-bulan sebelumnya, May menolak tegas kemungkinan percepatan pemilu dengan alasan akan menimbulkan instabilitas. Lantas, apa yang membuat ia berubah pikiran dan membuat keputusan yang mengejutkan itu? Momentum politik.
May dan para penasihat politik di Downing Street yakin saat ini adalah waktu yang terbaik bagi Partai Konservatif untuk memperluas kekuasaan di parlemen. Dengan demikian, May akan memiliki dukungan yang lebih kuat dalam menegosiasikan Brexit dengan Uni Eropa.
Saat ini, mayoritas kursi di parlemen masih dikuasai Konservatif dengan 330 dari 650 kursi parlemen. Namun, selisih jumlah kursi yang "tipis" dengan kubu oposisi membuat May tidak percaya diri. Apalagi ia kerap menghadapi "pemberontakan" dari dalam tubuh Konservatif yang bisa membuat keseimbangan bergeser. Padahal, May ingin strategi negosiasinya dengan UE tidak diganggu gugat, termasuk kemungkinan opsi Inggris keluar dari pasar tunggal Eropa (hard Brexit) yang dinilai kontroversial oleh lawan-lawan politiknya.
Dalam kalkulasi May, percepatan pemilu akan menambah porsi kekuasaan Konservatif menjadi 400 kursi. Hal ini dimungkinkan karena kondisi partai oposisi, Partai Buruh, saat ini berada di titik terendah akibat kepemimpinan Jeremy Corbyn yang lemah. Dengan kondisi itu, May tidak perlu khawatir strateginya dalam menghadapi Uni Eropa dihambat oleh parlemen.
Alasan lain, jika negosiasi dengan Uni Eropa dijadwalkan berakhir pada 2019, sementara pemilu baru akan dilaksanakan pada 2020, maka posisi May bisa lemah, terlebih jika hasil negosiasi tidak memuaskan para politisi di dalam negeri. Pemilu dipercepat juga akan memuluskan ambisi May untuk menjadi perdana menteri yang dipilih melalui pemilu dan bukan karena sekadar menggantikan PM David Cameron yang mundur dari jabatannya.
May juga berharap pemilu yang dipercepat akan "melemahkan" partai berkuasa di Skotlandia, Partai Nasionalis Skotlandia (SNP), dan mengubah peta kekuatan di parlemen Skotlandia yang baru-baru ini memberikan mandat kepada Menteri Pertama Nicola Sturgeon untuk memproses referendum kemerdekaan.
Namun, untuk soal yang satu ini, bisa jadi kalkulasi May keliru. Sikap London yang selama ini memandang "sebelah mata" posisi Skotlandia dalam percaturan politik Inggris membuat pemerintahan Konservatif May sangat tidak populer di Skotlandia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar