Itu karena besar kemungkinan Emmanuel Macron (39) akan memenangi pemilu. Menurut jajak pendapat, Macron kemungkinan unggul sampai 60 persen di putaran kedua.
Kalangan pro-demokrasi pun berupaya menggalang kekuatan untuk mencegah Marine Le Pen (48) menang, mirip seperti yang terjadi pada pemilu 2002 ketika sang ayah, Jean-Marie Le Pen, maju ke putaran kedua untuk berhadapan dengan Jacques Chirac. Chirac kemudian memenangi pemilu dengan telak.
Namun, situasinya kini berbeda. Saat ini Marine Le Pen didukung 7,7 juta pemilih di putaran pertama, sementara Jean-Marie Le Pen kala itu didukung 4,8 juta pemilih.
Bukan hanya itu. Para pendukung kandidat dari kubu ekstrem kiri Jean-Luc Melenchon menyatakan akan mengalihkan suaranya kepada Le Pen di putaran kedua karena merasa ”cocok” dengan gagasannya soal imigran, pengangguran, dan Uni Eropa. Le Pen menjanjikan referendum untuk keluar dari Uni Eropa, kembali ke mata uang franc, dan menyetop kedatangan imigran.
Dengan kata lain, hasil pemilu putaran pertama menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen pemilih sebetulnya mendukung kandidat yang memiliki gagasan ”ekstrem”. Jadi, salah jika kita menganggap kemenangan Macron akan berarti gelombang populisme sudah kalah. Semangat itu akan terus bergaung sampai inti persoalan tertangani, yaitu tingkat pengangguran yang tinggi, perekonomian yang melemah, persoalan imigran, dan terorisme.
Dalam dua pekan ke depan, para pemilih akan melihat apakah Macron mampu meyakinkan mereka untuk menjawab sejumlah persoalan krusial di atas, khususnya dalam debat dengan Le Pen.
Le Pen juga tidak membuang waktu. Begitu dinyatakan masuk ke putaran kedua, ia langsung meninggalkan manajemen harian Front Nasional sebagai upaya pencitraan bahwa ia menjadi representasi semua warga Perancis.
Pemilu Perancis kali ini sangat unik karena kedua kontestan bukan berasal dari partai arus utama. Bahkan partai—tepatnya gerakan—yang dibentuk Macron, En Marche! (Bergerak!), baru berusia satu tahun. Kita bisa membayangkan betapa rumitnya koalisi pemerintahan yang akan terbentuk nanti jika partai presiden tidak punya kursi yang cukup di parlemen. Hal ini akan ditentukan pada pemilu legislatif Juni nanti. Saat ini Front Nasional hanya punya dua kursi, sedangkan En Marche! tak punya kursi.
Sementara ini, kita berharap saja dulu pemilu putaran kedua dimenangi calon yang bukan ekstremis dan percaya bahwa keutuhan Eropa perlu terus diperjuangkan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Tak Berarti Populisme Gagal".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar