Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Mei 2017

TAJUK RENCANA: Akhir Bulan Madu Trans-Atlantik (Kompas)

Sejak Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS, sebetulnya Eropa menunggu dengan waswas akan seperti apa bentuk hubungan Trans-Atlantik.

Pada masa pemerintahan Barack Obama, hubungan itu demikian hangat dan solid. Sejumlah ucapan Trump yang menyudutkan Uni Eropa dan mengecilkan peran sejumlah pemimpinnya, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel, ditanggapi dengan dingin sabar. Trump, misalnya, memuji langkah Brexit yang dilakukan Inggris dan berharap negara lain mengikuti langkah Inggris. Trump juga menyebut NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) sebagai "usang", mendukung tokoh-tokoh populis yang rasis di Eropa, dan banyak lagi.

Dalam KTT G-7 pekan lalu, para pemimpin Eropa akhirnya menyaksikan bahwa presiden AS ini memang tidak bisa lagi diandalkan. AS menolak mendukung Kesepakatan Paris terkait perubahan iklim, dengan alasan merugikan dunia industri di AS. Ini merupakan langkah mundur karena AS dan 196 negara lainnya menandatangani kesepakatan itu pada tahun 2015. Sebaliknya, keenam negara lainnya dalam G-7 bersikukuh untuk mendukung dan mengimplementasikan kesepakatan yang mencoba mengurangi tingkat emisi karbon di dunia.

Sikap "mementingkan diri sendiri" juga terlihat dalam KTT NATO. Trump tidak dengan tegas mendukung Article 5 tentang pertahanan kolektif, yang menyatakan semua anggota akan mendukung jika salah satu anggotanya diserang. Ini sudah pernah diterapkan sewaktu AS dihantam serangan teroris pada 11 September 2001. Trump justru meminta para anggota NATO membayar kontribusi sebesar 2 persen dari produk domestik bruto mereka.

Tak heran jika Eropa bereaksi "cukup sudah". Merkel menegaskan, sudah waktunya Eropa berdiri di kaki sendiri dan tak mengandalkan AS. Pernyataan Merkel yang dikenal berhati-hati ini mengejutkan Washington ataupun para mitranya di Eropa. Namun, Merkel ingin Eropa membuka mata bahwa AS tidak lagi menjadi mitra yang bisa diandalkan.

Apa yang terjadi menunjukkan bahwa bentuk kemitraan Trans-Atlantik yang dibangun sejak akhir Perang Dunia II besar kemungkinan akan berubah. Tepatnya, sengaja diubah oleh Trump yang bermimpi ingin mengubah peta politik dunia sesuai keinginannya, demi keutamaan Amerika Serikat. Ia memilih menelantarkan para sekutu tradisionalnya dan sebaliknya berupaya keras merangkul negara-negara yang tak menerapkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam negerinya.

Ke arah mana perubahan ini akan berjalan, mungkin juga Trump tidak mengetahuinya. Namun, satu hal pasti, ia tidak bisa berharap bahwa AS akan seterusnya dianggap sebagai "pemimpin global" ketika satu demi satu sekutu meninggalkannya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Akhir Bulan Madu Trans-Atlantik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger