Misalnya, perseteruan antara kekristenan dan kekatolikan pada abad pertengahan berujung "Perang Agama" antara penganut agama Katolik dan Kristen Protestan selama lebih kurang tiga dekade, yang mengakibatkan puluhan ribu manusia kehilangan nyawa. Tragedi semacam itu dalam skala yang berbeda terjadi sepanjang sejarah dan semakin mudah terulang karena dipicu kecanggihan teknologi (Niall Ferguson,The False Prophecy of Hyperconnection, How to Survive The Networked Age, Foreign Affairs, September/Oktober 2017).
Selain faktor teknologi, alasan lain yang lebih fundamental dan fenomena "homofili" adalah gejala kecenderungan manusia mempunyai naluri mencari teman yang mempunyai kepentingan, ide, dan karakter yang sama. Relasi yang homofilis semakin mudah kalau didasarkan atas sentimen primordial dan karakter sama. Ibaratnya, burung akan bergerombol dengan jenis burung yang sama. Ungkapan populernya, "birds of a feather flock together".
Mengingat ancaman bahaya tuturan kebencian dapat menghancurkan negara, bangsa, serta peradaban, akun semacam Saracen yang pengelolanya menjual kebencian dan permusuhan demi seonggok rupiah harus diberantas seakar-akarnya. Pengalaman kompetisi politik, khususnya sejak Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, tampaknya semakin memicu para pemilik modal memfasilitasi mereka yang merindukan belaian nikmat kuasa mewujudkan impiannya. Para pembiak kekuasaan yang meramu menu campuran kekuatan uang dan rasa permusuhan merupakan jalan lapang untuk mengakumulasi kapital. Sementara itu, para politisi yang berhasil meraih kedudukan dapat disalahgunakan untuk memupuk modal sehingga mereka juga akan menjadi bandar politik transaksional, bukan lagi peminta-minta kekuasaan.
Berhala hoaks transaksional jika dibiarkan dapat dipastikan akan mengikis habis secara sistematis dan bengis pilar-pilar fundamental bangsa dan negara. Mereka sangat agresif meyakinkan publik dengan mengeksploitasi perbedaan kodrati dan pasti akan menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan banyak negara buyar karena hasrat nafsu yang membakar nalar terlalu liar tidak dapat dikendalikan. Berhala politik transaksional semakin fatal bagi tatanan hidup normal karena nilai moral ditukar asal dibayar sesuai hasil tawar-menawar. Mereka mengejar sampai martabat pudar karena nafsu kuasa tidak dapat dikontrol oleh nalar dan kedap terhadap ajar.
Maka, sangat tepat Presiden dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kompak menunjukkan kegeraman mereka terhadap Saracen (Kompas, 27/8). Demikian pula respons Menteri Komunikasi dan Informatika, yang memberikan peringatan keras terhadap pengelola Facebook, Twitter, dan Google agar hengkang dari Republik Indonesia bilamana tidak memperhatikan keamanan nasional, patut diapresiasi. Momentum chemistry tersebut harus dimanfaatkan untuk melakukan konsolidasi politik mengingat kompetisi politik masif pilkada serentak 2018 dan pilpres tahun 2019 amat mudah meruntuhkan iman politik politisi yang sangat rentan terhadap belaian nikmat kuasa.
Mengingat laga politik sudah akan dimulai kurang dari setahun lagi, diperlukan beberapa kebijakan urgensi sebagai berikut. Pertama, Menteri Komunikasi dan Informatika melakukan koordinasi dengan lembaga terkait untuk memonitor ketat perusahaan (penyedia/operator) media sosial dan bagaimana mereka merespons laporan mengenai ujaran kebencian dan permusuhan. Sebaiknya respons harus segera dilakukan, real time, agar tidak telanjur menyebar lebih luas lagi.
Kedua, edukasi literasi digital kepada masyarakat, khususnya para imigran digital (digital immigrants), komponen masyarakat yang lahir sebelum era teknologi digital. Lawannya, digital native, mereka yang sejak kecil ibaratnya menghabiskan waktunya menggunakan komputer, video games, video kamera, telepon genggam, dan mainan digital lainnya (Marc Prensky, Digital Natives, Digital Immigrants, On the Horizon, MCB University Press, Vol 9 No 5, Oktober 2001).
Ketiga, kampanye besar-besaran dan terorganisasi melawan hoaks transaksional. Sekadar contoh penangkalan terhadap hoaks dilakukan The Council of Europe (Dewan Eropa) memprakarsai kampanye "Gerakan Tidak Bertutur Kebencian" (No Hate Speech Movement) dengan target generasi muda. Aktivis blogger di Myanmar, Nay Phone Latt, mengampanyekan "Bicara tentang Bunga" (flower speech) utuk melawan tuturan kebencian.
Perjuangan menangkal berhala hoaks transaksional pasti berhasil. Modal utama antara lain temuan survei SMRC tentang NKRI dan ISIS: Penilaian Massa Publik Nasional pada Mei 2017, antara lain, menegaskan, orang Indonesia hampir semuanya bangga menjadi warga RI. Hampir semuanya menyatakan kesediaan menjadi sukarelawan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, semua itu harus disertai dengan niat politik dan strategi yang tepat serta tegak lurus mengacu pada Pancasila.
J KRISTIADI PENELITI SENIOR CSIS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2017, di halaman 15 dengan judul "Menangkal Berhala Hoaks Transaksional".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar