Polarisasi politik, sebagai akibat susulan Pemilihan Presiden- Wakil Presiden (Pilpres) 2014, terjadi di depan mata kita. Di satu sisi berdiri kelompok yang cenderung teridentifikasi sebagai "nasionalis". Adapun di sisi lain berdiri kelompok yang teridentifikasi sebagai kaum "agamais".
Tentu saja, kelompok "nasionalis" dan "agamais" tersebut tidak otomatis menjadi representasi obyektif bangsa kita secara umum. Bisa jadi, kedua kelompok tersebut sekadar menjadi bagian kecil dari mayoritas bangsa atau mayoritas diam. Bahwa kelompok "nasionalis" dan "agamais" itu mengemuka lebih disebabkan kemampuan mereka merebut dan menguasai ruang publik, termasuk media sosial.
Di media sosial, hampir setiap detik mereka saling serang dengan memuntahkan peluru-peluru kebencian. Umpatan, hujatan, makian, bahkan kutukan menjadi menu yang selalu tersaji di meja prasmanan kebencian. Pertanyaan yang muncul adalah, mampukah bangsa kita tumbuh dan berkembang dalam asuhan raksasa bernama kebencian?
Ujaran-ujaran kebencian hanya terasa nikmat bagi mereka yang memproduksi dan melontarkannya. Insting purbawi dan nafsu destruktif menjadi terlampiaskan. Mereka pun merasa mencapai ekstase.
Namun, bagi orang lain yang melihat, membaca, mendengar, dan merasakan, semua kebencian yang dimuntahkan itu justru membikin perut mual, dada sesak, dan kepala pusing. Bergalon-galon parasetamol terasa tidak mujarab untuk mengatasi rasa sakit. Ini menyedihkan sekaligus memprihatinkan.
Reproduksi kebencian
Hal yang paling berbahaya adalah bahwa kebencian yang secara kontinu, konstan, dan kosisten direproduksi itu berpotensi memengaruhi cara berpikir masyarakat umum yang netral dan berjarak dengan persoalan-persoalan politik kaum elite kekuasaan. Bukankah kebohongan dan kebencian yang diciptakan dan disebarkan secara rutin, dalam tingkat keseringan yangtinggi, sangat berpotensi melahirkan "kebenaran".
Seburuk apa pun sesuatu, tetapi jika "dipromosikan" secara bertubi-tubi, intensif, dan masif sebagai "kebaikan" dan "kebenaran", keburukan itu pun (berpotensi) menjadi nilai seperti yang diidealkan. Betapa ampuh dan digdayanya media, modal, dan teknologi kebencian yang memiliki kekuatan eksesif mengubah cara berpikir banyak orang.
Orang yang selalu berdiam di kamar individualnya bisa saja bilang, "Tenang saja.... Masyarakat kita kritis, kok." Bahwa masyarakat kita kritis, memang benar. Namun, berapa jumlah mereka? Sifat kritis cenderungdimiliki kelas menengah terpelajar yang tercerahkan akal budinya melalui literasi. Jumlah mereka tentu lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang belum mengalami pencerahan baik secara intelektual maupun spiritual.Nah, mayoritas yang sering disebut crowd (kerumunan) itulah yang menjadi sasaran bidik para "pejuang kebencian".
Selama ini, banyak lembaga, termasuk negara, masih selalu merasa aman di balik kata literasi. Literasi diyakini mampu mengatasi berbagai provokasi kebencian. Pendapat itu benar. Namun, yang menjadi masalah, sejauh mana dan seintens apa literasi tersebut dilakukan? Hanya insidental?Sementara para "pejuang kebencian" itu terus bergerak dan berupaya merebut pos-pos akal sehat masyarakat untuk diinstal sesuai cita-cita dan kepentingannya. Jika negara lengah, suatu ketika akan kaget menghadapi realitas pahit: mayoritas masyarakat telah berubah menjadi makhluk-makhluk yang berideologi dan berperilaku kebencian.
Asupan beracun
Sejarah selalu membuktikan, negara selalu kecolongan dalam persoalan-persoalan kebudayaan. Kebudayaan cenderung dipandang minor, seolah-olah tidak penting hanya karena tidak memiliki profit tinggi layaknya ekonomi. Cara berpikir berbasis material dan kapital itu harus diubah menjadi cara berpikir berlanggam kultural, yakni mengutamakan nilai, ide, perilaku/ekspresi yang berbasis pada logika (kebenaran), etika (kebaikan), dan estetik (keindahan).
Kebudayaan merupakan jalan sekaligus wahana dalam memaknai kehidupan secara berkualitas yang berimplikasi pada martabat bangsa.
Di tengah keputusasaan atas peran dan fungsi negara dalam tugas-tugas kebudayaan, mungkin penting untuk diusulkan sebuah sikap dan perilaku yang kritis atas penyelenggaraan kebencian, yakni diet kebencian. Yakni, sikap dan perilaku mengatasi asupan kebencian menuju titik paling rendah. Manusia tidak bisa terbebas dari kebencian. Seperti halnya cinta, kebencian merupakan bagian dari emosi yang inheren dalam jiwa manusia. Kebencian tidak dapat dihilangkan, tetapi bisa dikelola dan diatasi.
Diet kebencian bisa diawali dari pemaknaan atas kebencian sebagai hal yang buruk, destruktif, dan merugikan, baik secara psikologis, fisik, maupun sosiologis. Memelihara dan merawat kebencian sama artinya dengan merusak diri sendiri atau orang lain yang berposisi sebagai korban kebencian. Karena itu, kebencian dapat dimasukkan dalam kelompok asupan beracun yang harus dihindari.
Latihan diet kebencian dapat mengantar kita pada fase pencapaian yang tinggi, yakni pantang pada kebencian. Didukung kekuatan asketis, kebencian pundiubah menjadi cinta. Cinta dijamin mampu menerbitkan rasa damai pada diri sendiri dan orang lain. Cinta pun dapat dikapitalisasi menjadi energi yang produktif untuk melahirkan kreativitas. Tanpa kebencian, manusia pun mampu menemukan kebahagiaan. Begitu juga sebuah bangsa yang tidak mengidap penyakit kebencian sangat berpotensi melahirkan negara sejahtera dan bahagia. Kebencian harus dilawan dengan cinta yang ditransformasikan secara kreatif dan inovatif melalui jalan kebudayaan.
INDRA TRANGGONO, PEMERHATI KEBUDAYAAN DAN SASTRAWAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Diet Kebencian".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar