Puncak gunung es perundungan kelihatan jelas ketika video berdurasi 15 detik berjudul "Lemparan Tong Sampah Maut" menjadi viral. Muncul berbagai kecaman, tudingan, ulasan, saran, dan komentar di media.
Sekolah digadang-gadang jadi tempat ideal untuk tumbuh kembang anak tanpa kekerasan, tetapi justru di sanalah ia beranak-pinak. Sekolah melakukancorporal punishment, yaitu hukuman yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud untuk mendisiplinkan atau memperbaiki/mengubah perilaku seseorang yang melakukan kesalahan.
Corporal punishment di sekolah dianggap biasa. Memukul siswa yang kukunya panjang dengan penggaris; menyuruh lari keliling lapangan karena tak mengerjakan tugas; meneriaki, menghina, dan menampar dengan kertas; menyekap, menyuruh berdiri di depan kelas; atau memarahi di depan teman-temannya. Perlakuan guru seperti itu dipandang sebagai cara paling ampuh untuk mendisiplinkan siswa dengan dilandasi asas "di ujung rotan ada kedisiplinan".
Tindakan corporal punishmentdidukung sekolah dengan peraturan sekolah, seperti menetapkan model cukuran rambut bagi siswa atau warna sepatu. Sekolah mengharuskan ketaatan total dari siswa, menetapkan skor untuk setiap tindak pelanggaran. Guru memperlakukan siswa sama sekaligus mengklasifikasi. Tipe belajar anak dan disparitas antarsiswa tidak diperhatikan. Anak yang nilainya di atas 85 dikategorikan pandai, jika kurang dari 75 masuk kategori bodoh.
Pergaulan antarteman sebaya di beberapa sekolah diwarnai dengan senioritas: siswa kelas bawah harus tunduk-patuh. Kebanyakan tindak senioritas tidak diketahui guru. Kalaupun diketahui, tindakan tersebut dianggap sebagai tradisi untuk mengakrabkan antar-angkatan. Sekolah sudah jadi rumah kedua. Seyogianya sekolah hanya membantu keluarga, tetapi kini jadi yang utama karena peran keluarga sebagai pendidik utama dan pertama terkikis peradaban dan perburuan karier orangtua.
Setali tiga uang, di rumah anak juga mengalami corporal punishment dari orangtuanya. Dijewer, dipukul, dicubit, dimarahi, dimasukkan ke dalam kamar mandi atau gudang, dipaksa masuk jurusan IPA, dipaksa les privat, tidak diberi atau dikurangi uang sakunya, tidak ikut liburan keluarga jika seorang anak tidak menurut apa kata orangtuanya.
Dari keluarga dan sekolah, seorang anak "belajar" melakukan semacam corporal punishmentterhadap yang lemah. Tujuannya bukan untuk mendisiplinkan, melainkan untuk menunjukkan eksistensi, superior, atau dominasinya. Sebagai "latihannya" dilakukan terhadap adiknya, pembantunya, sopirnya, anak lain yang di bawahnya. Di sekolah terhadap adik kelasnya, terhadap siswa lain yang lemah. Terjadilah perundungan.
Media sosial turut ambil bagian dalam menyebarkan corporal punishment dan perundungan. Mereka mengunggah video sebagai iseng, lelucon, atau menunjukkan eksistensi. Semakin keluar dari kewajaran makin keren. Keren dimaknai dari segala tindakan yang antikemapanan.
Sebuah tawaran solusi
Perundungan cenderung dilakukan oleh orang yang pernah mengalami perundungan, sekurang-kurangnya melihat. Perundungan dipicu oleh pendapat bahwa orang lain harus juga merasakan apa yang saya rasakan, semakin berat semakin baik.
Dengan demikian, kekerasan akan berlangsung terus tiada pernah putus. Jika tak bisa membalas kepada orang yang melakukan kekerasan, kekerasan dialihkan kepada orang yang lemah.
Dalam masyarakat sering terungkap: mereka "menjadi orang" karena dahulu diperlakukan dengan keras. Saya bisa sukses karena dididik ayah dengan keras. Dipukul pakai gesper, diikat di pohon, dimarahi habis-habisan. Atau dididik oleh guru-guru yang tak kalah kerasnya: dijemur di lapangan, disuruh lari keliling lapangan, dan seterusnya.
Ketika jadi orangtua atau guru, adakah jaminan pengalaman ditertibkan itu hanya tersimpan sebagai pengalaman buruk dan tak diberlakukan terhadap anak atau anak didik? Dalam keadaan marah, hal itu nyaris mustahil.
Untuk merentas perundungan perlu usaha ekstra keras dan cerdas karena dalam keseharian corporal punishmentdianggap biasa dan malahan harus dilakukan. Pertama, belajar lagi. Guru dan orangtua harus belajar lagi bagaimana memperlakukan anak-anak milenial ini agar tidak copy paste dari pengalaman sewaktu jadi anak dan siswa. Belajar mengenai corporal punishment,aktif tanpa kekerasan, mendengarkan anak atau siswa, dan proaktif. Dengan belajar diharapkan mengoreksi tindakan dan perlakuan terhadap anak selama ini.
Kedua, mendesain pembelajaran dan pelatihan ramah anak. Untuk sampai pada kesadaran bahwa merundung adalah keliru perlu waktu. Dalam pembelajaran disisipkan materi perundungan. Misalnya, ditayangkan peristiwa perundungan, siswa diminta pendapatnya kalau sebagai korban, pelaku, atau sebagai penonton.
Ketiga, bersinergi antarlembaga sekolah/institusi. Merentas perundungan akan lebih mengena jika melibatkan banyak pihak. Gerakan Ragamuda oleh SMA Kolese Kanisius dan SMA Al-Izhar menggaungkan pluralisme lewat media sosial (Kompas, 5/6) dapat dijadikan referensi bagaimana menggandeng pihak lain untuk bekerja sama. Berbalas kekerasan telah membudaya, merentas perundungan jadi niscaya.
NICOLAS WIDI WAHYONO, GURU SMA KOLESE KANISIUS JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Merentas Rantai Perundungan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar