Judul laporan yang diangkat tersebut selaras dengan sambutan Presiden AS Barack Obama pada Rapat Umum PBB September 2016 yang menyatakan bahwa: di dunia ini terdapat 1 persen insan yang mengendalikan kekayaan senilai kekayaan milik 99 persen warga terbawah, dan kondisi ini yang membuat dunia tidak akan stabil "A world where 1% of humanity controls as much wealth as the bottom 99% will never be stable".
Terkait dengan itu, OxFam pada 2015 mengalkulasi terdapat62 orang yangmenguasai aset sebesar 1,76 triliun dollar AS atau setara dengan jumlah aset yang dikuasai oleh 3,6 miliar orang atau setengah dari populasi dunia yang memiliki pendapatan paling rendah (kaum marjinal). Kini, paparan OxFam pada Januari 2017 menyatakan terdapat delapan orang yang memiliki kekayaan setara kekayaan 3,6 miliar orang di dunia ini.
Jika hitam putih potret kekayaan dunia sudah begitu menakutkan, bagaimana dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Isu utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah kemiskinan dan kesenjangan atau ketimpangan ekonomi. Potret pertumbuhan ekonomi pada September 2016 dapat dilihat dari besarnya persentase tingkat kemiskinan mutlak sebesar 10,70 persen atau 27,76 juta orang, koefisien Gini 0,394, tingkat pengangguranterbuka mencapai 5,33 persen atau sebesar 28,01 juta orang, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPK) mencapai 70,18 (BPS, Juli 2017).
Sementara potret beban anggaran dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untukrasio total utang terhadap produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan 28,1 persenpada2017dari sebelumnya28,3 persenpada 2016 dan rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB 1,3 persen pada 2016 (Kementerian Keuangan RI, Juli 2017).
Utang negara vs sosial politik
Ketika utang negara menyentuh angka Rp 3.706,52 triliun padaJuni 2017,seakan pemerintah dikondisikan sebagai pencipta utang yang akan membahayakan perekonomiannegara. Jika kita teliti lebih jauh, komposisi utang negara yang terbentukberasal dari akun penerbitan Surat Utang Negara (SUN) sebesar 80,4 persen (Rp 2.979,5 triliun) dan yang berasal dariakun pinjaman sebesar 19,6 persenatau Rp 727,02 triliun terdiri daripinjaman luar negeri 19,5 persen dandari pinjamandalam negeri 0,1 persen.
Dari segi pengelolaan utang, proyeksi persentase utang28,1 persen dari PDB dapat dikategorikan aman atau terkendali, dan masih terpaut jauh dari pinjaman maksimal yang diizinkan sebesar 60 persen dari PDB (UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara). Demikian juga dengan defisit anggaran masih dimungkinkan maksimal 3 persen dari PDB.
Dengan demikian, pemerintah masih punya ruang gerak untuk melakukan manuver ekspansi fiskal secara terkendali, apalagi utang tersebut sebanyak 80,2 persen didominasi SUN. Hal ini memberi keuntungan tersendiri dari segi pengelolaan, karena pemerintah dapat melakukan profiling terhadap SUN yang akan jatuh tempo dalam rangka memelihara arus kas (cash-flow) dan likuiditas keuangan negara. Dari paparan ini secara tegas dapat dikatakan pemerintah masih on the track dalam mengelola utang negara.
Rasanya ide atau argumen yang menyatakan bahwa utang negara yang dilihat secara jumlah besar dan memosisikan negara di tubir jurang kebangkrutan adalah sesuatu yang sumir.
Lantas, mengapa isu utang negara merembet kepada masalah sosial dan politis? Hal ini ditengarai karena banyaknya persepsi masyarakat yang memandang besaran nilai utang negara telah mencapai skala ribuan triliun. Nilai ribuan triliun ini selalu dibandingkan dengan derajat ketimpangan pendapatan akibat redistribusi fiskal,di mana polanya tergantung pada sistem politik anggaran yang dianut.
Sesungguhnya siapa yang diuntungkan dari redistribusi?Apa dampak dari redistribusi pada program belanja pemerintah dan swasta? Benarkah kaum marjinal mendapat manfaat dari program pemerintah terhadap mereka? Fenomena ini merupakan fenomena"gunung es", di mana dalam ketenangan penguasaan atas kapital dan akumulasinya tanpa disadari dapat mendatangkan instabilitas sosial dalam jangka panjang,ketidakpastian ekonomi, dan pada gilirannya dapat menjadi pencetus krisis ekonomi baru. Inilah alasan utama mengapa kelompok teratas yang menguasai kekayaan secara linear akan mempertebal ketimpangan, dan dalam jangka panjang dapat mendatangkan instabilitas sosial politik.
Hasil riset oleh Alenia dan Perotti (1996) menyatakan bahwa instabilitas sosial politik akan meningkatkan ketimpangan pendapatan dan menurunkan investasi. Hal ini terjadi secara solid di 71 negara dalam sampel. Mereka menguji hipotesis dengan menggunakan investasi dan indeks instabilitas sosio politik sebagai variabel endogenus pada periode 1960-1985. Artinya, implikasi riset ini berdampak kepadakebijakan redistribusi, yaitu redistribusi fiskal melalui peningkatan beban pajak terhadap pemilik modal dan investor, dan mengurangi kecenderungan berinvestasi.
Kebijakan lain mungkin dapat mengurangi ketegangan sosial, sebagai hasilnya membuat iklim sosial politik lebih kondusif untuk kegiatan produktif dan pengakumulasian kapital. Dari kanal redistribusi fiskal, dimungkinkan didorongnya pertumbuhan ekonomi.Selaras dengan ini,Siregar (2016) dalam bukunya, Redistribusi Aset, mengungkapkan berbagai program penanggulangan kemiskinan sudah dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi belum mampu memecahkan masalah dimaksud.
Redistribusi aset
Redistribusi aset perekonomian menjadi mengemuka kembali sebagai isu sentral, khususnya dalammenjawab ketimpangan perekonomian global dan ketimpangan perekonomian setiap negara. Sebagaimana yang disampaikan OxFam (2015) bahwa kekayaan global hanya dikuasai oleh 1 persen dari populasi dunia. Ini adalah postur struktur penguasaan kapital yang sangat memiriskan.
Di lain pihak, di belahan dunia yang tercecer, banyak kaum marjinal yang mungkin saja tidak dapat hidup layak karena dampak kebijakan redistribusi aset yang tidak pro-poor dan tidak pro-rakyatnya.Iryanti (2014) dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenasmengatakan, setiap negara mempunyai perbedaan cara mengatasi permasalahannya, tergantung dari besar kecilnya tingkat kesenjangan, dan tingkat kesulitan mengatasinya. Selanjutnya dijelaskan, pengalaman sebagian negara menunjukkan bahwa negara yang menghasilkan PDB yang besar dengan pendapatan per kapita tinggi serta distribusi pendapatan yang relatif merata mempunyai koefisien Gini yang relatif rendah.
Laporan The Word Developmentyang disampaikan Rodriguez(2000) berjudulInequality, Economic Growth and Economic Performance melihat ketimpangan membawa efek kepada pertumbuhan ekonomi (PDB) dan juga kinerja perekonomian. Hal ini semakin dipertegas oleh Harford dalam buku The Undercover Economist(2006). Harford menyebutkan, pemikir ekonomi menggunakan cara pikir bahwakekayaan ekonomi datang dari kombinasi man-made resources, seperti jalan raya, pabrik-pabrik, mesin, dan sistem komunikasi; modal insani, seperti kerja keras dan pendidikan; serta technological resources, seperti teknikal know-howatau teknologi tinggi yang sederhana.
Ditambahkan Harford, di saat negara miskin bertumbuh untuk mengatasi ketertinggalannya dari negeri kaya, investasi uang terhadap sumber-sumber fisikal, melalui perbaikan peningkatan kemampuan modal insani dan sumber-sumber teknologi melalui edukasi dan program transfer pengetahuan, sudah menjadi suatu keharusan.Harford juga mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan, kemampuan pabrikasi, ketersediaan infrastrukturdan teknikalknow-how adalah faktor-faktor yang melekat dalam (abundance) pada negara-negara kaya, sebaliknya menjadi kelemahan bagi negara-negara miskin, termasuk Indonesia.
Apa yang dilakukan pemerintah dalam redistribusi aset melalui disownershiptanah adalah salah satu cara memperkecil kesenjangan. Namun, juga harus diwaspadai, jangan sampai pengalihan kepemilikan tanah yang tidak produktif juga disertai pengalihan beban pajak pemerintah dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), apalagi ada wacana mengenakan pajak bagi tanah yang tidak produktif akan sangat mengganggu instabilitas perekonomian. Hal yang relevan saat ini adalah bagaimana memberdayakan rakyat dan kepemilikannya untuk produktif, setelah produktif barulah pemerintah mulai menerapkan pengenaan pajak, bukan sebaliknya.
Adakah solusi?
Meskipun secara sophisticatedpengelolaan utang negara aman terkendali, banyak kalangan tidak menyadari bahwa hal ini dapat dijadikan ruang bebas oleh berbagai kalangan, untuk mengganggu kearifan lokal yang menimbulkan disorientasi dalam pembangunan. Berbagai solusi dapat saja debatable.Meski demikian, saya memandang bahwa masalah utama negeri ini adalah masalah terbatasnya kapital (hard dan soft). Kapital yang terbatas membawa konsekuensi kepada kemampuan pemerintah dalam membangun perekonomian yang kokoh.
Dari sisi hard capital, konon Indonesia adalah negeri kaya, tetapi dapatkah kekayaan itu ditranslasikan ke dalam aset? Punya harta belum berarti memiliki aset, misalnya seorang ibu memiliki emas 1 kilogram. Kepemilikan ini tidak ada artinya kalau tidak teregister dan dilegalkan sebagai aset meski dapat diperjualbelikan. Bilamana aset tadi dapat diregister dan dilegalkan, secara otomatis dapat dimasukkan ke dalam akun aset yang memiliki value (nilai). Kita bisa bayangkan kalau harta emas yang dimiliki rakyat Indonesia teregistrasi dan terlegalisasi, berapa ribu triliun valueyang tercipta dalam neraca perbankan?
Untuk mewujudkannya, solusi terbaik adalah bagaimana pemerintah atau swasta membuat semacam clearing houseyang berfungsi sebagai sentral register dan legalisasi harta menjadi aset yang memiliki value. Clearing housebukan saja berfungsi untuk meregister dan melegalisasi aset, melainkan juga berfungsi sebagai treasury modern dalam bentuk billion system danbullion system sebagai bagian dari struktur keuangan nasional yang mengglobal. Semoga!
BATARA M SIMATUPANG, LEKTOR PADA PASCASARJANA MM STIE INDONESIA BANKING SCHOOL
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Utang dan Sosial Politik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar