Mengapa hoaks, ujaran kebencian, dan gaduh melanda negeri ini? Saya ingin melihatnya dari dua sisi saja, yakni sosok demokrasi dan peran pendidikan kita.
Tingkat pendidikan warga masyarakat kita masih rendah, padahal pengetahuan akan membentuk nilai dan memengaruhi perilaku dan moral yang merupakan bagian dari budaya, selain sebagai pembeda dan perekat sosial. Seberapa jauh prestasi kita? Peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) rendah. Kemampuan siswa kita dalam matematika, baca, dan sains rendah. Karena angka melek huruf yang rendah, peringkat indeks pembangunan manusia kita (HDI) yang indikatornya ketahanan hidup, pengetahuan/pendidikan, ekspektasi lama bersekolah, dan kualitas standar hidup kita rendah.
Hoaks, bohong, perilaku memperdaya orang, kebencian, dan olokan tentu berkorelasi dengan kedalaman pengetahuan si pengujar. J Kristiadi diKompas (12/8) menyebut pendidikan politik penting untuk membangun karakter. Senada dengan itu, tentu para partisan diharapkan lebih berkualitas memperjuangkan kepentingan bangsa/negaranya, bukan berburu kepentingan kelompok/dirinya.
Bagaimana demokrasi kita yang notabene bagian dari gerakan kebudayaan sebagai jantung peradaban (menteri agama dalam Kompas, 13 Juli 2015)? Demokrasi yang matang perlu prasyarat: tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat. Yang sering kita lihat di Indonesia adalah democrazy.Presiden Joko Widodo menyebut demokrasi kita kebablasan. Apa eksesnya? Ia menelurkan hoaks dan sejenisnya yang jelas-jelas tidak ada nilainya dalam mendidik.
Peter Berger mengatakan "If you want to build democracy, you must do it with democrats" .Para demokrat, menurut Berger, adalah mereka yang berkarakter khas demokrat: honesty, reliability, industriousness, willingness to take on responsibility. Sejauh mana bangsa ini telah memiliki karakter khas democrats(jujur, dapat dipercaya, tekun, hormat dan empati kepada orang lain, ada kemauan ikut bertanggung jawab, dan suka menolong)? Yang hampir dapat disimak via layar televisi setiap hari justru penangkapan terduga korupsi, narkoba, penipuan, dan sejenisnya.
Bangsa yang sudah 72 tahun merdeka ini belum mampu mengatasi kesenjangan kemiskinan secara signifikan.
SETYO SOEDRADJAT, DOSEN PASCASARJANA UNIVERSITAS BUDI LUHUR, TINGGAL DI CIPULIR, KEBAYORAN LAMA, JAKARTA SELATAN
Asuransi Kendaraan Bermotor
Kami mengimbau yang berwenang dan pihak terkait memikirkan wajib pengenaan asuransi terhadap kendaraan bermotor yang diperoleh berdasarkan pembelian leasing atau cicilan.
Kami merasakan betapa tidak adil pengenaan wajib asuransi yang diperoleh dengan cara leasing: setiap pembelian kendaraan bermotor diwajibkan membayar penuh untuk waktu tenor pembelian kendaraan tersebut. Misalnya, kita membeli dengan cara cicilan tiga tahun, maka pembeli diwajibkan membayar asuransi penuh sekaligus tiga tahun. Jika misalnya premi asuransi per tahun Rp 5 juta, dalam tiga tahun berarti harus membayar Rp 15 juta. Padahal, seharusnya asuransi dibayar pada tahun berjalan saja.
Kami merasakan bahwa cara ini sangat merugikan konsumen karena biar bagaimana pun konsumen pasti berusaha agar kendaraannya tidak mendapat kecelakaan.
Baru-baru ini anak kami membeli kendaraan dengan cara leasing melalui PT Mitsui dan asuransinya ditutup oleh PT Sinar Mas. Selama tiga tahun kendaraan itu tak pernah mengalami kecelakaan. Pada waktu hampir selesai masa asuransinya, sekitar kurang dari satu bulan, kami coba mengklaim hanya untuk guratan kecil. Ternyata untuk itu pun kami diminta membayar biaya administrasi sekitar Rp 300.000 per panel. Jadi, kami batalkan saja, padahal kami selama ini telah membayar lebih dari Rp 17 juta selama tiga tahun.
Di Malaysia, jika kita tidak mengalami kecelakaan, tahun berikutnya akan mendapat bonus penurunan premi dan asuransi kendaraan bermotor. Di sana hitungannya pada tahun berjalan saja.
CONRAD SIAHAAN, JALAN KESEHATAN 8, CAMAN RAYA, JATIBENING, BEKASI, JAWA BARAT
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar