Baru pada malam harinya petugas berhasil membebaskan wanita dan anak itu tanpa luka sedikit pun. Lewat tengah malam waktu setempat, polisi memastikan pria bernama Johannes Marliem itu tewas akibat bunuh diri menggunakan senjata api.
Sejauh itu, kematian Johannes adalah bunuh diri biasa; mungkin depresi. Akan tetapi, kematian Johannes menjadi tak biasa begitu beritanya tiba di Tanah Air.
Orang Indonesia terenyak kaget. Media-media sosial meramaikannya sejak pekan lalu dengan aneka bumbu berita.
Yang jelas, kematian Johannes di AS ini langsung dihubungkan dengan perkara KTP elektronik, kasus proyek senilai Rp 5,9 triliun yang terjadi dalam kurun 2012-2014 dan menyerempet nama-nama besar politisi dan pejabat di Indonesia. Bahkan Ketua DPR Setya Novanto telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri sedang menjalani sidang sebagai terdakwa, dan puluhan anggota DPR disebut-sebut ikut terlibat dalam persekongkolan menggangsir anggaran proyek negara ini.
Siapa Johannes Marliem? Ia Direktur Biomorf Lone LLC, AS, perusahaan penyedia layanan teknologi biometrik. Dalam dakwaan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, Marliem disebut sebagai penyedia produk automated finger print identification system (AFIS) merek L-1 untuk proyek KTP elektronik.
Dalam pernyataan kepada sebuah media di Tanah Air, Johannes Marliem mengaku memiliki bukti rekaman pembicaraan dengan para perancang proyek KTP elektronik itu, termasuk rekaman pertemuannya dengan Setya Novanto. Rekaman itu dibuat di setiap pertemuan, berkali-kali, dalam rentang waktu empat tahun lamanya. Tidak heran ukuran filerekaman juga begitu besar: 500 gigabyte!
Tak pelak lagi, kematian Johannes Marliem, yang disebut sebagai saksi kunci perkara KTP elektronik, langsung dihubungkan dengan perkara ini. Apalagi, sebelumnya, beredar informasi soal dua saksi dari kalangan anggota DPR yang meninggal. Mereka adalah politikus Partai Demokrat, Ignatius Mulyono, dan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Mustokoweni. Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, baik Ignatius maupun Mustokoweni diduga menerima aliran dana korupsi KTP elektronik. Ignatius disebut menerima 258.000 dollar AS, sedangkan Mustokoweni 408.000 dollar AS.
Sebuah kebetulan? Bisa jadi iya. Namun, publik telanjur percaya di balik kematian Johannes ada sesuatu yang besar dan terkait dengan perkara di Indonesia ini. Lantas, akankah kematian Johannes bisa melepaskan Setya Novanto dan lain-lain yang namanya sering disebut dari tuntutan hukum? Tunggu dulu.
Johannes bukan saksi kunci dan satu-satunya dalam perkara KTP elektronik. Menurut KUHAP, ada lima alat bukti yang dipakai dalam mendakwa seseorang: saksi, pendapat ahli, surat (dokumen), keterangan terdakwa, dan petunjuk. Pendakwa harus memiliki minimal dua di antara lima alat bukti. Ia hanya satu di antara sekian banyak saksi. Kematian yang bisa membebaskan seorang terdakwa adalah kematian si terdakwa sendiri.
Vonis dua tersangka
Ketika dakwaan atas diri Sugiharto dan Irman dibacakan oleh KPK, di situlah bermunculan banyak nama yang dianggap berkaitan dengan kasus KTP elektronik, termasuk Setya Novanto. Namun, tatkala pengadilan memvonis Sugiharto dan Irman, nama Setya Novanto sama sekali tidak disebut lagi dalam pertimbangan yuridis hakim.
Desas-desus pun kian berkecambah: ada apa sesungguhnya yang terjadi? Ada yang beranggapan bahwa sejak nama Setya Novanto bergulir di pengadilan dalam kasus Irman dan Sugiarto, sejak itu juga Setya Novanto bergerilya agar namanya kelak tidak disebut dalam pertimbangan hukum majelis hakim dalam vonis Irman dan Sugiarto. Alasannya, dengan tidak menyebutkan lagi nama Setya Novanto dalam vonis kasus Irman dan Sugiarto, maka tidak ada lagi alasan meneruskan kasus Setya Novanto. Sejauh mana kebenaran desas-desus ini? Wallahu a'lam bis-sawab.
Saya tak latah dan mahir mengikuti irama desas-desus. Yang pasti, apabila saya hakim yang menangani kasus Irman dan Sugiarto dalam kasus KTP elektronik, saya juga tak akan menyebut Novanto dan yang lain dalam pertimbangan hukum saya untuk memvonis Irman dan Sugiarto. Saya tak mau orang-orang yang saya sebut dalam pertimbangan hukum saya itu sudah tervonis sebelum mereka diproses melalui pengadilan. Alasan lain, saya tidak menyebut nama Setya Novanto agar negara sebagai pendakwa tidak malas untuk menggeledah bukti untuk mendakwa Setya Novanto. Saya tidak mau negara take it for granted dari vonis saya tersebut.
Beda halnya jika Setya Novanto dan yang lain-lain diadili secara bersama dengan Irman dan Sugiarto. Segala pertimbangan hukum saya untuk memvonis kedua orang tersebut, nama Setya Novanto dan yang lain-lain harus dimasukkan dalam pertimbangan yuridis.
Lantas, apakah dengan tidak lagi menyebut nama Setya Novanto dalam putusan majelis hakim yang menghukum Irman dan Sugiarto serta-merta kasus Setya Novanto berhenti atau dapat dihentikan? Sama sekali tidak. Tidak ada alasan yuridis dan logika hukum yang bisa membenarkan penghentian kasus Setya Novanto tersebut. Penyidik tetap boleh dan harus memproses kasus ini dengan bukti-bukti yuridis yang kuat. Biarlah pengadilan kelak yang memutuskan bersalah tidaknya Novanto.
Nah, ini yang disebut keadilan sebab unsur tertinggi dari keadilan itu, kata John Rawl, adalah fairness (Justice and Fairness, John Rawl, 2001)
HAMID AWALUDIN
MENTERI HUKUM DAN HAM 2004-2007; PENGAJAR FH UNIVERSITAS HASANUDDIN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Dampak Kematian Johannes Marliem".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar