Membaca headline harian Kompas (3/8) berjudul "Dana Desa Sumber Korupsi Baru", saya teringat pengalaman sekitar 35 tahun lalu, tahun 1983-an. Waktu itu setiap desa mendapat bantuan keuangan dari pemerintah berupa "uang bandes" atau bantuan desa, dipelesetkan warga menjadi "uang bonus kepala desa".
Waktu itu di kantor Kecamatan K, Kabupaten K, Jawa Tengah, terjadi kesibukan sekaligus "kepanikan" karena mendadak datang rombongan tamu dari Semarang. Para "priyagung" dari ibu kota provinsi itu minta agar semua pamong desa T, kepala desa, carik/sekretaris desa, dua kebayan, ulu-ulu, dan modin dipanggil ke kantor camat.
Dalam pertemuan yang menegangkan, terungkaplah ada surat dari warga desa T yang dikirim kepada gubernur, menanyakan pemotongan uang bandes untuk rekening gubernur (sebenarnya juga ada pemotongan untuk rekening bupati). Jika uang bandes seluruh desa di Jawa Tengah dipotong untuk rekening gubernur, terkumpul dana sekitar Rp 900 juta. Si pengirim surat mengatakan, pemotongan sebesar ini akan mengurangi volume pembangunan di desa karena pada waktu itu jumlah ini cukup besar.
Dalam pertemuan terungkap bahwa uang bandes Rp 1.250.000 dalam waktu kurang dari seminggu sudah habis untuk membeli pasir-batu, bantuan PKK, karang taruna, dan rekening bupati dan gubernur. Yang menjadi "tertuduh membocorkan rahasia negara" adalah sekretaris desa karena menunjukkan SPJ uang bandes kepada warga.
Pak Carik menjawab, warga perlu tahu penggunaan uang pembangunan yang berasal dari pajak warga. Pada waktu itu surat pertanggungjawaban (SPJ) disiapkan lurah bersama para anggota LKMD (lembaga ketahanan masyarakat desa) yang tak lain adalah para kroni kepala desa.
Dari kejadian ini, lebih dari 30 tahun lalu, terbukti dana desa bukan sumber korupsi baru, melainkan sudah lama. Sampai kapan budaya "pagar makan tanaman" berakhir?
SUGENG HARTONO
Pensiunan Petroleum Geologist, Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta-12440
Salah Tulis Judul
Dalam tulisan pendek tentang info buku baru berjudul "Sang Maestro di Mata Mia Bustam" (Kompas, 12 Agustus 2017, halaman 24) ada ketidaktelitian yang mengganggu.
Terjadi salah tulis judul buku, seharusnyaSudjojono dan Aku menjadi Sudjono dan Aku, bahkan kesalahan berulang sampai dua kali. Demikian juga nama sang maestro Sudjojono sekali ditulis "Sudjono".
Saya khawatir jangan-jangan sang penulis dari Litbang itu tidak begitu paham akan materi yang ditulisnya. Mohon editorKompas lebih cermat lagi.
HARSONO SUTEDJO
Kemang Pratama 3, Bekasi
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas koreksi yang Anda sampaikan. Kepada semua pihak yang berkepentingan, kami mohon maaf atas ketidakcermatan yang terjadi.
Air Keruh
Air PDAM di tempat saya tinggal keruh dan mengandung butiran debu halus, yang langsung mengendap begitu didiamkan dua hari dalam bak mandi. Air ini membuat dinding bak menguning.
Saya harus menguras bak mandi dua hari sekali. Padahal, saya sudah menggunakan penyaring sebelum air dialirkan ke bak mandi.
Saya meminta pihak terkait bisa mengatasi masalah ini, karena saya berlangganan air bersih dari PDAM dan air bersih merupakan hal vital.
NOORWANSYAH TRI S
Vila Nusa Indah 5, Cluster Murai, Ciangsana, Gunung Putri, Kabupaten Bogor
Barang Tak Datang
Pada 3 Agustus 2017, saya memesan dan membayar produk Profesional Cupronickel paduan senar biola 4 buah di Lazada. Kode produk OE427MEAA7 22YLANID-17335334, nomor order 3143587382. Hingga menulis surat ini belum ada kejelasan kapan barang datang.
Saya sudah mengirim surel ke alamat surel dan menulis keluhan di situs Lazada, tetapi tak ada respons yang bisa memberikan penjelasan mengenai barang yang saya pesan.
Memang harga barang yang saya pesan tidak besar, tetapi ini bukan soal harga. Seharusnya Lazada dapat bersikap profesional dan menjaga kepercayaan para pelanggan. Mohon tanggapan dari pihak Lazada.
RIMSON NAPITUPULU
BSD, Tangerang Selatan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar