Akhir pekan lalu, Lee Jae-yong (49) dinyatakan bersalah karena menyuap dan bersumpah palsu. Ahli waris perusahaan raksasa Samsung ini juga dinyatakan terlibat skandal. Samsung adalah salah satu dari chaebol ataudaegieop—konglomerat besar yang dikuasai keluarga—yang mendominasi ekonomi negara selama beberapa dekade terakhir. Mereka memiliki hubungan kuat dan erat dengan elite politik di Korsel.
Bukan hanya produsen alat-alat elektronik, Samsung bahkan telah bergerak dalam berbagai macam bisnis. Samsung memiliki pusat kesehatan, kompleks apartemen, garmen, bahkan Samsung menyediakan jasa pemakaman. Pendek kata, Samsung telah menjadi bagian hidup rakyat Korsel: mulai dari lahir sampai meninggal.
Keberhasilan Samsung baik di dalam maupun di luar negeri—sebagai produsen telepon pintar terbesar di dunia—telah membuatnya sebagai simbol transformasi ekonomi Korsel. Sejarah mencatat, Korsel yang muncul sebagai negara paling miskin di dunia setelah Perang Dunia II kini telah menjadi salah satu negara terkaya di dunia.
Akan tetapi, hubungan, persahabatan antara pengusaha dan elite politik telah berbelok menjadi kolusi untuk kepentingan bisnis di satu sisi dan kepentingan politik di sisi lain. Telah terjadi, tidak hanya di Korsel, tetapi juga di Indonesia, pertemuan antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan utama penyokong korupsi.
Pada gilirannya, relasi penguasa—dalam kasus Korsel relasi itu dibangun Choi Soon-sil, teman dekat sekaligus penasihat Presiden Park Geun-hye—dengan kelompok bisnis menjadi fondasi kuat terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Terjadi pola simbiosis mutualisme antara elite politik penguasa dan kekuatan ekonomi. Ini menyokong praktik korupsi.
Choi telah menggunakan hubungan eratnya dengan Park untuk menekan para konglomerat agar memberikan donasi. Namun, tidak ada makan siang gratis. Menurut jaksa, Lee Jae-yong memberikan donasi dan sebagai imbalannya mendapatkan dukungan pemerintah untuk melakukan restrukturisasi Samsung secara besar-besaran.
Relasi bisnis dan politik dengan pola barter kepentingan semacam itu pastinya mengancam demokrasi. Rezim demokrasi yang mestinya menghidupkan nilai-nilai fairness, akuntabilitas, transparansi, dan antikorupsi telah dirusak oleh praktik korupsi dan kolusi. Inilah yang dihancurkan oleh pengadilan Seoul dengan menjatuhkan hukuman penjara kepada para pelaku. Keberanian dan ketegasan menegakkan hukum menjadi contoh baik dalam usaha memperkokoh demokrasi sekaligus memberantas kanker korupsi, yang di negeri ini sudah sangat kronis.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Contoh Lagi dari Korea Selatan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar