Kita semua mengakui, selama ini sudah banyak langkah yang ditempuh pemerintah untuk menekan angka kemiskinan. Perbaikan program lewat penajaman dan perluasan sasaran juga terus dilakukan. Anggaran belanja sosial yang digelontorkan pun terus meningkat. Namun, angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan seolah bergeming.
Sebagai gambaran, selama kurun 2004-2011 anggaran untuk pengurangan angka kemiskinan meningkat 400 persen, tetapi angka kemiskinan hanya turun 3,37 persen atau rata-rata 0,56 persen per tahun. Sejak 2010, angka kemiskinan juga hanya turun kurang dari 1 juta per tahun.
Angka ini sangat jauh dari memadai untuk mewujudkan target angka kemiskinan nol persen pada 2030, sebagaimana digariskan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Target SDGs ini mengharuskan pengurangan penduduk miskin minimal 2,14 juta per tahun dari total 22,77 juta penduduk miskin saat ini (Kompas, 1/8).
Kenyataan ini memunculkan gugatan terkait efektivitas dan kesinambungan program antikemiskinan itu sendiri. Banyak program yang diluncurkan dianggap tak mampu memperbaiki kualitas hidup penduduk miskin. Salah satu alasannya, desain program dan kelemahan data, sehingga program salah sasaran dan tak mampu menangkap realitas kemiskinan. Profil keluarga miskin, menurut BPS, dianggap tak menggambarkan potret kemiskinan di lapangan.
Kritik lain, program lebih banyak hanya memberikan ikan daripada kailnya. Upaya mengatasi kemiskinan juga sering diperlakukan sebatas proyek, dan sangat terpusat.
Hal inilah yang tampaknya coba terus dikoreksi di era pemerintahan saat ini, dengan memperbaiki basis data terpadu, mempertajam program, memperluas jangkauan sasaran, menekan sekecil mungkin penyimpangan/penyalahgunaan. Namun, kita tak menutup mata, belum semua upaya ini berjalan baik di lapangan.
Selain mempertajam program dan memperbaiki implementasi di lapangan; untuk menekan kemiskinan, menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi juga penting. Namun, itu saja tak cukup, lebih-lebih dengan kemampuan perekonomian yang terus melemah dalam menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.
Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan berkualitas dan inklusif, yang membuka seluas-luasnya akses dan partisipasi masyarakat bawah. Tak kalah penting, keberlanjutan dari program itu sendiri. Pergantian rezim atau pejabat membuat jaminan keberlanjutan program sering terabaikan.
Oleh karena itu, kita berharap banyak pada peraturan presiden yang akan diluncurkan dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Panjang untuk mengakomodasi agenda SDGs dan mengawal kesinambungan program yang sudah ada. Mewujudkan target kemiskinan nol persen tak hanya menuntut kerja lebih keras, tetapi juga fokus, inovasi, dan kreativitas, serta kemitraan dengan semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar