Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 September 2017

ARTIKEL OPINI: Melawan Pembakar Merah Putih (SAID AQIL SIROJ)

Menjelang peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus 2017, yang baru saja berlalu, kita dikagetkan oleh sebuah peristiwa pembakaran umbul-umbul "merah putih" oleh salah satu ustaz di satu pesantren di Bogor. Tentu ini sangat mencemaskan.
DIDIE SW

Beruntung warga sekitar pesantren langsung bertindak dan diselesaikan dengan tanpa kekerasan. Pembakaran ini jelas sebuah penistaan terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tingkah yang kebablasan ini tidak berasal dari ruang hampa. Artinya, ada ideologi atau pemahaman tertentu yang melatarinya. Kita tahu, saat ini bermunculan banyak kelompok keagamaan yang lebih mendesakkan simbol-simbol keagamaan dalam tafsiran picik mereka. Radikalisme yang kemudian melahirkan aksi terorisme menjadi kecemasan masyarakat yang setiap waktu bisa saja meledakkan kericuhan dan mengusik kenyamanan.

Melampaui batas

Kita sepakat bahwa ada yang wajib dikoreksi dalam kasus pesantren di Bogor tersebut, yang selama ini kaku dan tidak menghormati tradisi kebiasaan masyarakat sekitarnya. Seperti pembakaran umbul-umbul "merah putih" oleh salah satu ustaz pesantren tersebut, jelas-jelas mencederai perasaan bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan panjang dan sulit, kemerdekaan yang dibayar dengan jutaan syuhada bangsa, ternoda oleh sikap arogan dan sembrono akibat ulah pesantren yang kelewatan itu. Hal ini jelas bukan sikap akhlak Islam yang baik, salah kaprah wala (loyalitas) dan barra(antiloyalitas) yang tidak pada tempatnya, juga akan menimbulkan masalah.

Eksistensi pesantren yang menganut paham salafi jihadi tersebut, yang menghukumi realitas sekitarnya dengan hitam- putih, sesungguhnya adalah produk pemikiran yang sempit dan picik. Mereka terbiasa mengobral mudah membidahkan (tabdi') dan juga mengafirkan (takfir). Ini yang saharusnya dihindari. Jika tidak, kegaduhan akan selalu mewarnai mereka.

Sejak lama sebetulnya masyarakat kita yang toleran dan moderat ini merasa resah terhadap keberadaan aliran baru ini. Kebiasaan masyarakat jadi terganggu dengan cara-cara dakwah yang jauh dari rasa sayang (rahmah), toleransi (tasamuh), serta saling memahami (tafahum) dalam perbedaan fikih dan teologis yang bersifat furu' (cabang). Sikap dan perilaku yang jauh dari akhlak Islam tersebut sejatinya telah melenceng dan bahkan keluar dari koridor ajaran Islam. Namun, mereka ini tidak pernah merasa salah, bahkan justru mereka gemar mengklaim bahwa ini adalah perkara prinsip yang tidak ada keraguan (syak) lagi. Mereka selalu beralasan tidak ada persatuan (ukhuwah) dengan pelaku bidah (ahlul bid'ah).

Walau sama-sama pengusung dakwah Najdiyah yang dikembangkan olehMuhammad Abdul Wahab, dalam perjalanannya mereka menjadi dua aliran. Pertama, aliran Jihadi yang hanya fokus kepada syirik qushur atau syirik undang-undang, yaitu mereka akan mengafirkan siapa saja yang tidak berhukum dengan syariat, maka dia kafir. Gerakannya cenderung membenci penguasa, kemapanan, dan antisosial sehingga wajar di mana-mana jadi resisten dengan realitas.

Kedua, seputar syirik qubur atau syirik astana alias kuburan, membenci tradisi lokal yang terbiasa ziarah kubur dan ber-istighosah di atas kuburan. Namun, qauldan fatwanya sama, hanya salafi jihadisbermetamorfosis menjadi gerakan bersenjata dan jihad yang cenderung mengabaikan urusan darah.

Keduanyamenjadikan pola dan pendekatan fikih yang sangat kaku dan akidah yang amat memaksakan doktrin tanpa kompromi. Sikap tersebut membuat komunitas salafi jihadi dansalafi menjadi serba kontradiktif (tanaquth) dan tabrakan (ta'arudh) dalam tataran realitas (waqi'iyyah). Sampai kapan pun tidak akan pernah cair dan selesai jika tidak luwes dengan perbedaan, dan dengan demikian juga tak akan pernah ada titik temu.

Peristiwa di pesantren di Bogor tersebut merupakan bentuk realisasi dari konsepsi tauhid yang mereka yakini (tahqiqut tauhid). Dengan doktrin ketauhidan seperti itu, mereka harus menampakkan keberlepasan dengan anshar thaghut(pendukung thaghut) dan kekufuran yang mereka tudingkan kepada NKRI. Dalam doktrin mereka dikatakan: "bahwa para ulama muhaqqiqien menetapkan bahwa suatu negeri apabila kemusyrikan tampak di dalamnya, hal-hal yang haram dilakukan terang-terangan, dan aturan-aturan din ini ditelantarkan (digugurkan), maka negeri itu menjadi negeri kafir, harta penduduknya dijadikan ghanimahdan darah-darah mereka dihalalkan" (Syaikh Hamdan Ibnu Atiq dalam kitabSabilun Najah Wal Fikak Min Muwalatil Murtaddin Wal Atrok).

Beban teologis di atas mau tidak mau harus mereka realisasikan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tak aneh, pembakaran bendera, pembakaran ijazah sekolah, pembakaran paspor oleh kelompok tersebut menjadi aktualisasi bentuk keberlepasan (barra) kepada sistem negara Indonesia yang dianggap sebagai negara kafir.

Jelas sudah kelompok salafi telah membuka front untuk "berperang" melawankebiasaan-kebiasaan masyarakat yang majemuk di Indonesia. Sikap ini berakar dari kesalahantaklimmereka, seperti mereka tidak mau memahami perbedaan dan tak mengajarkan pada kelompoknya untuk menghormati pendapat orang lain sehingga mereka pun mudah mengobral vonis kafir.

Tindakan tegas dan edukatif

Belajar dari kasus itu, di sinilah perlunya edukasi kepada para tokoh agama dan masyarakat tentang urgensi memahami perbedaan dalam banyak persoalan di masyarakat. Dengan begitu, umat Islam tidak saja siap bersatu, tetapi juga siap berbeda dalam bingkai persatuan bangsa dan negara. Kurikulum terkait perbandingan mazhab, fikih perbedaan,serta kaidah-kaidah hukum harus dikuatkan dan ditambah karena dari sinilah persoalan itu timbul. Ketidaksiapan para calon ustaz melihat perbedaan akan berpengaruh pada santri, anak didik kita di kemudian hari.

Karena itu, perlu ada keseragaman kurikulum dengan menekankan pada mata pelajaran adab dan akhlak. Islam bukan semata syariat dan akidah, melainkan juga tsaqofah (peradaban) yang senantiasa mengedepankan pada pembangunan akhlak yang luhur sebagai basis pembangunan peradaban. Inilah tugas para pendidik dan tokoh agama, yakni mengajarkan anak didiknya untuk menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat kita.

Pemerintah harus hadir menghadapi persoalan-persoalan di atas. Untuk itu, harus ada regulasi yang jelas terhadap tumbuhnya lembaga pendidikan yang ada. Ketika dicurigai bertentangan dengan falsafah dan ideologi negara, mengancam toleransi dan kebinekaan, maka harus dikaji kembali perizinannya dan ditindak secara hukum.

Saat ini, kita melihat dan merasakan sikap toleransi masyarakat kita tengah menghadapi krisis yang memprihatinkan. Munculnya intoleransi harus dihilangkan karena hal itu akan mengancam persatuan bangsa. Jika kita tidak terbiasa melihat perbedaan, bagaimana kita akan bisa bersikap menghormati kepada masyarakat yang majemuk di negeri ini.

SAID AQIL SIROJ, KETUA UMUM PBNU

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Melawan Pembakar Merah Putih".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger