Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 September 2017

ARTIKEL OPINI: Kehormatan Orang (KURNIA JR)

Beredar luas di media sosial foto seekor anjing terikat seutas tali pada pintu belakang sebuah sedan yang melaju di jalan. Terseret beberapa kilometer, pasti dia menderita.
HANDINING

Dalam sekejap terjadi ledakan emosi tak terkendali. Semua orang menuduh pengendara itu sengaja menyiksa anjing. Simpati bertaburan bagi hewan itu dan hujatan tanpa ampun menghujani "si pelaku".

Apa yang sebenarnya terjadi? Inilah yang kerap tidak dipertanyakan atau diperiksa lebih dulu oleh banyak orang sebelum mencaci maki siapa saja yang dianggap brengsek dalam foto atau video yang beredar di dunia maya. Yang lekas diburu orang umumnya jati diri "pelaku" melalui media sosial.

Akibatnya, sering terjadi cercaan dan penistaan terhadap pemilik akun tanpa yang bersangkutan diberi kesempatan di muka untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hampir mirip tragedi yang menimpa seorang pria yang dituduh mencuri penguat suara di sebuah masjid di Bekasi, Jawa Barat. Dia dibakar sampai mati oleh massa tanpa dasar yang dapat dibenarkan dari segi mana pun.

Akan halnya pengendara sedan yang dituduh menyiksa anjing, dengan bercucuran air mata ia bercerita bahwa kendaraan itu pinjaman dari temannya. Dia tidak tahu di pintu belakang mobil ada anjing terikat. Di tengah jalan barulah dia tahu dan segera membawa hewan tersebut ke dokter. Bagaimanapun, hatinya telanjur luka akibat penyesalan lantaran ketidaksengajaan menyakiti hewan dan hujatan keji warga dunia maya yang tak berdasar.

Sehabis itu, apakah para penistanya menyesal? Tak pernah ada konfirmasi bagi hal semacam itu dalam berbagai kasus. Para penghujat umumnya enggan mengikuti kelanjutan kasus yang mereka cerca, apalagi konfirmasi "pelaku". Bahkan, permintaan maaf pun pada hampir semua kasus tak banyak gunanya. Hujatan biasanya tak berhenti sampai ada target baru buat dikecam beramai-ramai.

Etika dicampakkan

Tampaknya sedikit yang mau belajar dari syak wasangka yang gegabah. Seakan-akan mereka adalah para rahib pengembara yang mengemban misi menyebarluaskan kebajikan ke seantero dunia maya dengan ayat-ayat sarkasme. Mereka laksana para kesatria Perang Salib yang siap menebas leher siapa saja yang dalam purbasangka mereka tak bermoral.

Kasus yang sama menimpa remaja yang sempat tenar dalam skala nasional beberapa waktu lalu setelah ia dituduh menjiplak bagi tulisan-tulisannya di Facebook. Hujatan terus mendera kendati dia sudah mengunggah permintaan maaf di akunnya. Semua penghujat seperti ingin menghabisi kehormatannya hingga tandas.

Tak jarang hujatan—terutama terhadap anak-anak dan remaja—berakibat fatal. Beberapa orang sampai bunuh diri akibat keputusasaan yang tak teratasi. Hidup tanpa belas kasihan dan kehormatan, bahkan bagi anak-anak, merupakan azab nan tak tertanggungkan. Perundungan di dunia maya bagi anak-anak dan remaja acap kali sukar dikomunikasikan dengan orangtua di rumah sehingga mereka tidak lagi melihat alasan untuk hidup lebih lama.

Kala tersiar berita baik Lindswell Kwok merebut medali emas dalam cabang olahraga wushu pada SEA Games di Malaysia, tidak semua orang gembira. Ada yang mencemooh sang atlet seraya membuat perbandingan sembrono dengan prestasi seorang anak kecil penghafal teks Kitab Suci. Tren mabuk agama akhir-akhir ini kerap menimbulkan anekdot absurd yang tidak jarang memantik kericuhan antargolongan. Kecenderungan keberagamaan macet pada tataran verbal, yang pada sejumlah kasus melanggar kehormatan orang dengan memperalat ayat suci.

Kenyinyiran yang tipikal juga menimpa dua penyanyi Korea Selatan, Hyoyeon dan Taeyeon, yang mengisi acara Countdown to 2018 Asian Games di Lapangan Monas, 18 Agustus. Bermodal informasi ala kadarnya dari internet, seorang pendidik sekaligus aktivis sosial mengecam panitia acara dan kehormatan kedua penyanyi dengan kata-kata yang tak senonoh. Keruan saja tindakan verbalnya jadi bumerang sampai acara itu usai. Permintaan maafnya tak digubris para penggemar Girls' Generation yang telanjur marah.

Dalam kasus lain yang tak kurang riskan, ada orang yang rela buang waktu untuk membongkar data pribadi orang lain dengan mesin pencari di internet demi apa yang disebut "mengungkap kebenaran". Padahal, kenyataannya dia sedang membongkar paksa rahasia pribadi orang lain. Biasanya dalam kasus ini targetnya adalah orang yang aktif di bisnis politik, hiburan, dakwah komersial, dan motivator. Lazimnya orang-orang di bidang ini berupaya mengemas citra diri sebagai pelaris bisnis. Pada beberapa kasus, "lipstik" mereka berlebihan sehingga ada orang yang gatal ingin mengungkap "fakta yang sebenarnya", "demi kepentingan umum".

Begitulah,suka atau tidak, publik kerap menyaksikan penelanjangan aib orang dengan dalih mengungkap kebenaran berselubung dalil ilmiah. Hasilnya adalah perseteruan terbuka kedua pihak. Satu sama lain saling mempermalukan hingga tidak jarang berlanjut ke ranah hukum. Etika menjunjung tinggi kehormatan orang telah dicampakkan.

Ketulusan dan kepalsuan

Apa manfaat dari semua itu? Entah. Yang jelas, tindakan verbal menghancurkan kehormatan orang jadi tren abad internet ini yang tak kenal batas. Martabat para pemimpin bangsa pun diruntuhkan hingga digulingkan lewat berbagai hasutan yang masif di dunia maya. Moammar Khadafy yang berhasil menyejahterakan rakyat Libya difitnah hingga akhirnya dibunuh dengan keji bagai penjahat. Rekaman video yang memperlihatkan masyarakat Libya mengelu-elukan sang pemimpin direkayasa oleh media Barat jadi adegan unjuk rasa mengecam kediktatoran.

Hal yang mirip sedang berlangsung di Suriah. Siang-malam beredar produk propaganda Barat yang mendiskreditkan Bashar al-Assad sebagai diktator kejam. Teror merobek-robek negerinya dan menyengsarakan rakyatnya. Secara serempak disebarluaskan ke seluruh dunia bahwa apa yang terjadi di sana adalah konflik Sunni-Syiah. Sebagian masyarakat kita menelan informasi itu mentah-mentah hingga terbawa arus sentimen mazhab tanpa tahu fakta yang sebenarnya.

Manipulasi fakta memang ampuh untuk mengelabui orang yang kurang pengetahuan dan buta hati nuraninya untuk mendeteksi ketulusan dan kepalsuan. Tak mengherankan betapa banyak pribadi mulia yang kehormatannya dinistakan dan tatanan nilai sosial dijungkirbalikkan.

Manusia masa kini mabuk oleh entitas yang mereka puja sebagai fakta dan kebenaran. Merasa cukup dengan fasilitas internet, banyak orang alpa bahwa peneliti sejati wajib membongkar perpustakaan demi materi dari sumber primer, kesaksian pelaku sejarah, dan bahan dari tangan pertama. Selanjutnya: pengkajian, pengujian, verifikasi, dan konfirmasi. Di ujung semua itu, berdiri kukuh prinsip etis menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri orang lain.

KURNIA JR, SASTRAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Kehormatan Orang".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger