Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 September 2017

ANALISIS EKONOMI A PRASETYANTOKO: Saling Ketergantungan di Era Digital (Kompas)

Di pengujung Agustus lalu, ada dua berita yang menarik perhatian. Pertama, gangguan ribuan mesin anjungan tunai mandiri atau ATM milik 11 bank akibat kerusakan satelit Telkom 1. Bank BCA menjadi bank yang paling mengalami gangguan dengan 5.700 ATM bermasalah. Sejumlah 2.000 ATM Bank Mandiri pun bermasalah, juga 1.500 ATM Bank BNI, 321 ATM Bank BRI, dan 100 ATM Bank BTN.

Berita kedua, pengumuman Jack Ma, pendiri sekaligus CEO Grup Alibaba, menjadi penasihat tim pengarah penyusunan peta jalan perdagangan elektronik Indonesia. Apa kaitan keduanya? Tidak ada.

Namun, ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari dua berita itu, yakni pada era digital, kelengahan sederhana di satu bagian kecil dalam mata rantai sistem digital bisa berimplikasi luas. Dengan kata lain, terdapat risiko sistemik pada industri berbasis digital. Oleh karena itu, perlu mitigasi menyeluruh dalam ekosistem, mulai dari perencanaan, implementasi, hingga pemantauan.

Peta jalan sistem perdagangan nasional berbasis elektronik telah dimulai pada November 2016 saat paket kebijakan ekonomi jilid 14 diterbitkan. Paket kebijakan ini bertujuan membangun pranata dan ekosistem perniagaan yang lebih efisien melalui perangkat digital. Pemerintah ingin menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kapasitas digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020. Mimpi ini berdasarkan realitas mengingat kita adalah salah satu pengguna internet dan telepon pintar terbesar di dunia, masing-masing dengan pengguna lebih dari 90 juta dan 70 juta orang.

Dalam paket kebijakan jilid 14 ditargetkan terciptanya 1.000technopreneurs dengan nilai bisnis 10 miliar dollar AS, sedangkan nilai perdagangan elektronik mencapai 130 miliar dollar AS pada 2020. Penunjukan Jack Ma sebagai penasihat merupakan bukti ambisi pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi pemain penting di tingkat global.

Grup Alibaba, perusahaan yang didirikan Jack Ma, merupakan toko elektronik terbesar di China yang menawarkan aneka produk, mulai dari alat kecantikan hingga otomotif dan properti. Kapitalisasi Alibaba di bursa saham New York termasuk salah satu yang terbesar atau sekitar 360 miliar dollar AS. Dengan lebih dari 400 juta pelanggan, perusahaan yang baru didirikan pada 1999 ini diproyeksikan memiliki kenaikan pendapatan lebih dari 40 persen pada beberapa tahun mendatang. Jack Ma sendiri memiliki kekayaan sekitar 27,4 miliar dollar AS sehingga termasuk salah satu orang terkaya di dunia.

Ironi

Di tengah ambisi menjadi pemain global, gangguan yang dialami ribuan ATM di Indonesia menjadi sebuah ironi. Mengutip pengumuman salah satu bank, kerusakan terjadi pada ATM yang menggunakan teknologi satelit parabola atau very small aperture terminal (VSAT). Teknologi ini umumnya digunakan untuk mengoperasikan ATM di daerah terpencil yang sulit diakses.

Jadi, kerusakan ini tak berpengaruh banyak pada bisnis utama perbankan yang lebih banyak di daerah perkotaan dengan basis infrastruktur teknologi lebih baik. Dari sisi bisnis bank tentu bukan masalah, tetapi masalahnya justru ada pada sisi kepentingan nasional.

Jika akses keuangan di perkotaan terganggu, biasanya pemulihan akan lebih cepat. Selain itu, umumnya konsumen mempunyai alternatif. Bagaimana jika terjadi di daerah terpencil yang tak ada alternatif? Bisnis akan mandek. Dengan demikian, cita-cita membangun akses dan kemudahan bagi daerah terpencil melalui praktik perbankan tanpa kantor dalam rangka inklusi keuangan (laku pandai) menghadapi tantangan serius.

Cita-cita besar membuka akses keuangan di daerah terpencil tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 mengenai Strategi Nasional Keuangan Inklusif, sementara cita-cita pengembangan perdagangan elektronik tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019. Peta jalan ini memuat tujuh poin mengenai upaya pengembangan ekonomi digital, yaitu persoalan logistik, pendanaan, perlindungan konsumen, infrastruktur komunikasi, pajak, pendidikan, dan keamanan siber.

Keduanya, strategi nasional keuangan inklusif dan pengembangan perdagangan elektronik, harus terintegrasi. Apalagi, jika ingin menggunakan kemajuan digital sebagai instrumen pemerataan.

Revolusi digital harus mampu menembus daerah-daerah yang selama ini tak tersentuh oleh akses konvensional. Laku pandai merupakan salah satu terobosan penting yang harus diintegrasikan dalam peta jalan pengembangan perdagangan digital. Integrasi ekosistem harus terjadi hingga tahap implementasi teknis melalui keterhubungan antar-subsistem yang kompleks.

Untuk itu, pendekatan dan cara kerja (terutama birokrasi) sektoral harus ditinggalkan karena dalam dunia digital interkoneksi adalah kunci. Pendekatan ini juga relevan dengan paket kebijakan ekonomi jilid 16 yang baru saja diluncurkan mengenai percepatan penerbitan perizinan berusaha dari tingkat pusat hingga daerah. Kita hidup dalam dunia yang saling terhubung, kita saling tergantung satu sama lain.

A PRASETYANTOKO, EKONOM DI UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2017, di halaman 15 dengan judul "Saling Ketergantungan di Era Digital".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger