Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 September 2017

ARTIKEL OPINI: MPR dan Perubahan UUD (BAMBANG KESOWO)

Telah sekian banyak wacana lisan ataupun tulis tentang perlu atau tidaknya UUD diubah lagi. Demikian pula telaah akademik ataupun forum lain yang bersifat lintas keilmuan.

Argumentasi dengan basis hukum tata negara, administrasi pemerintahan, ilmu politik, dan lain-lain juga telah banyak terpapar. Bahkan, sejak 2007, atau lima tahun setelah perubahan keempat, terekam identifikasi dan inventarisasi banyak ragam penilaian dan keinginan tentang hal itu. Ada yang menerima hasil seluruh perubahan tersebut dan menolak perubahan lagi. Ada yang menolak perubahan dan minta perombakan total UUD 1945.

Ada lagi yang minta perubahan terbatas, baik untuk memperkuat posisi kelembagaan tertentu maupun seperti sering terdengar akhir-akhir ini, ketika kebutuhan dihidupkannya kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) merebak dengan argumentasi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Dalam dua tahun terakhir bahkan kian kencang pikiran dan suara untuk kembali saja ke UUD 1945 yang asli. Dengung soal ini melalui media sosial telah meluas dengan cepat. Dengan pertimbangan dan alasannya sendiri, tidak kurang pula yang berpandangan lebih baik kembali dulu ke UUD 1945 yang asli dan baru kemudian memperbaiki/menyempurnakan secara bertahap berdasarkan desain dasar yang jelas dan terlebih dahulu disepakati bersama.

Demikian kira-kira pemampatan peta tentang perubahan UUD 1945. Bukan tidak mungkin hal itu masih berkembang lagi. Apakah berbiaknya ragam tersebut hanya menggambarkan perbedaan pikiran yang bersifat akademis atau dambaan untuk memiliki tatanan kenegaraan yang senapas dari hulu/filosofi hingga jabarannya di batang tubuh, atau sistem negara yang benar-benar efisien dan efektif, ataukah pemenuhan kepentingan dan tujuan lain yang berjangkauan politik jangka pendek, semuanya juga mungkin saja.

Barangkali ada pula yang menilai, semuanya sekadar kehebohan yang wajar. Hanya sekadar bising, tetapi tidak akan menimbulkan keonaran. Namun, juga tidak salah jika ada penilaian bahwa beberapa argumentasi tentang itu memiliki nilai dan layak diperhatikan. Paling tidak, keributan sekitar hukum dasar negara seyogianya dapat dikelola secara tepat dan bijak serta tidak dibiarkan berlarut.

Kewenangan mengubah

Sekarang, sementara perdebatan berlangsung sekitar soal perlu atau tidaknya perubahan, mengapa diubah dan bagian mana, yang tidak kalah penting lagi adalah pertanyaan: bagaimana ujung persoalan itu mesti ditangani? Sisihkan sejenak aspek substansi/material. Sekarang aspek prosedural/formal. Siapakah yang semestinya menampung, memfasilitasi, dan menggiring hingga diperoleh kesepakatan pikir dan penanganan? Banyak yang masih berpikir plastis dan seolah-olah bagai sesuatu yang given: MPR-lah pihak tersebut. Benarkah demikian?

Kewenangan MPR mengubah UUD, yang dahulu melekat dengan kewenangan menetapkan, ada ketika lembaga tersebut masih mengemban kewenangan untuk sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Kewenangan menetapkan yang diatur dalam Pasal 3 (yang lama), terkait dengan kedudukan dan fungsi MPR sebagai pengemban, sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang dahulu diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 (yang lama).

Kedudukan dan fungsi sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat tersebut kini—dalam UUD 1945 setelah empat kali perubahan—tidak ada lagi. Karena itu, apabila dalam perubahan ketiga (2001) MPR merancang untuk dirinya sendiri dan menaruhnya dalam Pasal 3 Ayat 1, bahwa lembaga tersebut "berwenang mengubah dan menetapkan UUD", argumentasi apakah kira-kira yang mampu melandasinya?

Sebagai hukum dasar tertulis yang tertinggi, UUD negara berisi aturan dasar yang mengatur bentuk negara, fungsinya, susunan kelembagaan negara, kewenangan dan mekanisme kerja mereka, mengatur tentang rakyat (hak, kewajiban, dan tata penyelenggaraan kehidupan mereka), serta tentang hubungan rakyat dengan negara. UUD pada dasarnya adalah dokumen hukum bagi (dalam istilah dan teori populer) kontrak sosial yang dibuat rakyat yang telah dan untuk bersepakat membentuk negara, menyerahkan sebagian hak mereka untuk dikelola negara, dan melepaskan sebagian hak untuk diikat sebagai kewajiban yang akan dibebankan kepadanya oleh negara. Sebagai pemilik kedaulatan, rakyat memercayakan pengelolaan kedaulatan tersebut kepada MPR, yang dalam konsepsi awal didesain sebagai "alter ego"-nya. Namun, bagai sekadar menitipkan, tetap rakyat jua yang menjadi pemilik.

Dalam konsepsi terdahulu, ketika MPR dikonstruksi sebagai lembaga negara yang tertinggi yang mewadahi segenap elemen dan lapisan ataupun golongan rakyat, dialah yang diberi amanat dan dipercaya untuk mengemban pelaksanaan kedaulatan tersebut. "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat". Karena amanat dan kepercayaan itu pula, MPR diberi kewenangan untuk menetapkan ataupun mengubah aturan dasar bagi kehidupan rakyat dalam bernegara.

Dalam konsepsi terdahulu, kewenangan MPR untuk menetapkan UUD sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 Ayat 1 (lama), secara filosofis dan sosiologis memang harus dipahami dalam hubungan dan logikanya dengan fungsi dan kewenangan MPR untuk sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat, seperti dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat 2 (lama). Kewenangan menetapkan seperti itu melekat karena jalinan hakikat sebagai pengemban amanah, sebagai pengejawantahan, sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat.

Konstruksi pikir dalam konsepsi lama tersebut tampaknya ditinggalkan dalam proses empat kali perubahan pada 1999-2002. Seperti bidang-bidang lain, pendekatannya terasa mekanik. Apa yang dirasa perlu pada waktu itu dan dianggap baik karena nilai universalitas yang diterima secara umum, bagai ditumpuk di dalamnya. Rumusan Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 setelah perubahan menjadi: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". MPR tidak lagi pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR bukan lagi lembaga "penjelmaan rakyat atau pengemban amanat ataupun kedaulatan rakyat".

Rumusan yang baru tersebut bagai bertumpu pada konsepsi yang berbeda dari sebelumnya. MPR bagai bangun lembaga yang tidak berdiri di atas konstruksi pikir serta konsepsi awal yang bersumbu pada jiwa dan semangat kekeluargaan serta elan kegotongroyongan. Dalam ungkapan dewasa ini, di sinilah agaknya antara lain bentuk ketidaksinambungan antara filosofi dan salah satu penjabaran dalam batang tubuh UUD.

Keberadaan Pasal 3 Ayat 1 UUD setelah empat kali perubahan yang dirumuskan: "Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar", mengundang pertanyaan. Bilamana untuk sekarang ataupun nanti, frasa "menetapkan" karena banyak pertimbangan mungkin diterima sekadar untuk alasan kepentingan seremonial kenegaraan, bagaimana dengan "mengubah" (atau bahkan "mengganti")? Kekuatan moral, filosofi, dan sosiologis yang bagaimana yang melandasi klaim kewenangan mengubah UUD, ketika MPR sebenarnya "bukan apa-apa lagi" dalam kaitannya dengan kedaulatan rakyat?

Kadang terdengar sindiran, MPR kini bagai bangunan yang sudah direnovasi, tetapi bentuk dan fungsinya tidak lagi sesuai dengan filosofi, cita, dan visi yang ada dalam desain besar waktu rumah NKRI ini dibangun. MPR bagai bangun rumah tanpa fondasi. Tanpa roh. Tidak heran, situasi tersebut juga mengundang gerutuan yang lebih jauh, yang malah menyangkut keperluan dan eksistensi MPR yang seperti sekarang ini.

Referendum

Pasal 3 Ayat 1 UUD hasil perubahan bagai ketentuan formal (yang dibuat MPR bagi dirinya sendiri) yang hidup, tetapi tanpa topangan moral, filosofi, dan sosiologis. Siapa yang mesti menguji pasal UUD seperti itu, kecuali rakyat selaku pemilik kedaulatan? Bagaimana jalan tengah untuk memecahkannya? Baik untuk alasan mendasar berkaitan dengan hakikat rakyat sebagai pemilik kedaulatan maupun sebagai pemecahan strategis, jalan terbaik melakukan perubahan UUD adalah melalui/ menggunakan mekanisme referendum. Mengapa demikian?

Mengubah UUD sebagai hukum dasar, sebagai aturan dasar yang disusun sebagai ekspresi kedaulatan, mudah diterima nalar ketika hal itu mesti berlangsung dengan izin dan persetujuan rakyat selaku pemilik kedaulatan. Ketika MPR saat ini bukan lagi sepenuhnya pelaksana kedaulatan, kewenangannya untuk mengubah UUD—sekali lagi, kecuali bertopang pada kekuatan formal Pasal 3 Ayat 1 UUD hasil perubahan— menjadi dipertanyakan. Dalam bahasa lama, MPR bukan lagi pengejawantahan rakyat. MPR bukan lagi pengemban amanat rakyat. MPR pun juga bukan lagi lembaga negara yang tertinggi. Dengan perubahan tadi, kedaulatan menjadi kembali penuh di tangan rakyat. Sekarang rakyatlah yang sepenuhnya punya kuasa terhadap kedaulatan, yang asalnya memang berasal dari mereka dan milik mereka. Dalam pengertian kedaulatan yang telah kembali dimiliki rakyat, mengubah UUD (mengulang ungkapan terdahulu) menjadi sama hakikatnya dengan mengubah kontrak sosial. Karena rakyat yang berkontrak, rakyat pula yang dengan demikian berhak untuk mengubahnya, baik arah, bentuk, isi, tata cara, maupun cakupannya. Perubahan UUD harus dengan minta persetujuan rakyat terlebih dahulu. Proses tersebut adalah referendum.

Menyusun (R)UU Referendum pastilah tidak sulit karena kita sudah memiliki pengalaman. Dahulu kita pernah memiliki UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum yang disusun sebagai pelaksanaan perintah TAP MPR. Ketika pada 1998 MPR berniat mengubah UUD dan dengan TAP VIII Tahun 1998 mencabut TAP IV tahun 1983, titah itu pun dilaksanakan presiden dengan mengesahkan UU No 6/1999 tentang pencabutan UU No 5/1985 tadi. Penyempurnaan konsepsi pastilah perlu. Sebagai kegiatan, referendum pasti membutuhkan biaya pula. Namun, bukankah kita juga punya banyak pengalaman dalam perancangan dan pengelolaan dana macam-macam pemilu: pemilu legislatif, pilpres, ataupun pilkada?

Pertanyaan "ujung" yang berdekatan, tetapi juga di luar soal kewenangan MPR tadi adalah siapa yang sebaiknya menginisiasi seluruh proses tadi dan instrumen apa yang seyogianya dipertimbangkan? Situasi yang tak menentu sekitar isu yang sangat mendasar jelas tidak baik dan tidak seyogianya dibiarkan tanpa sikap atau keputusan. Banyak pihak akan membuat kesimpulan sendiri serta mengembangkan pandangan, jalan, dan tindakan berdasarkan tafsir lanjutan masing-masing.

Akan terasa bijak jika semua pihak dapat membantu dan meyakinkan presiden dengan penjelasan yang komprehensif, terutama alasan filosofis dan akademik tentang perlunya presiden sebagai kepala negara mengambil prakarsa membangun sebuah kesepakatan nasional, dengan merangkul pimpinan segenap lapisan/elemen masyarakat. Harus ada kata akhir dalam kesepakatan nasional tersebut, akankah UUD dewasa ini diubah lagi (atau disempurnakan, atau diubah sebagian/terbatas, atau total, atau kembali ke UUD 1945 asli), atau tidak sama sekali.

Kalaupun akhirnya disetujui adanya perubahan, sangat penting terlebih dulu disertakan syarat tentang aturan main yang ketat, antara lain apa yang tak bisa diubah (terutama Pembukaan UUD). Juga rancangan perubahan dan rumusannya dilaksanakan oleh sebuah Panitia Ad Hoc Negara (agar tak menambah kerancuan, sebaiknya dijauhkan dari istilah "komisi") yang bertanggung jawab kepada presiden dan terdiri dari para ahli, negarawan senior, berpengalaman, dan memiliki kearifan, yang dibentuk presiden bersama para tokoh pimpinan masyarakat tadi dan pimpinan MPR. Juga bahwa ihwal perubahan dilaksanakan berdasarkan desain besar yang komprehensif tetapi pokok; pelaksanaannya dilakukan bertahap, mesti melalui referendum setiap tahapannya.

BAMBANG KESOWO, PEMERHATI KEBIJAKAN PUBLIK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2017, di halaman 6 dengan judul "MPR dan Perubahan UUD".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger