Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 September 2017

TAJUK RENCANA: Otonomi dan Antiterorisme (IRFAN RIDWAN MAKSUM)

Menyusul peristiwa mengenaskan bom Kampung Melayu, beberapa bulan lalu, tekanan untuk merevisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme meningkat.

Di dalam produk UU tersebut, tampak tekanan pada setelah peristiwa teror terjadi, bukan pada tindakan untuk mengantisipasi teror sebelum terjadi. Ini yang kemudian dinilai negara seakan lemah menghadapi terorisme.

Teori menghadapi musuh dari dalam ada dua pilihan: menguatkan negara atau menguatkan masyarakat. Menguatkan negara diyakini saat ini dengan memperkuat demokrasi. Terkait musuh dari dalam, memperkuat negara tidak saja dengan mendorong nilai demokrasi, tetapi dengan menciptakan negara totaliter, seperti Korea Utara dan sejumlah negara di Timur Tengah.

Memperkuat negara dengan jalan demokrasi bisa dilakukan dengan memperkuat negara secara nasional di mana jika dianut desentralisasi, terdapat otonomi daerah. Namun, jika tidak terdapat desentralisasi, seperti di Singapura dan Timor Leste, demokrasi di tingkat pusat yang dikembangkan.

Negara dengan desentralisasi menyebabkan adanya pemerintah pusat dan daerah, terbelah dalam sistem yang menganut adanya wakil pemerintah dan yang tak menganut adanya wakil pemerintah. Dalam sistem yang menganut adanya wakil pemerintah terdapat doktrin bahwa "wakil pemerintah adalah garda terdepan menghadapi musuh dari dalam". Negara dengan tanpa wakil pemerintah, secaraultra vires, musuh dari dalam dihadapi oleh kementerian/lembaga (K/L) yang jadi penanggung jawab.

Di tingkat dunia, Inggris yang tanpa wakil pemerintah terbukti dapat ditembus dengan mudah tindak teror. Amerika pun demikian. Sebetulnya negara pengikutnya lebih mudah ditembus oleh para pelaku. Para pelaku memilih-milih lokasi saja sehingga tidak semua negara dijadikan lokasi terornya. Lihat saja Filipina terus dipusingkan menghadapi warga Mindanao. Filipina negara tanpa wakil pemerintah, dari dahulu sampai sekarang berkiblat ke Inggris dan Amerika.

Perancis sebagai negara pencipta sistem wakil pemerintah pun demikian mudahnya ditembus. Pemerintahan kota Paris sendiri telah dilakukan reformasi untuk sistem wakil pemerintah dengan mengadopsi sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dengan modifikasi. Barangkali ini menjadi faktor pelemah sistem wakil pemerintah.

Pilihan terhadap negara totaliter tentu tidak populer. Cara seperti ini telah ditinggalkan di mana-mana.

Kolaborasi

Menghadapi musuh dari dalam dapat pula dilakukan dengan memperkuat masyarakat, yang umumnya dimaksudkan adalah komunitas. Dilemanya, terorisme adalah fenomena global. Jaringan yang membentuk gerakan ini adalah jaringan internasional. Tentu jadi lebih mudah bagi pelaku teror menghadapi komunitas dengan sumber daya jaringan internasionalnya.

Jika yang dimaksud adalah tindakan pencegahan, masyarakat yang kuat dapat jadi garda terdepan. Namun, negara harus sigap membantu masyarakat yang tanggap seperti ini. Dengan demikian, kolaborasi masyarakat yang kuat dan negara yang sigap adalah pilihan untuk menghadapi teror. Revisi UU antiteror harus mampu mengakomodasi hal seperti ini. Pertanyaannya, negara yang sigap ini apakah daerah otonom yang dimaksud atau elemen nasional di daerah?

Pertanyaan seperti ini harus dijawab dengan baik dan harus mengingat bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem wakil pemerintah. Mempelajari Perancis di ibu kotanya yang melemah dan terlebih ultra vires di Inggris yang sulit menggandeng masyarakat karena itu mudah ditembus oleh pelaku teror, maka Indonesia harus menyikapi sistem pilkada langsung yang menyebabkan tidak tersambung kuatnya tugas wakil pemerintah sebagai garda terdepan menghadapi musuh dari dalam.

Pelaku teror tentu meneliti keadaan di Perancis sebagai pencipta wakil pemerintah, di mana di luar kota Paris semua wakil pemerintah amat kuat jalinan sistemiknya secara kelembagaan dengan penanggung jawab keamanan di tingkat nasional. Di luar Paris, pemegang wakil pemerintah pun mampu berhubungan baik dengan masyarakat Perancis yang nasionalismenya dari dulu tidak diragukan. Ternyata ibu kota Paris sendiri yang tertembus aksi terorisme.

Wali Kota Paris merasa dipilih sendiri warga kotanya dan tidak menjadi bagian penting secara kelembagaan menghadapi isu nasional, bahkan global. Akibat pilkada langsung, mereka tidak terundang sebagai garda terdepan menghadapi musuh dari dalam yang merupakan kepentingan nasional dan internasional.

Bom Kampung Melayu, jika wakil pemerintah berfungsi efektif sampai paling bawah, niscaya tidak akan sampai meledak. Pelaku teror mana pun terpantau ketika kaki tangannya menyimpan bahan, membeli bahan. Bahkan, perilaku mencurigakan bisa diendus sehingga bisa diantisipasi gerakan berikutnya.

Revisi UU Antiteror harus disambungkan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khusus di bagian wakil pemerintah. Jika benar kita mempertahankan sistem wakil pemerintah, perkuat guna pencegahan gerakan teror ini. Tampak kuatnya UU Pemerintahan Daerah terkait menghadapi musuh dari dalam harus diselaraskan dengan UU Pilkada.

Jika UU Antiteror hanya memikirkan dari sisi negara, yakni memperkuat K/L yang bertanggung jawab semata, revisi ini dijamin out of context. Pelaku teror dapat mendeteksi kemudahan menembus wilayah Indonesia. Terlebih diketahui adanya kantong-kantong wilayah yang subur gerakan teror di negeri ini.

IRFAN RIDWAN MAKSUM, GURU BESAR TETAP FIA; KETUA KLASTER DEMOCRATIC AND LOCAL GOVERNANCE (DELOGO)-UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Otonomi dan Antiterorisme".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger