Pengalaman menunjukkan berbagai komisi antikorupsi bubar ketika menyentuh pusat kekuasaan. Komisi Empat tak bisa bekerja, Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) dibubarkan melalui putusan pengadilan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) mandul ketika melaporkan petinggi hukum yang tidak melaporkan kekayaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga mengalami kendala serupa. Undang-Undang KPK berulang kali dimintakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Lembaga antirasuah ini beberapa kali menghadapi masalah ketika berhadapan dengan pihak yang punya kekuasaan. Muncul istilah cecak buaya, penersangkaan komisioner KPK, penersangkaan penyidik KPK, penggunaan hak angket KPK, hingga kekerasan berupa penyiraman air keras kepada penyidik KPK, Novel Baswedan.
Belum tuntas kasus itu, Novel kembali dilaporkan ke polisi oleh atasannya sendiri, Direktur Penyidikan KPK Brigjen (Pol) Aris Budiman. Tanpa izin pimpinan KPK, Aris hadir memenuhi undangan Pansus Angket KPK. Kelemahan KPK, ketidakkompakan KPK, diungkap ke publik melalui Panitia Angket. Aris melaporkan Novel karena integritasnya diserang.
Polri merespons cepat. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah disampaikan kepada kejaksaan. Sementara kasus penyiraman air keras Novel tetap bergerak di tempat meski Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan kasus itu segera dituntaskan.
Sejarah memang membuktikan bahwa memberantas korupsi di negeri ini selalu akan menghadirkan perlawanan. Para tersangka korupsi selalu akan memanfaatkan semua kekuatan yang ada untuk bertahan agar kasusnya tidak terungkap.
Sejarah KPK memang sedang berulang dengan skenario berbeda. KPK memang bukan tanpa kelemahan. Para tersangka adalah orang yang menggunakan kekuasaan untuk membentengi diri. Karena itu, korupsi dikonstruksikan sebagai kejahatan luar biasa dan harus dihadapi dengan cara luar biasa pula. Perang melawan korupsi dengan cara biasa-biasa saja tak akan bisa mengungkap praktik korupsi luar biasa.
Pemberantasan korupsi melalui KPK membutuhkan kedisiplinan. Tidak boleh ada insubordinasi. KPK bukanlah milik orang per orang. KPK bukanlah individu. Dia adalah lembaga yang didamba masyarakat untuk memberantas korupsi. Dukungan publik rasional tetap dibutuhkan untuk menghadirkan KPK yang kuat justru ketika Presiden Jokowi memilih peran minimal dengan retorika, "Saya tak mau intervensi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar