Seperti kita ketahui, salah satu sebab korupsi banyak terjadi adalah karena politik berbiaya tinggi dari praktik demokrasi yang kita jalankan selama ini. Akibatnya, dengan model praktik demokrasi semacam itu, banyak politisi terjebak kasus korupsi ketika menjalankan pemerintahan. Dalam konteks ini, pertemuan komisioner KPK dengan pemimpin partai politik itu memberikan sinyal perbaikan politik tersendiri.
Komisioner KPK dalam lawatannya itu menyatakan bahwa pertemuan tersebut dilakukan untuk pencegahan korupsi. Tepatnya: agar korupsi tidak dilakukan politisi. Berkaitan dengan itu, dua hal penting disampaikan: (1) agar partai politik mengembangkan standar etika politik dan (2) selalu menjaga integritasnya dalam kehidupan berbangsa.
Persoalannya, akankah komitmen itu diwujudkan? Sebagai pejuang demokrasi dan penjunjung tegaknya hukum, tentu kita berharap pemimpin partai politik dengan lapang dada menyambut gugahan moral politik tersebut. Kita pun di kalangan publik merasa lega bahwa KPK kini lebih strategikal dalam melakukan pencegahan korupsi.
Perseteruan DPR-KPK
Langkah KPK tersebut patut kita apresiasi karena menandai bekerjanya representasi politik dan hukum di negeri ini. Selama ini, seruan moral semacam itu biasanya datang dari kalangan aktivis masyarakat sipil. Sementara di pihak KPK cenderung pasif menerima dukungan itu dan meneruskannya dalam gencaran pemberantasan korupsi.
Kini, kita mendapati situasi yang lain. Tanpa tekanan politik massa, KPK menjalankan kekuasaan delegatifnya secara lebih otonom. Masalahnya, sungguhkah komitmen bersama itu akan diwujudkan di masa depan?
Mengharap komitmen itu terwujud, kita tidak bisa terlepas dari perseteruan DPR-KPK yang berlangsung sekarang. Seperti kita rasakan, ketegangan Pansus Hak Angket KPK di DPR dengan KPK itu sungguh telah menguras energi bangsa. Ketegangan batin dan fisik itu tidak hanya dialami kedua lembaga, tetapi juga di kalangan publik.
Sebagai warga bangsa yang telah matang berdemokrasi, tentu kita tidak menyepakati adanya perseteruan semacam itu. Kalau kita percaya demokrasi dan menyerahkan sepenuhnya berjalannya kepemimpinan pada bekerjanya politik representasi, maka relasi kekuasaan saling mengoreksi dari bekerjanya lembaga- lembaga negara sudah pasti akan kita dapati.
Dalam konteks ini, keberadaan Pansus Hak Angket KPK semestinya tidak perlu kita tolak. Mengingat, sebagaimana kita ingat wisdom politik dan hukum lama mengatakan, dalam soal hak yang penting adalah penggunaannya. Sementara di sisi lain, sifat asasi dari kepemilikan hak itu secara agonistik tidak bisa kita pertanyakan dalam praktik demokrasi.
Dalam konteks politik di republik ini, persoalan ini sesungguhnya sudah begitu jelas. Hak angket memang diberikan konstitusi kepada para wakil rakyat di DPR. Oleh karena itu, ketika hak itu telah diputuskan untuk digunakan, tidak ada satu kekuatan pun di republik ini yang bisa menolaknya.
Persoalan ini penting kita tegaskan karena-betapapun telah terdegradasinya lembaga DPR saat ini-politisi di DPR adalah salah satu pemegang kekuasaan di negeri ini. Khusus berkaitan dengan soal kekuasaan ini, betapapun berlikunya dalam pengambilan keputusan, pada akhirnya akan berujung pada soal kedaulatan. Dan, terkait soal kedaulatan, sepanjang perjalanan bangsa hingga detik ini, kita telah sepakat menyerahkannya pada bekerjanya politik representasi.
Saling berbenah
Kini secara realistis hak angket itu telah digunakan DPR dalam bekerjanya Pansus Hak Angket KPK. Maka, yang terpenting sekarang adalah mengawasi penggunaannya; sejauh mana memberikan kemanfaatan luas bagi perbaikan kehidupan publik?
Sejauh ini, kita menyaksikan, tidak ada kritik berarti di tengah publik terkait hasil penggunaan hak angket tersebut. Bahkan, dari situ banyak manfaat kita dapatkan. Selain membuat lembaga- lembaga negara terdorong melakukan refleksi dalam menjalankan konstitusi, juga KPK sendiri telah menyadari perlunya bertemu DPR dan bahkan terakhir dengan pemimpin partai politik.
Lawatan KPK itu sungguh memberikan prospek tersendiri bagi perbaikan politik dan hukum di negeri ini. Kini, tinggal bagaimana pemimpin partai politik mewujudkannya. Hambatan terbesar barangkali terletak pada masih lemahnya komitmen politisi yang sudah telanjur terluka karena ketidakadilan yang mereka rasakan, yang kita khawatirkan bisa menyulitkan upaya pemulihan integritas politik.
Sehubungan dengan hal tersebut, karena itu, bisa kita pahami kalau ada sebagian kalangan warga bangsa yang menghendaki agar keberadaan KPK ditinjau ulang. Tentang persoalan ini kita tidak bisa berkata lain kecuali kembali pada konstitusi. Dan, untuk melakukan penataan kelembagaan itu sudah pasti membutuhkan waktu serta pemikiran intra dan ekstra tersendiri.
Namun, sampai tahapan sekarang, yang pasti, pertemuan komisioner KPK dengan pemimpin partai politik tersebut tentu membawa implikasi. Komitmen bersama untuk selalu menjunjung tinggi etika politik dan menjaga integritas dalam kehidupan berbangsa itu tentu telah menjadi catatan tersendiri di kalangan politisi.
LAMBANG TRIJONO
DOSEN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Etika Politik dan Integritas Politisi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar