Dengan keunggulan yang dimiliki saat ini, tidak sedikit ahli yang meramalkan bahwa di masa datang China dapat menggantikan posisi AS sebagai kekuatan utama dunia jika tren kebangkitan ekonominya bertahan sampai beberapa dekade mendatang. Hal ini telah melahirkan kekhawatiran di sejumlah kalangan, terutama mereka yang meyakini bahwa China berpotensi menjadi ancaman yang serius, tak hanya bagi sistem perekonomian global, tetapi juga bagi stabilitas keamanan di kawasan Asia.
Kebangkitan China (China's rise) adalah istilah yang digunakan sejumlah kalangan untuk menggambarkan proses transformasi China menjadi kekuatan ekonomi dunia sebagai akibat dari pertumbuhan ekonominya yang tinggi dalam tiga dekade terakhir. Bergesernya peta kekuatan ekonomi dunia dari negara-negara Barat ke China sangatlah fenomenal.
Belum pernah terjadi sebelumnya, negara dengan status sebagai negara berkembang mampu mengalahkan dominasi dari negara-negara maju untuk menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan secara global. Sejatinya, kemajuan yang dicapai China saat ini haruslah mendapat respons positif dari dunia internasional sebagaimana dunia menyambut positif keberhasilan Jepang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia pada periode 1960-1980.
Namun, respons yang berbeda muncul dari negara-negara Barat, terutama AS, menyikapi Kebangkitan China. Ada beberapa hal yang mendasari hal ini. Pertama, China dianggap negara yang tidak mempraktikkan prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan ciri negara modern versi AS dan Barat. Karena itu, menguatnya pengaruh China dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap penetrasi nilai-nilai dan budaya China yang akan mengancam nilai-nilai Barat.
Kedua, ada kekhawatiran Beijing akan menggunakan kekuatan ekonomi yang dimiliknya untuk memengaruhi proses politik di negara-negara yang secara ekonomi sangat bergantung kepada Beijing. Selain itu, dengan kekuatan militer yang dimilikinya saat ini, Beijing diyakini akan menggunakan opsi militer dalam menyelesaikan sengkarut sengketa wilayahnya dengan negara- negara tetangganya.
Ketiga, jika pertumbuhan ekonominya terus stabil dan diikuti peningkatan kapabilitas militernya, secara alamiah China diprediksi akan menantang dominasi AS di kawasan Asia Pasifik sehingga berpotensi menimbulkan konflik terbuka dengan AS, yang mungkin akan dibantu negara-negara seperti Australia, Jepang, dan India. John Mearsheimer adalah salah satu pemikir hubungan internasional dari genrestructural realist yang menyampaikan hal ini dalam berbagai kesempatan dan juga ditulis dalam buku The Tragedy of Great Power Politics (2014).
Respons Beijing
Sejak kekhawatiran akan makin menguatnya pengaruh China dan ancaman yang dapat ditimbulkan dari situasi tersebut menjadi topik hangat pada awal dekade 1990-an, Beijing terus melakukan sejumlah upaya untuk meyakinkan dunia internasional bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan tren kebangkitan ekonomi ataupun pembangunan kekuatan militernya. Ketika diangkat menjadi Presiden China pada tahun 2013, Xi Jinping telah melakukan langkah strategis untuk memastikan bahwa kebangkitan China tidak dianggap sebagai ancaman sebagaimana kekhawatiran sejumlah pihak.
Pertama, dalam pidato setelah dilantik menjadi sekjen partai pada November 2012 (Xi Jinping dilantik sebagai Presiden China pada Maret 2013), di hadapan anggota partai yang menghadiri 18
Kedua, Jinping menyampaikan keinginan Beijing mengoneksikan koridor ekonomi di wilayah Asia, Afrika, dan Eropa dalam skema Belt and Road Initiatives (BRI) dengan nilai investasinya miliaran dollar AS.
BRI mencakup dua hal, yaitu, Silk Road Economic Belt yang akan menghubungkan China dengan kawasan Eropa melalui Asia Tengah, Timur Tengah, dan Rusia serta Maritime Silk Road yang menghubungkan China dengan kawasan Mediterania melalui jalur laut melewati Asia Tenggara, Afrika Timur, dan Timur Tengah. Dengan BRI, Beijing ingin memastikan kebangkitan ekonominya bisa menjadi motor penggerak bagi perekonomian global dan menjadi momentum bagi kerja sama yang lebih luas antarberbagai kawasan.
Ketiga, terkait perselisihan antara China dan negara-negara tetangganya, Presiden Xi Jinping menegaskan komitmen negaranya untuk mengedepankan pendekatan dialog dan penyelesaian dengan cara damai dengan pihak berkepentingan.
Ada beberapa catatan penting yang dapat digarisbawahi menyikapi perdebatan apakah kebangkitan China merupakan ancaman atau justru peluang untuk kerja sama internasional yang saling menguntungkan.
Pertama, AS dan negara-negara Barat terkesan ingin memaksakan kehendak dan menekan China agar mengadopsi nilai-nilai Barat yang menitikberatkan pada demokrasi ke dalam sistem politik yang dianut China. Ini guna memastikan kebangkitan China bukan ancaman bagi nilai-nilai Barat yang selama ini mendominasi sistem internasional. AS dan pihak Barat terkesan mengabaikan fakta bahwa karakteristik China adalahcivilization state bukan nation statesehingga sulit memaksakan demokrasi model Barat untuk diterapkan di China (Jacques, 2009).
Kedua, kekhawatiran China akan menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan regional di kawasan Asia Pasifik terkesan sangat Amerika sentris. Mengapa? Hal ini karena persepsi ancaman didasarkan atas kebijakan luar negeri AS yang tak ingin ada peer competitor yang dapat mereduksi atau bahkan menantang pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik.
Ketiga, komitmen Beijing untuk mendorong kerja sama ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan masih perlu diuji dan dibuktikan sehingga tidak menjadi slogan tanpa aksi nyata. Namun, yang patut diapresiasi adalah kemajuan dalam proses dialog antara Beijing dan negara-negara anggota ASEAN terkait sengketa di Laut China Selatan.
Saat ini masyarakat Asia sedang menyaksikan fase kebangkitan China, yang menurut analisis beberapa ahli, masih akan berlangsung sampai beberapa dekade mendatang. Semua tentunya barharap agar kebangkitan China bisa memberikan manfaat positif bagi bangsa-bangsa di Asia, bukan justru menjadi awal malapetaka yang menghadirkan konflik.
HUMPREY A RUSSEL
KANDIDAT DOKTOR BIDANG HUBUNGAN INTERNASIONAL, SCHOOL OF INTERNATIONAL AND PUBLIC AFFAIRS, JILIN UNIVERSITY, CHINA; SAAT INI VISITING SCHOLAR DI CHINA INSTITUTE OF INTERNATIONAL STUDIES, BEIJING
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Kebangkitan China".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar