Dalam DÉmarche No 62/2017 yang dikeluarkan pada 25 Agustus itu, China menyampaikan tiga butir pernyataan sikapnya. Pertama, pengubahan nama Laut China Selatan (LCS) secara sepihak oleh Indonesia, selain tidak ada gunanya sama sekali, juga berdampak tidak positif terhadap standardisasi penggunaan nama LCS di dunia internasional.
Kedua, China dan Indonesia punya klaim hak maritim yang tumpang tindih di LCS bagian barat laut. Pengubahan nama LCS secara sepihak oleh Indonesia di samping tidak akan mengubah fakta obyektif juga berdampak tidak positif terhadap stabilitas hubungan China-Indonesia dan LCS.
Terakhir, China menolak sekaligus tak mengakui nama Laut Natuna Utara (LNU) dan meminta Indonesia mencabut keputusan dimaksud, mendesak Indonesia lebih mementingkan stabilitas relasi kedua negara dan kawasan dengan tidak menyebarluaskan nama baru itu dan/atau tindakan unilateral lain yang dapat memperumit dan/atau memperbesar sengketa LCS, serta yang dapat memengaruhi stabilitas hubungan China-Indonesia dan kedamaian LCS.
Dari ketiga poin itu, khusus menyangkut relasi bilateral, China memperingatkan Indonesia dua hal: (1) walau wilayahnya berganti nama, China tetap punya "hak maritim" yang tumpang tindih dengan Indonesia, dan (2) jika Indonesia bersikukuh mempertahankan nama LNU, stabilitas hubungan Indonesia-China menjadi taruhannya.
Bagaimana bersikap?
Pertama, Indonesia tak hanya harus terus menyatakan tak punya masalah kedaulatan, tapi harus pula mempertegas tak punya masalah tumpang tindih hak berdaulat di zona maritim mana pun di LCS dengan China. Sebab, di satu sisi, sekalipun mulai 12 November 2015 China terbuka mengakui kedaulatan Kepulauan Natuna sepenuhnya berada pada Indonesia, di sisi lain, sejak 18 Juni 2016 China selalu menyatakan punya "hak maritim" seluas (merujuk editorialHuanqiu Shibao, koran milik Partai Komunis China, edisi 24 Juni 2016) lebih kurang 50.000 kilometer
Rumitnya, China hingga kini tidak rinci menjelaskan apa dan bagaimana metode pengukuran "hak maritim" itu. Namun, kemungkinan besar mereka merujuk kepada "hak berdaulat" yang diamanatkan hukum laut internasional (UNCLOS), yaitu hak memanfaatkan dan mengelola sumber daya di zona maritim tertentu yang luasnya diukur dari garis pangkal pulau terluar negara pantai. Zona maritim tempat berlakunya "hak berdaulat" ini meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.
Ringkasnya, menurut logika China, kedaulatan Kepulauan Natuna benar punya Indonesia, tapi China juga berhak menikmati kekayaan alam di dalam zona maritimnya. China tampaknya memanfaatkan terminologi "kedaulatan" dan "hak berdaulat" yang dibedakan UNCLOS sebagai celah melegitimasi klaimnya di perairan Natuna.
Namun, dari perspektif hukum, posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan China. Pasalnya, klaim "hak maritim" China di LNU didasarkan pada sembilan garis putus-putus yang sudah divonis ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA). Sementara Indonesia bersandar pada UNCLOS. Hanya saja, untuk pengesahannya, Indonesia perlu bernegosiasi dengan Vietnam dan Malaysia yang zona maritimnya memang diakui tumpang tindih dengan LNU.
Karena itu, kedua, perundingan penetapan batas (delimitasi) zona maritim LNU dengan dua negara di atas harus segera dituntaskan. Delimitasi sudah dilakukan dengan Malaysia pada 1969, menyusul dengan Vietnam pada 2003. Sampai sekarang yang berhasil ditetapkan hanya landas kontinennya, bukan kolom air yang ada di atasnya, yang kini dinamai LNU itu.
Sepanjang belum mencapai sepakat, kepemilikan Indonesia terhadap LNU masih bisa diperdebatkan siapa pun. Walhasil, sebagaimana pendapat I Made Andi Arsana di harian ini, 24 Juli, pemberian nama (toponimi) anyar pada akhirnya cuma berguna untuk tujuan politis dalam negeri. Tidak membawa implikasi apa pun terhadap aspek legal kesepakatan internasional.
Ketiga, Indonesia perlu mengalkulasi untung-rugi ekonomi "peringatan" China. Penelitian Fang Wang (2015) menyimpulkan, pemerintahan Presiden Aquino III yang membawa masalah LCS ke PCA menyebabkan China berang lantas memberlakukan pengetatan impor dari Filipina sebagai ganjarannya.
Begitulah, peran pemerintah amat besar dalam perekonomian China. Menurut studi Andreas Fuchs dan Nils-Hendrik Klann (2010), mereka menjadikan arus perdagangan sebagai salah satu perkakas sanksi dalam hubungan luar negerinya. Dalam risetnya, dua ekonom Universitas Heidelberg dan Universitas Goettingen itu menemukan, dari data perdagangan 159 mitra dagang China yang diukur sejak 1991 sampai 2008, negara luar yang bikin masygul Pemerintah China, setelahnya akan mengalami pemerosotan ekspor ke China 8,1 persen-16,9 persen.
Kita tentu tak ingin defisit belasan miliar dollar AS yang diderita Indonesia saban tahun perniagaannya dengan China semakin membengkak lantaran Beijing menyulap keperkasaan ekonominya sebagai tongkat untuk menggebuk Indonesia.
NOVI BASUKI
MAHASISWA PROGRAM DOKTOR DI SUN YAT-SEN UNIVERSITY, CHINA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar