Data Kementerian Pertanian mencatat, setiap tahun jumlah rumah tangga petani yang hilang sekitar 2 persen karena mereka beralih menekuni usaha lain di luar sektor pertanian. Usaha pertanian yang digadang-gadang menjadi tulang punggung ketahanan ekonomi Indonesia ada indikasi tidak lagi menguntungkan. Kenyataan membuktikan dewasa ini bukan hanya petani generasi tua yang mulai enggan bertani, di kalangan anak muda yang diharapkan meneruskan usaha orangtuanya bercocok tanam tampaknya makin kehilangan gairah menggarap lahan.
Di Indonesia, dari sekitar 26,3 juta rumah tangga petani, sekitar 65 persen sudah berusia di atas 45 tahun, dan tidak ada tanda- tanda terjadi proses regenerasi seperti yang diharapkan. Dari segi luas lahan yang dimiliki, di Indonesia tercatat 87,63 persen atau 22,9 juta rumah tangga adalah petani dengan kepemilikan luas lahan kurang dari 2 hektar. Sekitar 5 juta rumah tangga petani dilaporkan memiliki luas lahan sawah di bawah 0,5 hektar. Dengan kondisi yang serba minimal dan kekurangan seperti ini, memang sulit diharapkan sektor pertanian dapat menawarkan daya tarik bagi anak muda untuk meneruskan usaha orangtuanya bekerja di sektor pertanian.
Kesejahteraan petani
Di sejumlah daerah disinyalir proses regenerasi atau penyegaran petani mandek. Bahkan, jumlah petani yang berganti okupasi ke luar sektor pertanian justru lebih banyak daripada jumlah anak muda yang bersedia masuk menekuni usaha pertanian. Diperkirakan, di wilayah perdesaan hanya sekitar 4 persen anak muda berusia 15-23 tahun yang tertarik bekerja menjadi petani. Hampir semua anak muda di desa lebih memilih mengadu nasib bekerja di sektor industri, sektor industri kecil-menengah, atau sektor informal kota.
Target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045 boleh jadi hanya akan menjadi mimpi kosong apabila stagnasi yang terjadi dalam proses regenerasi petani terus dibiarkan. Bahkan, bukan mustahil setelah dua-tiga dekade ke depan, Indonesia akan menjadi negara pengimpor beras yang menggantungkan fondasi ketahanan pangan dari negara lain.
Di luar faktor makin berkurangnya lahan pertanian yang tergerus karena proses konversi menjadi permukiman, perkantoran, dan pusat perbelanjaan, minat anak muda yang makin menjauhi sektor pertanian perlu mendapat perhatian serius pemerintah. Masalah yang dihadapi saat ini bukan hanya makin sedikitnya daya tarik sektor pertanian secara ekonomi, melainkan juga secara sosial. Alih-alih menjadi mata pencarian yang menguntungkan dan membanggakan, di kalangan anak muda sektor pertanian bahkan dianggap sebagai simbol keterbelakangan, kemiskinan, dan kesengsaraan.
Entah karena faktor anomali cuaca, sempitnya luas lahan garapan, serangan hama, gagal panen, atau juga karena posisi bargaining yang lemah dalam proses penentuan harga, yang jelas dari tahun ke tahun tingkat kesejahteraan petani terus menurun. Dalam sejumlah kasus, jangankan memperoleh keuntungan yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang terjadi tidak sedikit petani justru tekor. Biaya produksi yang telah dikeluarkan ternyata kerap tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.
Di kalangan petani yang berhasil memetik hasil panen yang menguntungkan pun ternyata hal itu juga bukan jaminan taraf kesejahteraan mereka meningkat. Ketika nilai tukar petani di lapangan jarang lebih dari angka 100, itu berarti biaya produksi yang telah dikeluarkan, termasuk sebagian dari pinjaman, risikonya tidak akan dapat terbayar. Biaya untuk membeli pupuk, bibit, dan lain sebagainya menjadi sia-sia ketika margin keuntungan yang diperoleh petani ternyata sangat minimal.
Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin petani mampu meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya jika hasil panenan mereka dalam bentuk gabah dibeli tengkulak atau pedagang perantara dengan harga yang murah, sering kali di bawah Rp 4.000 per kilogram. Sementara ketika mereka mau memenuhi kebutuhan makan sehari-hari harus membeli gabah miliknya yang telah di-selep menjadi beras dengan harga yang sangat tinggi? Tidak dimilikinya modal, mesin selep, dan rendahnya akses petani pada pasar sering kali menyebabkan mereka selalu kalah ketika bargainingharga.
Daya tarik baru
Meskipun sempitnya luas lahan garapan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi minimnya kesejahteraan rumah tangga petani, tetapi menambah kepemilikan luas lahan dan menghela volume produksi hasil pertanian sesungguhnya bukan jawaban yang benar-benar efektif. Sepanjang posisi tawar petani masih lemah, dan hasil pertanian cenderung mengalami proses komodifikasi, maka sepanjang itu pula margin keuntungan yang lebar dari usaha di sektor pertanian akan jatuh dan dinikmati kelompok pedagang pengepul, tengkulak, dan mafia komoditas pangan.
Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa menggenjot volume hasil pertanian sering kali malah menyebabkan terjadinya overstock dan membuat petani menderita kerugian besar. Sementara itu, ketika komoditas pertanian sedang krisis, bukan berarti harga komoditas pertanian akan naik dan keuntungannya akan dinikmati petani. Dalam banyak kasus, ketika harga komoditas pertanian naik, justru yang menikmati keuntungan terbesar adalah pelaku bisnis komoditas pertanian selain petani.
Pada titik ini, lantas apa yang bisa kita tawarkan untuk mencegah agar proses regenerasi petani tidak stagnan? Daya tarik seperti apakah yang perlu dikembangkan agar anak muda di perdesaan tidak meninggalkan sektor pertanian yang selama ini menjadi tempat bergantung orangtuanya?
Sebagai bagian dari anak muda yang telah terimbas pengaruh gawai dan mulai mengenali gaya hidup masyarakat urban, harus diakui konstruksi berpikir anak- anak muda di perdesaan kini telah berubah drastis. Bertani, dalam pandangan anak muda, sering kali dipersepsi sebagai pekerjaan yang menguras keringat, identik dengan pekerjaan mencangkul di sawah di bawah terik matahari yang melelahkan. Cara pandang seperti ini, pertama-tama, harus didekonstruksi untuk kemudian direkonstruksi kembali agar anak muda memiliki penilaian baru yang berbeda pada usaha bertani.
Mengembangkan usaha tani hidroponik, menanam padi organik, mengembangkan agrobisnis yang berskala besar adalah sekadar contoh tawaran dan gaya hidup baru petani postmodern yang perlu diperkenalkan kepada anak-anak muda di perdesaan.
Proyek percontohan yang dikembangkan pemerintah di Brebes,, Jawa Tengah, tentang "Petani Digital", misalnya, salah satu contoh program yang perlu dikembangkan agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan gaya hidup anak muda dewasa ini.
Pendek kata, untuk menarik minat anak muda agar mau bertani, daya tarik yang ditawarkan niscaya tidak cukup hanya penghasilan yang layak. Oleh karena, bagi anak muda, pilihan okupasi apa yang ditekuni sedikit-banyak dipengaruhi gengsi dan perkembangan gaya hidup urban.
Sektor pertanian yang selama ini identik dengan lumpur, panas matahari, dan keringat, semua perlu diganti dengan berbagai hal baru yang membanggakan dan modern. Sebutlah seperti dukungan riset, peran internet, peralatan modern, produk olahan yang berkelas, dan berbagai simbol kemajuan. Tanpa rekonstruksi baru seperti ini, jangan harap ancaman krisis regenerasi petani akan dapat diatasi.
BAGONG SUYANTO
GURU BESAR SOSIOLOGI FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Krisis Regenerasi Petani Muda".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar