Dibandingkan dengan pansus angket lain yang pernah ada, seperti Pansus Angket Bank Century dan Pelindo II, yang relatif mendapat apresiasi rakyat, Pansus Angket KPK justru menuai kritik-bahkan sinisme-rakyat sedari awal pembentukannya. Sebetulnya, sinisme rakyat terhadap pansus ini bukan tanpa alasan. Justru sebaliknya, mencerminkan kecermatan rakyat bahwa pembentukan dan tindakan Pansus Angket KPK bukan saja akan mencederai kepentingan penegakan hukum, khususnya penindakan para pejabat atau elite partai politik pelaku tindak pidana korupsi seperti kasus korupsi KTP elektronik, lebih dari itu bisa merugikan kepentingan negara dalam memberangus tindak pidana korupsi.
Dimensi keliaran pansus
Pencitraan atau penjelasan bahwa pembentukan pansus ini bukan untuk melemahkan KPK, melainkan untuk menguatkan KPK agar sesuai dengan aturan hukum, senyatanya tidak mendapat respons positif dari rakyat luas. Sebab, rakyat bisa memahami kalaulah KPK tidak mengusut kasus megakorupsi KTP elektronik yang menggaruk pimpinan parpol dan sebarisan anggota DPR "yang terhormat", niscaya pansus ini tidak akan pernah dibentuk. Oleh karena itu, sangat wajar sekaligus mengharukan ketika rakyat tetap bersikap sinis dan tak acuh terhadap upaya pencitraan pansus dengan imaji seolah-olah misi pansus ini adalah untuk perbaikan penegakan hukum dan lembaga KPK.
Pencitraan anggota bahwa misi Pansus Angket KPK hendak memberikan perbaikan penegakan hukum oleh KPK, secara substansial tidak didukung oleh dimensi keliaran pansus itu sendiri. Ada tiga dimensi keliaran Pansus Angket KPK yang menyebabkan kerja pansus destruktif, ilegal, dan inkonstitusional.
Pertama, sepanjang melaksanakan tugasnya, Pansus Angket KPK terkesan tidak mengusung perilaku konstruktif. Selama bekerja, pansus ini senantiasa berupaya membangun kesan negatif terhadap KPK dengan mengungkit tindakan-tindakan KPK yang diduga tidak sesuai aturan hukum. Bahkan, ada anggota pansus sampai membuat ancaman untuk membekukan atau membubarkan KPK. Perilaku demikian bukan saja tidak produktif, lebih dari itu mengesankan anggota pansus punya agenda dan kepentingan instan tertentu yang hendak dilesakkan lewat pansus ini.
Bahwa KPK ada melakukan tindakan yang tak sesuai aturan hukum (due process) dalam melaksanakan peran dan fungsinya, sangat mungkin itu terjadi. Sebab, bagaimanapun, personalia KPK punya keterbatasan, bahkan mungkin memiliki arogansi. Namun, sejauh ini eskalasi keliaran KPK tidaklah substantif dan dimensial. Kalaupun terjadi proses hukum yang tidak seharusnya oleh personalia atau lembaga KPK, justru beban tanggung jawab atas kesalahan itu ada di pihak DPR sendiri yang gagal melaksanakan fungsi kontrol secara baik terhadap KPK dalam skema rapat kerja dengan KPK sebagai mekanisme kontrol berkala DPR terhadap penyimpangan minor KPK. Tidaklah bijak jika DPR sengaja mengakumulasikan kekeliruan KPK untuk meledakkannya pada saat tertentu dalam rangka blaming, apalagi intimidasi kepada KPK.
Kedua, nyata sekali DPR gagal memeriksa secara baik bahwa bukan saja proses pembentukan Pansus Angket KPK yang bermasalah secara legal, yaitu disahkan dalam sidang paripurna yang tak memenuhi kuorum. Lebih dari itu, pelaksanaan tugas pansus senyatanya tidak konstitusional karena melawan kevakuman hukum (rechtsvacuum) yang terjadi dalam pengaturan aspek prosedural-formal hak pelaksanaan hak angket DPR pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-VIII/2010 pada 31 Januari 2011.
Melalui putusan No 8/PUU-VIII/2010, MK telah menyatakan UU No 6/1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR yang mengatur dua aspek hukum hak angket, yaitu aspek substansial dan aspek prosedural-formal, pelaksanaan hak angket oleh DPR tidak berkekuatan hukum mengikat. Adalah benar aspek substansial hak angket DPR kemudian (posteriori) diatur Pasal 77 Ayat 1 jo Ayat 3 UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang kemudian diatur kembali oleh Pasal 79 Ayat 1 jo Ayat 3 UU No 17/ 2014 tentang MD3. Namun, UU No 1/2014 yang berlaku sebagai hukum positif saat ini tidak mengatur aspek prosedural-formal pelaksanaan hak angket oleh DPR.
Dengan demikian, prosedur pelaksanaan hak angket oleh Pansus Angket DPR saat ini merupakan tindakan inkonstitusional yang bukan saja menyalahi UU, lebih dari itu melanggar UUD 1945 yang menghendaki setiap tindakan lembaga negara harus berdasarkan UU sebagai pengejawantahan prinsip Indonesia sebagai negara hukum demokratis.
Ketiga, pelaksanaan hak angket oleh Pansus Angket DPR merupakan tindakan sia-sia yang memboroskan uang negara. Sebab, pelaksanaan hak angket tersebut hanya akan menelurkan rekomendasi kepada Presiden. Padahal, sedari awal, Presiden Jokowi sudah menyatakan sikapnya tidak setuju terhadap upaya pelemahan KPK. Dengan demikian, rekomendasi Pansus Angket KPK yang kelak berisi upaya "pelemahan KPK" hanya akan menemui nasib sebagai norma mati (doodregel). Itu pun kalau rekomendasi Pansus Angket KPK disetujui dan disahkan oleh Rapat Paripurna DPR.
Di beberapa kesempatan, anggota pansus ini selalu berupaya mengelak sangkaan bahwa Pansus Angket KPK bermaksud melemahkan KPK. Sebaliknya, mereka menyatakan justru hendak memperkuat KPK. Namun, sayangnya, pernyataan anggota Pansus Angket KPK tersebut tidak lebih dari upaya silat lidah. Anggota pansus ini lupa-atau malah tidak paham-bahwa secara ilmiah ada konsep dan konstruksi hukum apa yang disebut memperkuat atau memperlemah suatu lembaga. Sayangnya, rangkaian pernyataan anggota Pansus Angket DPR justru terkesan parsial dan asal bunyi, sama sekali tidak kompatibel dengan konsep penguatan (empowerment) suatu lembaga, justru lebih bermakna pelemahan (depowerment) KPK.
Bola api untuk Presiden Jokowi
Anomali terhadap arus utama perilaku parpol, Pansus Angket KPK justru disponsori oleh parpol pendukung pemerintah (the ruling parties). Padahal, lumrahnya pansus angket yang melakukan penyelidikan terhadap kebijakan strategis pemerintah justru disponsori oleh partai non-pendukung pemerintah. Dalam kasus Pansus Angket KPK, justru partai bukan pendukung pemerintah, seperti Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, yang tidak ikut.
Anomali demikian kelak menjadi ironis manakala Pansus Angket KPK menelurkan rekomendasi pelemahan KPK yang justru akan ditolak oleh Presiden Jokowi. Dalam konteks demikian, Pansus Angket KPK justru akan melemparkan bola api kepada Presiden Jokowi, yang nantinya akan menyulitkan atau menjadi beban politik menjelang Pilpres 2019.
Dalam dimensi demikian, seyogianya DPR lebih bijak dan cermat dalam memahami pelaksanaan hak angket oleh Pansus Angket KPK. Sepatutnya DPR fokus dalam memaksimalkan fungsi legislasi yang sampai saat ini justru malah terus "termehek-mehek".
BAHRUL ILMI YAKUP
KETUA ASOSIASI ADVOKAT KONSTITUSI; KETUA PUSAT KAJIAN BUMN; ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM BUMN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar