Setiap daerah di Nusantara memiliki cerita rakyat, dongeng, mitos, tembang, puji-pujian, peribahasa, dan fabel, yang semula menjadi bagian dari warisan lisan. Penemuan teknologi cetak atau teknologi tulisan menakdirkan pertarungan di dunia kesastraan yang turut menghabisi riwayat kelisanan.
Walter J Ong (2013) mengatakan bahwa pergeseran kelisanan menuju ke keaksaraan terjadi pada aneka seni verbal (sajak, narasi, wacana, deskriptif, seni berpidato, drama, historiografi, biografi, karya-karya filosofis ataupun ilmiah). Narasi menjadi yang paling banyak memantik perhatian. Saat kelisanan meluruh, ia tak hanya menghilangkan bunyi, tetapi juga gerak isyarat yang kuat. Kelisanan menempatkan pendongeng memiliki raga di hadapan waktu. Di seluruh penjuru dunia, kelisanan dibarengi aktivitas raga: tari, gerak tangan, atau memainkan instrumen.
Teks dan konteks
Lisan selalu melibatkan gerak tubuh yang alamiah atau sering tanpa rencana. Mereka memiliki keyakinan besar bahwa kata-kata yang diucapkan dan dituturkan memiliki kekuatan magis, dihidupkan oleh dorongan kuat; disampaikan dengan menawan dan penuh daya hidup. Tubuh sekaligus bunyi keluar dari mulut itu terkenang tetapi tidak mungkin terulangi dengan cara yang sungguh sama.
Kita bisa mengingat satu adegan dalam film Laskar Pelangi (Riri Riza) saat Pak Harfan menggoda anak-anak mendengarkan cerita Nabi Nuh. Bukan kata-kata yang secara soliter teringat. Ada tatapan mata, gerak tubuh, intonasi suara, dan pengaturan jeda mengundang seketika keheningan sebagai sambutan atas kata-kata yang akan keluar dari mulut. Anak-anak diam, menyimak, tak ingin luput mengawasi, tidak mau tertinggal. Satu kedipan mata saja, seolah takut mencecerkan bunyi cerita. Ketuaan dan karisma Pak Harfan menyampaikan seolah dirinya kebenaran. Cerita lisan berhasil membawa kanak-kanak ke masa lalu, merasai terjangan air bah, sekaligus merasai keheningan saat semua musnah.
Efek ini agaknya sulit terasai saat menghadapi langsung kisah Nabi Nuh sebagai teks dalam novel Laskar Pelangi(Andrea Hirata). Cerita Nabi Nuh punya kedudukan setara dengan narasi novel. Apalagi, membaca secara membatin dengan kecepatan tidak menyadarkan adegan Pak Harfan bercerita sebagai peristiwa kelisanan. Pembatinan pembaca secara umum tidak terlalu didorong keinginan kuat menghidupkan kata-kata sebagai sihir bagi diri sendiri ataupun publik.
Dalam prosesi lisan menuju aksara, masih didapati sampul depan buku cerita sering memberi keterangan "diceritakan kembali" atau "dikisahkan ulang". Beberapa buku menggunakan istilah "disusun" sebagai cara menunjukkan bahwa cerita- cerita yang memasuki prosesi keaksaraan memang cerita anonim. Keberagaman karya lisan yang anonim memang bukan sekadar cerita, melainkan juga menjadi roh kehidupan masyarakat. Hampir setiap bangsa memiliki warisan lisan yang variasinya bisa ditemukan di pelbagai dunia (Sarumpaet, Pedoman Penelitian Sastra Anak, 2010).
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, terbit buku berjudul Tjeritera Goeroe (Balai Poestaka, 2603) dengan tahun terbit mengikut penahunan Jepang oleh Kantor Pengadjaran. Kalam pendahuluan mengingatkan, "Itoelah sebabnja diterbitkan boekoe ini, jang dinamai Tjeritera Goeroe. Sebahagian dari isinja dipetik dari Taman Kanak-kanak keloearan Balai Poestaka. Mentjeriterakannja tentoe sekali ta' perloe menoeroet seperti jang tertoelis didalamnja. Itoe terserah kepada goeroe masing-masing. Boleh ditambah dan dioebahi menoeroet keadaan masing-masing, sehingga terang betoel bagi moerid".
Keberadaan buku secara tertulis menjadi pegangan guru. Tugas guru menyampaikan kepada murid. Menuntut kemampuan lisan bercerita dengan memukau, melodius, berintonasi, dan penekanan agar kata-kata tidak kehilangan emosi.
Membaca suara
Nancy K Florida dalam Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang, Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial (2003) mengatakan, pembacaan naskah secara publik di Jawa masih mentradisi di keraton-keraton sampai tahun 1960-an. Seperti di Keraton Surakarta, pembacaan ini menjadi hiburan beragam kelompok hampir setiap malam. Anggota korps militer penjaga atau disebut "penjaga suara" melagukan secara bergilir setiap malam, kecuali malam Kamis dan Minggu karena ada pentas wayang kulit.
Meski pembacaan secara birokratis menempatkan para anggota kerajaan dan abdi terdekat sebagai pendengar, sebagian besar pendengar utama sebenarnya adalah pekerja rendah di keraton. Mereka "membaca" suara seraya bekerja.
Dikatakan, "Konsumsi sastra keraton", dengan demikian, sama sekali tidaklah terbatas kepada para bangsawan dan priayi tinggi. Audiens bagi teks-teks ini terdiri dari golongan yang cukup heterogen dan lintas kelas, yaitu partisipan sebenarnya dalam "budaya keraton tradisional", yang termasuk di dalamnya penjahit, juru masak, tukang kebun, penjaga malam, tukang perahu, emban, tukang cuci, dan yang lainnya yang dipekerjakan oleh keraton. Semesta teks tertulis beralih ke suara-suara yang akhirnya juga turut dibawa saat mereka pulang ke desa. Memang, tidak setiap kata termaknai atau terpahami dengan pasti. Namun, mereka membaca dengan melibatkan batin. Pada abad ke-19, membaca (mendengarkan) telah menjadi kegiatan menyenangkan dan memukau bagi orang Jawa.
Kelisanan harus dibangkitkan berbarengan dengan keberaksaraan. Penerbitan buku-buku diiringi dengan kefasihan mulut manusia membunyi karena anak- anak menerima bahasa dari mendengar sebelum bisa membaca. Bunyi cerita dari mulut masih ada meski buku-buku tak selalu ada. Usaha kebangkitan tak dikehendaki menyenangkan pemerintah pemangku pendidikan yang tengah gencar meningkatkan minat literasi.
Kemampuan kelisanan mestinya bisa memasuki mata perkuliahan secara khusus (tidak hanya sebagai metode pengajaran). Mesti dimunculkan atau ditambah kadar pelatihan mendongeng bagi guru, seminar bercerita untuk calon orangtua dan orangtua, dan bahkan sangat mungkin PKK (pembinaan kesejahteraan keluarga) membuka kelas bercerita buat anak-anak oleh ibu-ibu mereka sebagai pendongeng.
Sebelum akhirnya media audio visual (kelisanan sekunder), seperti televisi atau gawai, yang menampilkan suara-suara bercerita lewat kartun, film animasi, aplikasi, atau buku audio, mulut orangtua mendahului menjadi sumber kelisanan primer anak bersastra. Mulut orangtua sebagai sumber cerita tiada mengalami kekeringan dan krisis kata. Anak-anak tentu merindukan keakraban, keajaiban, dan kasih sayang manusia dalam pertemuan imajinatif dari semesta cerita yang terbunyikan sekaligus tertuliskan.
SETYANINGSIH
PENGHAYAT PUSTAKA ANAK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Merindu Bunyi, Membaca Sunyi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar