Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 September 2017

Mengkritisi Kebijakan Kemaritiman dan Kelautan (ALEX RETRAUBUN)

Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla melakukan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan mereka yang dioperasionalkan-baik dari sisi proses maupun pengimplementasian-nya selama tiga tahun berjalan. Evaluasi dilakukan via forum rembuk nasional yang dilaksanakan di pusat dan daerah.

Konsultasi publik ini melibatkan pemangku kepentingan yang luas, mencakup akademisi, analis, pelaku usaha, asosiasi profesi, mahasiswa, LSM, budayawan, seniman, awak media, dan masyarakat umum.

Langkah ini patut diapresiasi sebagai upaya penghindaran terhadap kebijakan yang menyesatkan. Evaluasi dibasiskan pada 12 bidang kebijakan, di mana salah satunya adalah kemaritiman dan pengelolaan sumber daya kelautan. Khusus bidang ini, telah dilakukan rembuknya di Universitas Pattimura pada 15 September yang lalu.

Empat isu penting

Isu di atas sangat penting disoroti karena beberapa alasan. Pertama, jika melihat misi Jokowi-JK, tiga dari tujuh misi terdapat kata kunci "maritim" dan satu misi menyinggung tentang "kepulauan". Kedua kata tersebut memiliki keterkaitan yang erat di mana sifat kepulauan selalu didominasi isu kemaritiman. Demikian juga sebaliknya. Fakta di atas mengindikasikan bahwa isu kemaritiman telah menjadi isu utama pemerintahan sekarang karena hampir 50 persen misinya berfokus padanya.

Kedua, bidang ini menjadi keunggulan komparatif sekaligus kelemahan kita. Mengapa demikian? Karena faktanya energi nasional dominan dihabiskan untuk memberantas illegal fishers alias nelayan asing di perairan kita ketimbang mendorong nelayan berdaulat di wilayah kita dengan kemampuan yang sama dengan nelayan asing dari sisi keterampilan dan fasilitas mereka.

Ketiga, bidang inilah yang menjadi energi utama untuk mewujudkan tiga kata yang telah mendunia oleh Jokowi-JK: "Poros Maritim Dunia"! Sebagai contoh, karena kata-kata di ataslah China berupaya mengembangkan "Jalur Sutra Maritim" sebagai upaya mengantisipasi peluang kebijakan kita terhadap perekonomian mereka.

Keempat, penggenjotan bidang ini akan memberikan efek ganda terhadap bidang lain dari 12 bidang yang menjadi fokus rembuk nasional. Bidang tersebut, misalnya, terkait kesejahteraan sosial karena nelayan Indonesia identik dengan kemiskinan tidak seperti negara lain. Demikian halnya dengan kedaulatan dan keamanan pangan, ekonomi, industri dan perdagangan serta ketahanan nasional.

Jika melihat dominasi misi dan publikasi isunya dengan realitas operasionalisasi dalam program dan kegiatan, terlihat belumlah sebanding. Untuk itu, perlu ada perbaikan di sana-sini untuk lebih membumikan visi dan misi yang ada. Karena agenda ini sangat besar dan butuh proses yang panjang untuk mewujudkannya, perlu realisasi yang terukur sesuai perencanaannya menurut waktu. Demikian pula halnya kriteria penilaian perlu dibedah karena tidak bisa diselesaikan sesuai durasi pemerintahan.

Terkait rembuk di Ambon, ada dua isu penting yang harus dipikirkan terkait isu kemaritiman dan pengelolaan sumber daya kelautan, seperti berikut ini.

Lumbung ikan nasional

Saat rembuk soal kemaritiman dan pengelolaan sumber daya alam kelautan di Ambon, publik menyoroti isu soal lumbung ikan. Bertahun-tahun Pemerintah Provinsi Maluku memperjuangkan dukungan pemerintah atas isu ini, tetapi gagal tanpa ada penjelasan. Padahal, ikan merupakan kompetensi inti daerah ini.

Bagaimana agar menjadi suatu kebijakan nasional? Argumentasi berikut layak dipertimbangkan sebagaimana layaknya suatu kebijakan publik.

Pertama, isu ini merupakan suatu kebutuhan nasional ataupun lokal dan nyata di masyarakat.  Kedua, sudah segaris dengan tujuan pemerintah soal poros maritim. Ketiga, berpotensi memecahkan masalah sosial di Maluku yang menyandang urutan keempat termiskin secara nasional. Keempat, justifikasi ilmiah soal potensi wilayah tidak diragukan keabsahannya..

UU provinsi kepulauan

Sejumlah provinsi kepulauan, seperti Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara, terus memperjuangkan adanya UU tentang provinsi kepulauan. Upaya ini dimulai sejak 2005, kemudian diakomodasi dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada Pasal 27, 28, dan 29.

Walaupun demikian, peraturan pemerintah untuk membumikan UU ini konon belum ada selama lebih dari dua tahun, di samping apa yang diharapkan darinya tidak terealisasi. Maka, inisiasi UU baru menjadi kebutuhan. Apa alasannya?

Pertama, provinsi-provinsi ini memiliki luas laut yang masif dibandingkan dengan daratannya.  Kedua, karena sifat kepulauannya, pembangunan menjadi mahal. Ketiga, dominasi pulau kecil dalam struktur geografinya sehingga lingkungannya juga bersifat khusus. Keempat, kelompok wilayah ini terdefinisi sebagai daerah pinggiran karena dominan sebagai daerah perbatasan internasional.

Dengan sifat kekhususan yang ada, maka perlu ada desentralisasi asimetrik, seperti Aceh dan Papua, dengan otonomi khususnya.  Dalam konteks delapan provinsi kepulauan ini, yang diminta adalah adanya perlakuan khusus. Yang dimaksudkan adalah penyerahan kewenangan khusus dari pemerintah kepada daerah untuk melaksanakan kegiatan kelautan sesuai kekhususan karakteristik daerah yang bersangkutan. Semoga masukan ini bermanfaat dalam perumusan kebijakan ke depan.

ALEX RETRAUBUN

PEMBINA PERKUMPULAN PRAKTISI MARITIM INDONESIA, GURU BESAR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS PATTIMURA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Mengkritisi Kebijakan Kemaritiman dan Kelautan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger