Padahal, tanpa bermaksud mengabaikan penyelewengan yang terjadi, sejumlah pekerjaan raksasa telah dijalankan oleh desa dua tahun terakhir ini. Sepanjang 2016, telah terbangun jalan desa 66.884 kilometer, jembatan 511,9 km, pasar desa 1.819 unit, drainase 65.998 unit, irigasi 12.596 unit, sumur 14.034 unit, penahan tanah 38.184 unit, air bersih 16.295 unit, embung 686 unit, serta ribuan poliklinik, posyandu, dan fasilitas pendidikan prasekolah (Kemendesa: 2017).
Kita tentu harus mengingat kembali tujuan pembentukan UU Desa pada 2014. Ia dimaksudkan untuk menjawab beberapa hal: ketimpangan anggaran untuk desa, ketimpangan infrastruktur, ketimpangan sumber daya manusia, dan ketimpangan pengelolaan sumber daya alam di desa. Dongkrak utamanya untuk mengatasi hal tersebut adalah alokasi dana desa (ADD).
Melihat tujuan tersebut, bisa dimengerti bahwa di tahap awal penggunaan dana desa diarahkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun, kita perlu mempersiapkan langkah selanjutnya sehingga dana desa jadi instrumen bagi lahirnya desa pusat kesejahteraan dan bagian utama bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Bukankah inti UU Desa adalah pembangunan perdesaan, bukan pembangunan di desa.
Menuju "desa baru"
Sudah dua tahun lebih UU Desa dan Kementerian Desa (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi) hadir di republik kita. Sebenarnya pemerintah kita belum benar-benar berubah dalam menjalankan pembangunan desa. Setiap tahun lebih dari Rp 500 triliun dana digelontorkan melalui 22 kementerian dan lembaga (K/L) atas nama desa, tetapi belum berhasil banyak.
Salah satu sebabnya, setiap K/L hadir dengan pendekatan sektoralnya masing-masing. Misalnya, kementerian pertanian, pesisir kelautan, kehutanan, dan lain-lain hanya dapat bertemu dengan masyarakat desa jika warga desa telah bernama kelompok tani, nelayan, dan lain-lain. Anehnya, meski pendekatan semacam ini telah terbukti kurang berhasil, tetap berlanjut.
Tampaknya pemerintah melupakan bahwa UU Desa membawa semangat baru, yaitu pembangunan perdesaan yang bercorak spasial/wilayah. Pendekatan pun mesti baru, yakni diperlukan navigasi yang lengkap dari kementerian desa dalam mengarahkan pembangunan perdesaan yang terpadu dengan K/L lainnya yang bekerja di desa.
Salah satu makna pokok dari pembangunan spasial/kewilayahan di desa mesti bersandarkan pada pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Namun, telah lama desa dan warganya terlepas dari kekayaan alam di perdesaan. Bahkan, kekayaan tersebut terlepas secara paksa oleh institusi supra-desa.
Proses ini telah mengakibatkan dua krisis utama yang tengah dihadapi oleh masyarakat perdesaan. Pertama, "krisis agraria" yang ditandai keterbatasan dan ketimpangan akses atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Kedua, "krisis ekologi" yang ditandai kemerosotan daya dukung dan bahkan kehancuran sumber daya alam akibat tekanan populasi yang meningkat, perubahan penggunaan tanah yang tidak terkendali, serta eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Kedua krisis ini, di level desa, menghasilkan "krisis perdesaan", yaitu meluruhnya kapasitas sosial-ekonomi dan ekologi untuk menyediakan kebutuhan pangan, air, sumber nafkah, dan perlindungan sosial bagi warganya (Shohibudin: 2016).
Menjawab krisis ini, sangat penting memadukan reforma agraria dan pembangunan perdesaan. Terlebih pemerintah saat ini sedang merencanakan program redistribusi tanah dan perhutanan sosial dengan total 21,7 juta hektar. Proses pemaduan pembangunan bisa kita sebut dengan istilah Desa Maju Reforma Agraria (Damara), yakni pembangunan perdesaan yang menata kembali relasi agraria di perdesaan untuk menjawab krisis perdesaan yang tengah terjadi dan melakukan lompatan jauh ke depan di desa.
Dari mana dimulai? Kita perlu menggolongkan pembangunan desa berdasarkan pengelolaan sumber daya alamnya, dalam beberapa jenis desa, yaitu desa pertanian pangan, desa perkebunan, desa hutan, serta desa pesisir kelautan dan pulau-pulau kecil. Karena itu, sangat penting bagi Kementerian Desa dan K/L terkait wilayah ini untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara bersama dalam konsep pembangunan spasial/kewilayahan.
Selanjutnya, secara pasti dilakukan perubahan tata kuasa, tata guna, tata kelola, tata produksi hingga tata konsumsi yang berpihak pada masyarakat desa. Tujuan dari perubahan ini adalah mendorong terjadinya transformasi agraria di perdesaan yang lebih berkeadilan, dasar terjadinya transformasi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat desa.
IWAN NURDIN
KETUA DEWAN NASIONAL KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Reforma Agraria dan "Desa Baru"".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar