Pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril ternyata luput dari perhatian aparatur penegak hukum.

Dia dijatuhi pidana tanpa mempertimbangkan upaya pembelaan diri dari kekerasan seksual yang dialaminya. Fakta ini justru mengemuka menjelang kampanye 16 hari anti-kekerasan terhadap perempuan yang diperingati setiap 25 November-10 Desember. Padahal, umumnya pembuktian kasus kekerasan seksual cukup sulit sehingga sangat jarang korban berani lapor. Manakala upaya menghadirkan pembuktian atas kekerasan seksual dipidanakan melalui substansi hukum yang netral jender, yang muncul ke permukaan adalah kriminalisasi terhadap perempuan korban.

Masih maraknya kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk merupakan permasalahan serius yang harus diatasi segera oleh bangsa ini. Akar penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan harus ditanggulangi, demikian pula dengan faktor yang menyuburkan praktik kekerasan terhadap perempuan harus sepenuhnya diatasi.

Hasil pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 menunjukkan, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya serta sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15-64 tahun mengalami dalam 12 bulan terakhir. Perempuan usia 15-64 tahun dengan status tidak bekerja dilaporkan lebih banyak mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual.

Sementara itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat, sepanjang 2017 terdapat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan, di  mana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan terbanyak di ranah personal dan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terbanyak di ranah komunitas.

Dalam pemberitaan berbagai media massa juga terkuak sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti berakhirnya hidup istri di tangan suami sendiri sebagaimana dialami seorang dokter di Jakarta pada 2017, pelecehan seksual oleh pengendara kendaraan bermotor kepada perempuan pejalan kaki yang sedang melintas di Jakarta dan Yogyakarta, kekerasan seksual yang terjadi di kalangan kampus, serta bentuk kekerasan lain.

Ketika terjadi pelecehan seksual terhadap wisatawan mancanegara di Yogyakarta, saya segera meminta aparatur penegak hukum untuk bergerak, tak perlu menunggu korban melapor karena mungkin yang bersangkutan sudah pulang ke negaranya. Jika kejadian ini dialami warga negara kita sendiri, aparat berwenang juga tak perlu lagi menunggu laporan, sebagaimana terjadi dalam kasus Baiq Nuril, mengingat sistem pendidikan kita belum membangun sikap perempuan untuk bangkit menepis trauma dan berani melaporkan.

Pendidikan memanusiakan

Kekerasan terhadap perempuan sering kali dikaitkan dengan faktor budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi tak setara dengan   laki-laki. Kontribusi perempuan juga tak diakui sehingga keberadaannya lebih banyak dipandang sebagai obyek seksual ketimbang sebagai manusia yang punya hak dan kewajiban sebagaimana manusia lain. Dengan dalih agama dan budaya, tindakan yang mendomestikasi perempuan sering kali dibenarkan, termasuk tindakan menghalangi perempuan untuk berkiprah di ruang publik.

Mengubah cara pandang yang patriarkis hanya akan efektif jika dilakukan lewat pendidikan. Masalahnya, apakah dunia pendidikan kita telah memberikan perhatian pada masalah ini? Sayangnya jawabannya tidak. Sepanjang kurikulum pendidikan di Indonesia masih mengedepankan aspek kognisi, upaya menghapuskan kekerasan pada perempuan masih jauh panggang dari api.

Sebagai ilustrasi, untuk mencegah kekerasan seksual sejak dini, kepada anak laki-laki seharusnya diajari mengenali apa fungsi alat kelaminnya dan mengapa harus mencegah diri sendiri dari perbuatan kekerasan seksual. Demikian juga kepada anak perempuan.

Selain itu, kurikulum pendidikan di Indonesia juga sudah seharusnya mengajarkan prinsip kemanusiaan dalam tataran yang lebih operasional. Antara lain menghormati orang lain sebagaimana ia menghormati diri sendiri, mencegah orang lain terluka atau tersakiti sebagaimana ia juga tak ingin terluka atau tersakiti, serta memandang setiap laki-laki dan perempuan sebagai orang yang sama-sama punya potensi dan keunggulan tanpa dibedakan berdasarkan jenis kelamin.

Adanya asumsi bahwa pendidikan seksual dan reproduksi sama dengan mengajarkan berhubungan seksual sungguh tak masuk akal. Diakui atau tidak, asumsi itulah yang selama ini jadi penghambat upaya sistemik menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.  Padahal, negara yang memberikan pendidikan seksual dan reproduksi sejak dini terbukti mampu menciptakan anak-anak yang well-informed tentang apa itu kekerasan seksual, termasuk menekan angka kehamilan di usia remaja (www.cnnindonesia.com).

Peran negara

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dan negara tentu dapat berperan aktif mengikis budaya patriarki. Namun, mengingat budaya patriarki  masih tertanam kuat dalam institusi keluarga secara umum,  di sinilah peran negara sangat dibutuhkan untuk membangun pendidikan adil jender. Negara seharusnya membuat ukuran keberhasilan sistem pendidikan dari seberapa besar peserta didik mampu menerapkan tindakan kebaikan dan  mengartikulasikan budi pekerti dalam kehidupan keseharian.

Masih banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan seharusnya jadi refleksi kementerian yang membidangi urusan pendidikan untuk mengubah sistem pendidikan yang selama ini diberlakukan menjadi sistem pendidikan yang mampu membangkitkan rasa kemanusiaan serta meninggikan harkat dan martabat setiap manusia, tak terkecuali perempuan. Melalui pendidikan yang adil jender, bangsa Indonesia kelak akan mampu menghindari sikap victim blaming (menyalahkan korban) ketika terjadi peristiwa kekerasan pada perempuan. Setiap orang di Indonesia juga akan mampu mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi dan menolong korban kekerasan sesuai kapasitas masing-masing.

Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah momentum bagi kita warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, dan juga negara, untuk membangun budaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Melalui langkah nyata membangun budaya anti-kekerasan pada perempuan, bangsa Indonesia akan mampu mencegah munculnya pelaku pelecehan seksual seperti dialami Baiq Nuril dan akan mampu menghindarkan kriminalisasi pada korban.