Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 September 2017

Mewaspadai Negosiasi Freeport (MARWAN BATUBARA)

Pemerintah mengklaim berhasil menundukkan dan memperoleh persetujuan Freeport atas empat isu krusial renegosiasi kontrak pada akhir Agustus lalu. Inti kesepakatan: (1) kesediaan mendivestasi saham hingga 51 persen, (2) membangun smelter yang akan selesai pada 2022, (3) mengikuti rezim fiskal sesuai skema yang berlaku/prevailing, maka (4) Freeport akan memperoleh jaminan operasi tambang hingga 2041.

Namun, apakah pemerintah sudah pantas menepuk dada dan rakyat Indonesia layak bersuka ria merayakan "keberhasilan" tersebut? Mari kita dalami lebih lanjut.

Pertama, terkait divestasi saham hingga 51 persen, maka yang berhak menjadi pemilik dan penguasa saham tersebut adalah negara. Sesuai Pasal 33 UUD 1945, negara berkuasa atas sumber daya alam (SDA) yang dimiliki melalui wewenang membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola, dan mengawasi. Dalam menambang SDA mineral di Mimika, Papua, wewenang mengelola 51 persen saham Freeport harus berada di tangan BUMN dan BUMD. Tidak ada alternatif lain selain membentuk konsorsium BUMN (holdingtambang) dan BUMD (provinsi dan kabupaten terkait) untuk menguasai 51 persen saham Freeport ini. Ternyata, sejauh ini belum terlihat langkah konkret jika amanat konstitusi tersebut akan dijalankan.

Mesti jadi pengendali korporasi

Kedua, terkait pengendali perusahaan, jika divestasi 51 persen saham telah terlaksana, seharusnya yang akan menjadi operator pengelola Freeport adalah BUMN (konsorsium BUMN dan BUMD). Prinsip  "pemegang 51 persen saham otomatis menjadi pengendali korporasi" merupakan hal umum di dunia bisnis. Pencantuman klausul "divestasi saham hingga 51 persen bagi pihak Indonesia" dalam setiap kontrak karya (KK) jelas didasarkan pada konstitusi, visi ke depan, dan keinginan pemimpin masa lalu  untuk menjadikan BUMN dan bangsa Indonesia menjadi pengelola SDA yang dimiliki agar bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Saat ini, belum terlihat kalau prinsip tersebut akan dipatuhi Freeport atau pemerintah.

CEO Freeport Richard Adkerson pernah menyatakan berniat menjual sebagian dari 51 persen saham Freeport melalui Bursa Efek Indonesia (27/7//2017). Adkerson juga menyatakan bahwa Freeport akan tetap menjadi pengendali tambang meskipun sahamnya didivestasi hingga 51 persen (29/8/2017). Sikap Adkerson ini jelas bertentangan dengan konstitusi, peraturan yang berlaku, dan kaidah bisnis tentang dominasi pengendali oleh pemegang 51 persen saham. Hal ini tentu harus dicegah dan pemerintah harus memastikan keinginan Adkerson itu tak terjadi.

Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan pernah pula menyatakan kemungkinan kerja sama BUMN dan swasta untuk menguasai saham yang didivestasi Freeport (27/2/2017). Keterlibatan swasta ini dapat menghilangkan kesempatanholding BUMN menjadi pemegang saham mayoritas, dan sekaligus membuka peluang Freeport tetap menjadi pengendali tambang. Karena itu, dalam negosiasi yang sedang berlangsung, pemerintah harus menjamin usul Luhut itu tidak akan diterima. Pemerintah tidak perlu mencoba memenuhi keinginan Luhut dan Adkerson, misalnya dengan berdalih negara/BUMN tak punya dana, sehingga swasta perlu diundang, tetapi pada saat bersamaan dominasi Freeport di Mimika justru akan langgeng.

Ketiga, terkait harga saham, pemerintah mestinya mendasarkan perhitungan pada variabel nilai cadangan mineral dan waktu kontrak yang tersisa, yakni hingga 2021. Sejalan dengan itu, sikap strategis yang harus dinyatakan adalah bahwa cadangan terbukti mineral yang dimiliki Freeport hanya sampai 2021. Oleh karena itu, harga saham yang berlaku harus berdasar pada "nilai wajar aset dan (prospek) bisnis" Freeport hingga 2021. Sementara harga saham yang berlaku pada 2021 (saat kontrak berakhir), sesuai Pasal 22 KK Freeport, harus berdasar pada "nilai pasar yang tidak lebih rendah daripada nilai buku aset" pada 2021. Mengingat harga "nilai pasar aset" tidak memperhitungkan prospek bisnis, maka nilainya dapat dianggap sama dengan nilai buku.

Adapun "nilai wajar" saham Freeport mengandung unsur prospek bisnis dan sangat potensial untuk ditawarkan dengan harga yang sangat tinggi sehingga menjadi tidak lagi wajar. Bahkan, kesepakatan dalam menentukan suatu nilai wajar tersebut sangat berpotensi untuk menjadi sarana atau tempat berlindung terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta perburuan rente oleh oknum-oknum yang mengidap moral hazard. Misalnya, oknum dapat saja menyepakati satu harga tertentu, tetapi harga yang diumumkan kepada publik jauh lebih mahal daripada yang seharusnya. Selisih "harga wajar yang disepakati" dengan "harga wajar untuk publik" itu dapat dibagi-bagi dan "dikompromikan" untuk dikorupsi.

Sebagai ilustrasi, misalnya "nilai pasar aset sesuai nilai buku" saham Freeport pada 2021 adalah 4 miliar dollar AS sehingga harga 10,64 persen saham Freeport hanya 426 juta dollar AS. Sementara "harga wajar" 10,64 persen saham seperti yang ditawarkan Freeport sesuai kewajiban divestasi berdasar PP No 77/2014 pada Januari 2016 adalah 1,7 miliar dollar AS. Dengan rentang perbedaan "nilai buku" dan "nilai wajar" yang demikian lebar, yakni 426 juta dollar AS-1,7 miliar dollar AS (1,27 miliar dollar AS), maka "harga kompromi" yang dapat diumumkan kepada publik sangat leluasa ditumpangi kepentingan perburuan rente. Karena itu, jika ingin dianggap berhasil bernegosiasi, minimal pemerintah harus bisa menjamin harga wajar saham yang disepakati telah bebas dari unsur moral hazard dan KKN.

Keempat, guna memperoleh "harga wajar" yang benar-benar wajar, pemerintah harus memanfaatkan jasa penilai independen dan menjalankan proses negosiasi secara transparan sesuai prinsip good corporate governance (GCG). Saham yang harus diakuisisi ke depan adalah 41,64 persen (51 persen-9,36 persen), dan dapat dilakukan sekaligus ataupun bertahap, misalnya diselesaikan dalam dua tahun.

Ganti rugi kerusakan lingkungan

Kelima, pemerintah harus meminta Freeport membayar ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar 3 miliar dollar AS hingga 5 miliar dollar AS yang telah disepakati dan "hampir" dieksekusi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1999-2001). Eksekusi gagal terlaksana karena Gus Dur "keburu lengser". Pada masa pemerintahan Megawati (2001-2004), komitmen Freeport tersebut "tidak jelas" kelanjutannya. Untuk memperoleh komitmen Freeport, pemerintahan Jokowi perlu melibatkan mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli dalam tim negosiasi saat ini karena Rizal Ramli adalah ketua tim negosiasi pemerintah saat Freeport menyatakan kesediaan membayar ganti rugi tersebut.

Jika pemerintahan Jokowi berhasil meminta Freeport membayar ganti rugi di atas, konsorsium BUMN dan BUMD tidak perlu mengeluarkan dana untuk mengakuisisi 41,64 persen saham Freeport sesuai kewajiban divestasi. Saham dapat diperoleh secara gratis. Namun dengan kasus kerusakan lingkungan ini, bangsa Indonesia, dalam kondisi paling "sial", berpeluang memaksa Freeport menjual saham pada harga tidak lebih mahal daripada nilai wajar aset sesuai nilai buku. Sebaliknya, jika "kita" membayar pada harga yang jauh lebih mahal, misalnya lebih dari sepertiga harga yang ditawarkan Freeport pada Januari 2016, rakyat patut mencurigai adanya moral hazard dan KKN dalam kesepakatan tersebut.

Keenam, terkait isu fiskal/pajak, pemerintah harus menjamin terwujudnya peningkatan penerimaan negara sesuai perintah Pasal 169 UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk itu, pemerintah harus berpegang pada ketentuan bahwa seluruh penerimaan negara dari: (a) pendapatan negara dan pendapatan daerah sesuai Pasal 128 UU No 4/2009, dan (b) bagian keuntungan bersih sebesar 4 persen kepada pemerintah (pusat) dan 6 persen kepada pemerintah daerah sesuai Pasal 129 UU No 4/2009, harus lebih besar dibandingkan jika skema fiskal tetap (nail-down) sesuai KK yang dijalankan.

Ketujuh, terkait smelter, pemerintah harus meminta Freeport segera menyiapkan rencana atau cetak biru pembangunan secara komprehensif dengan target penyelesaian tahun 2022. Di sisi lain, pemerintah pun harus melakukan pekerjaan rumah guna menjamin kelancaran pembangunan smelter terkait lokasi, perizinan, pembebasan lahan, insentif fiskal, bea masuk, dan lain-lain. Hal lain agar pemerintah pun menugaskan satu BUMN memiliki sejumlah saham pada perusahaan smelter, agar eligiblemenempatkan minimal seorang direktur sehingga prinsip GCG dapat terwujud dan praktik penyembunyian produk/jenis mineral-yang konon masih terjadi-dapat dicegah.

Memperhatikan ketujuh isu strategis itu, mestinya publik tidak boleh larut dan terkecoh oleh euforia "keberhasilan" yang diklaim pemerintah dalam negosiasi kontrak dengan Freeport. Selain faktanya kita belum memperoleh (apa-apa) hal-hal ideal yang harus diraih sebagai pemilik SDA, euforia itu dapat membuat kita kehilangan kewaspadaan sehingga terkecoh oleh sejumlah rekayasa dan propaganda oknum- oknum pemburu rente yang kelak dapat merugikan negara dan rakyat.

Oleh sebab itu, beberapa langkah yang perlu segera diambil antara lain agar pemerintah menerbitkan PP atau Permen ESDM tentang pembeli 51 persen saham Freeport adalah konsorsium BUMN dan BUMD serta harga saham yang harus dibayar ditentukan melalui penilaian konsultan independen, dengan berpatokan pada nilai cadangan terbukti hingga 2021 dan dikurangi dengan dana ganti rugi kerusakan lingkungan yang harus dibayar Freeport. Jika KPK masih bisa diharapkan, kita pun meminta pemerintah melibatkan KPK dalam proses negosiasi. Mari kita pantau proses negosiasi tambang Freeport dengan penuh waspada agar Freeport tidak menjadi obyek perburuan rente, kepentingan oligarki dan logistik pemilu, dukungan politik, serta kepentingan bisnis dan dominasi asing.

MARWAN BATUBARA

DIREKTUR INDONESIAN RESOURCES STUDIES, IRESS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Mewaspadai Negosiasi Freeport".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger