Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 02 Oktober 2017

Indonesia Darurat Korupsi (YONKY KARMAN)

Menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2016 pada peringkat ke-90 (dari 176 negara), dengan skor 37 (0 sangat korup, 100 sangat bersih).

Bandingkan skor 36 pada 2015 (peringkat ke-88), skor 34 pada 2014 (peringkat ke-107), skor 32 pada 2013 (peringkat ke-114), skor 32 pada 2012 (peringkat ke-118). Dengan skor rata-rata Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Asia Pasifik di angka 44 dan di tingkat global 43, kondisi Indonesia masih darurat korupsi di tingkat regional ataupun global.

Dengan skor IPK hanya naik 5 poin sejak 2012 (meski naik 24 peringkat), skor 50 yang menjadi target pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 nyaris mustahil. Apakah kerja komisi ini dengan segala kekurangannya tidaklah efektif dan hanya menghabiskan anggaran negara?

Seandainya KPK tak efektif, IPK Indonesia akan jauh lebih buruk daripada sekarang. Yang membuat kemajuan IPK tertahan adalah KPK secara konstitusional tak kunjung diperkuat, malah berulang kali terancam pelemahan. Ancaman pelemahan paling serius adalah sekarang ini: tekanan dari luar sekaligus penggembosan dari dalam.

Keadaban politik roboh

Modus serangan balik koruptor juga kian berkembang. Pertama, membuka paksa pintu praperadilan. Kedua, membenturkan KPK dengan institusi penegak hukum lain dan DPR. Apabila KPK dapat dilemahkan, pasti yang paling bahagia adalah (calon) koruptor. Itu hanya berarti robohnya keadaban politik.

Meski KPK bekerja siang malam, tanpa jeda, korupsi dilakukan makin berani dan canggih. Biasanya gratifikasi dalam bentuk tunai atau barang, tetapi kini bentuknya kartu ATM. Biasanya modus korupsi adalah pembengkakan anggaran proyek atau penyuapan, tetapi kini direncanakan pada tingkat perencanaan di antara legislatif, eksekutif, dan swasta. Pengurus negara menjadi penguras (pundi) negara. Efeknya sangat serius.

Tidak seperti kebakaran yang sekali dipadamkan selesai. Juga tidak seperti kejahatan narkoba dan terorisme yang bahayanya langsung disadari. Efek korupsi tak langsung dalam bentuk penderitaan. Kemampuan negara untuk menurunkan tingkat kemiskinan mengecil dari 0,9 persen per tahun (1999-2012) menjadi 0,7 persen (2012-2013). Tren ini berlanjut.

Sejak 1985, Indonesia terperangkap sebagai negara kelas menengah papan bawah. Itu karena negara tersandera korupsi. Keadaan terperangkap yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun ini bisa berlanjut. Jangan-jangan Indonesia 2045 gagal naik kelas menjadi negara maju.

Yang paling bertanggung jawab atas tertahannya kemajuan Indonesia adalah elite politik dan penyelenggara negara. Korupsi diakui sebagai kejahatan luar biasa, tetapi cara menyelenggarakan negara tak mencerminkan suasana darurat. Tidak banyak penyelenggara negara yang sungguh peduli dengan berkurangnya kualitas penyelenggaraan negara. Celah-celah korupsi dibiarkan sebagai bagian dari sistem yang memberi peluang bagi kebocoran dan pemborosan uang negara.

Lebih dari separuh abad usia republik hanya meneguhkan banalisasi korupsi. Korupsi itu biasa. Di negara yang IPK-nya tinggi masih ada korupsi, tetapi begitu terindikasi korupsi, dengan cepat pejabat bersangkutan mundur dari jabatan politik. Keadaban politik pun terpelihara. Politisi kita tak segan-segan membebani politik. Wadah politik jadi tempat aman untuk korupsi karena dilakukan beramai-ramai dan di antara kolega saling melindungi.

Korupsi tidak hanya soal uang, tetapi juga kekuasaan. Yang paling berkepentingan dengan kekuasaan sekarang adalah politisi partai. Menurut Global Corruption Barometer 2017 versi Indonesia yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), masyarakat memersepsikan DPR sebagai lembaga negara terkorup, disusul birokrasi, DPRD, Ditjen Pajak, dan kepolisian.

Ketika politisi dan partai politik terganggu dengan citra buruk kadernya yang tersangkut korupsi, perlawanan balik dilakukan secara politik. KPK hendak diseret ke dalam kancah politik. Padahal, insan komisi anti-rasuah ini ditakdirkan bekerja jauh dari hiruk-pikuk politik.

Mengherankan bahwa elite partai kita belakangan ini tidak bersimpati atas apa yang terjadi dengan KPK, mulai dari penyerangan terhadap penyidiknya secara barbar sampai intrik politik untuk mengganggu kerja komisi itu. Tiada apresiasi elite partai atas kinerja luar biasa KPK.

Titik kritis

Di alam budaya politik kita yang elitis dan feodal, politisi korup lebih merasa malu karena ketahuan. Tiada sesal karena sudah mengkhianati panggilan luhur politik. Tiada rasa gusar karena inkompetensinya sebagai penyelenggara negara. Terjerat operasi tangkap tangan dianggap sedang sial.

Di dalam politik, tidak ada makan siang gratis. Dukungan politik untuk presiden juga diharapkan untuk sepak terjang partai di DPR. Bagaimana presiden hendak menikmati dukungan politik DPR, sementara politisi parlemen terancam pedang tajam KPK? Dengan berjalannya waktu, semakin jelas juga episentrum korupsi di negeri kita. Partai pendukung pemerintah dari waktu ke waktu juga membebani pemerintah dengan perilaku korup.

Politisi korup sesungguhnya hampa amanat penderitaan rakyat. Pertumbuhan kualitas hidup berbangsa dan bernegara dibuat kerdil oleh korupsi politik. Sudah lama pembusukan politik berlangsung. Apakah pembusukan itu dipertahankan? Hari-hari ini, perang melawan korupsi memasuki titik kritis. 

YONKY KARMAN

PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Indonesia Darurat Korupsi"..


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger