Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 02 Oktober 2017

Bangsa Tanpa Sejarah (RADHAR PANCA DAHANA)

Apabila "sejarah" secara umum dipahami sebagai "pengetahuan atau studi tentang masa lalu sebagaimana digambarkan pelbagai bentuk tulisan", jangan-jangan negeri kita tercinta ini tumbuh dan berkembang tanpa (kebutuhan akan) sejarah. Lebih gawat lagi, apabila realitas sebelum tulisan digunakan (diciptakan) disebut sebagai masa prasejarah, yang konotasinya bermakna purba, bahkan primitif, bisa jadi bangsa Indonesia yang katanya hebat ini memang primitif, masih dan tetap primitif: sejak dulu kala!

Dalam sebuah kelas saat saya belajar di salah satu negara Eropa, sang pengampu, seorang guru besar sangat ternama (juga di Indonesia), ahli bahasa, sastra, dan kebudayaan Indonesia mengajarkan "sejarah" kecil. Pada abad ke-17, saat orang Perancis pertama kali datang ke negeri ini, dan melihat orang Jawa-yang pendek, rambut tebal, kulit gelap- sang pendatang itu menyebutnya sebagai "orangutan".

Tentu saja saya mafhum sejarah tidak selalu merupakan jajaran fakta "benar", apalagi "kebenaran". Namun, menggelikan juga apabila di kampus ternama Eropa itu masih diajarkan sejarah semacam itu. Di milenium ketiga lagi. Seakan konsumen sejarah sejenis itu, macam mahasiswa pendek, pesek, dan kulit gelap seperti saya, tidak memiliki sejarahnya sendiri atau bahkan masih prasejarah.

Namun, soal sejarah yang berdusta, dimanipulasi, dan direkayasa total memang sudah menjadi sejarah dari sejarah itu sendiri. Mulai dari soal kecil, tentang Einstein yang konon mengalami kesulitan, bahkan tidak lulus matematika di sekolah menengah, membuat sang jenius tertawa geli sambil menerangkan ia sudah master di bidang kalkulus integral dan diferensial sejak usia 15 tahun. Atau Napoleon Bonaparte yang digambarkan sejarah sebagai raja yang gempal dan pendek, dalam kenyataannya memiliki tinggi rata-rata orang Perancis, sekitar 170 cm.

Lebih parah dari itu adalah sejarah Amerika, yang mengisahkan bagaimana Presiden Thomas Jefferson, dalam Deklarasi Kemerdekaan yang juga ia tulis itu, menegaskan dengan sangat kuat "perdagangan budak adalah bisnis yang menjijikkan... kumpulan horor yang mengerikan" dan "kekejaman yang melawan kemanusiaan, melukai kesucian hidup dan kebebasan". Namun, dalam kehidupannya ia masih memiliki banyak budak dan hanya "menjual" alias memperdagangkan lima orang pada akhir hidupnya.

Apalagi yang bisa dikatakan pada sejarah-sejarah yang dengan sengaja diciptakan untuk mengelabui atau menciptakan kesadaran palsu yang hidup dan menjadi ukuran hingga hari ini. Seperti sejarah migrasi bangsa Arya yang ternyata isapan jempol Kerajaan Inggris saat menaklukkan India; tentang Rockefeller yang menjadi inisiator Perang Dunia II dengan membujuk Jepang menyerbu Pearl Harbour demi kepentingan bisnisnya; peta Mercator yang dibuat kartograf Jerman pada pertengahan abad ke-16-dan masih menjadi acuan hingga hari ini-ternyata berisi data geografis palsu dan menipu; serta beberapa kisah genosida atau pembunuhan massal di dunia.

Itulah kisah yang didasarkan pada tulisan. Sejarah material yang konon valid dan sah, tetapi ternyata dengan mudah dibelokkan, dimanipulasi, bahkan direkayasa penuh tipu. Betapa banyak sejarah material semacam itu yang memberi pengaruh pada perkembangan sebuah bangsa, pada dunia, bahkan pada peradaban itu sendiri.

Sejarah kontinental

Apa yang terpapar di atas sebenarnya tidak lain dari sejarah sebagai produk dari sebuah peradaban yang selama ini saya sebut sebagai kontinental. Sebuah peradaban yang melandaskan keberadaan dan kejayaannya pada pembangunan monumen-monumen, pada (per)ingatan tentang keabadian, pada kekokohan yang tak tergoyahkan, pada berhala, pada dominasi, pada pemenang. Tulisan atau skrip dan inskripsi adalah monumen keabadian untuk sebuah pencapaian sebagaimana tercipta sejak Sumeria hingga orang-orang India menularkannya ke bangsa Nusantara sejak awal Masehi.

Kenyataannya, yang kemudian terabadikan oleh monumen-monumen itu ternyata bukan hanya sebuah pencapaian kebudayaan yang membuat ahli waris bangga (atau tertipu?), tetapi juga di dalamnya terwariskan pula konflik yang permanen sebagai tradisi, juga buah dari "monumentalikum" itu. Bagaimana tidak? Bila sebuah monumen dapat tegak sesungguhnya dengan cara menaklukkan, bahkan menghancurkan monumen yang ada sebelumnya (zero sum game)..

Sebuah berhala dapat tegak berdiri dengan menghancurkan berhala sebelumnya. Agama terbangun dengan cara mendesakralisasi hingga membidah atau mengafirkan agama sebelumnya. Begitu pun ilmu atau teori sebagai bagian dari budaya tulis akan tegak setelah menaklukkan atau membatalkan teori sebelumnya. Sejarah politik ditulis seorang penguasa (rezim) dengan mengubah sejarah yang dibuat penguasa pendahulunya.

Itulah sejarah yang kerap menjadi argumentasi paling logis bagi terjadinya konflik di berbagai belahan dunia. Mengakibatkan jutaan jiwa melayang, jutaan sengsara dalam pengungsian, puluhan juta generasi milenial terkodifikasi dan teracuni otak dan hatinya: di Eropa, Amerika, India, China, hingga Suriah, Irak, Yaman, Sudan, dan Myanmar.

Bagaimana Indonesia? Ternyata kita juga mewarisi hal yang sama. Terima kasih kepada kolonialisme, yang (sebenarnya) belum juga usai hingga hari ini. Produk- produk adab kontinental itu bukan saja kita konsumsi, melainkan kita bayar/beli (termasuk dengan dana APBN) dengan harga tinggi, bahkan kita ikut memproduksinya.

Sebagian sejarah kita pelihara hanya untuk menuntaskan kesumat yang rasanya belum tuntas dan puas juga ditumpahkan. Menciptakan paranoia yang hingga tingkatan menggelikan karena sesungguhnya tidak akur dengan akal sehatnya sendiri. Perbedaan lama dan yang diciptakan baru dijadikan alasan untuk berkelahi atau merebut jatah preman, bukan hanya di jalanan, juga di parlemen hingga di pemerintahan eksekutif. Soal hoaks, radikalisme, demo-demoan, semua itu sekadar gimmick. Namun, justru hal-hal itu yang membuat repot dan sibuk, mulai dari obrolan warung kopi, trending topicheadlinesmedia massa, hingga ribut di antara petugas keamanan dan pertahanan.

Sejarah bahari

Bagaimana sebenarnya kita, sebagai sebuah bangsa yang punya budaya dan (per)adab(an)nya sendiri? Syukurlah, karena sejatinya ternyata kita sebenarnya bukan bagian dari peradaban kontinental di atas. Kita adalah negeri kepulauan.

Sebagai kepulauan, sejatinya bangsa penghuninya adalah pemilik dan ibu kandung dari budaya dan adab bahari sebagai counterpart dari kontinental. Apa yang menjadi penanda utama dari kebaharian, tentu saja adalah air, dengan semua karakteristik, sifat, dan perilakunya. Sebagaimana air yang abadi mengalir, manusia bahari hidup dalam tradisi, adat dan budaya yang tidak pernah berhenti berubah. Artinya: apa yang abadi di dunia ini, dalam hidup yang cuma mampir ngombe ini? Semua akan terus hanyut terbawa arus hingga akhirnya berhenti dalam kedamaian, keabadian misterius: samudra, tempat Bima dalam versi carangannya menemukan jati dirinya.

Dalam adab seperti ini, muskil kita menemukan peristiwa, manusia, atau capaian-capaian kebudayaan yang termonumentalisasi, yang dianggap dapat abadi. Apa yang bisa dilakukan manusia bahari adalah berusaha sehebatnya (dengan seluruh potensi kemanusiaannya) untuk survive dan terus mengalir menuju tempat akhirnya di samudra. Dan, yang disebut masa lalu tidak pernah ada dalam bentuk yang diam, statis, dalam definisi, dalam sejarah, bahkan skrip atau tulisan. Masa lalu, seperti air yang ada di tempat lebih tinggi, adalah hal yang (juga) selalu baru, seperti hari ini, juga masa nanti. Tak ada gunanya memermanensi masa lalu, menjadi katakanlah sejarah, karena air dari ketinggian sudah ada atau menjadi bagian dari air di kerendahan, pada hari ini.

Karena itulah bangsa Indonesia seperti mengidap amnesia, seolah tak peduli pada sejarah: ada dan tiadanya, benar atau penuh tipunya. Hidup adalah air, air adalah waktu, yang terus mlaku. Perjalanan itu yang menjadi fokus manusia bahari.

Mungkin apabila tidak datang orang India, yang melakukan kolonialisme budaya di era klasik, atau Arab dan Eropa kemudian harinya, bangsa ini tidak akan kenal-bisa jadi tak juga butuh-aksara. Karya-karya ternama dari tradisi menulis yang baru itu, mulai dari Empu Panuluh hingga Joyoboyo atau Mangkunegara IV, jika kita perhatikan, tidak bicara tentang sejarah atau masa lalu. Lebih banyak berisi catatan tentang kenyataan hari ini. Masa lalu boleh saja tersimpan, tapi tidak secara material berupa data keras yang valid secara akademik, tetapi dalam pesan moral dalam bentuk kisah, cerita rakyat, fabel, mitologi, atau legenda.

Maka, kalau boleh masa lalu hidup di masa kini, tidaklah dalam bentuk monumentalisasi materialnya, tapi dalam tatanan etika dan moralnya yang ditransmisi sebagai acuan hidup praktis, bukan sekadar memori kognitif yang tidak lebih awet dan monumennya sendiri. Wajar jika bangsa seperti ini tidak pernah atau-katakanlah-sulit memiliki kebiasaan atau tradisi membaca yang liat seperti bangsa- bangsa kontinental. Karena yang kita baca bukan materialisasi sejarah di buku-buku, melainkan semangat dan jiwa zamannya. Itulah karakter utama kita yang hilang, menyebabkan adat dan adab dalam diri kita lenyap. Berganti materialisasi yang mudah sekali dimanipulasi lalu kita paksakan jadi isi hard disk di otak kiri kita. 

Bangsa yang palsu

Mungkin inilah jawaban, di usianya yang cukup tinggi, dengan pencapaian modernitasnya saat ini: literasi kita hanya satu tingkat dari peringkat terendah ranking literasi bangsa-bangsa dunia menurut UNESCO. Saya khawatir, dengan program apa pun, kita tidak akan beranjak dari ranking itu. Karena, jujur saja, bahkan pembaca hebat-katakanlah cendekiawan atau ilmuwan kita-apa sesungguhnya benar-benar membaca?

Baiklah, kita bukan hanya bukan bangsa pembaca, melainkan boleh jadi juga bukan bangsa penulis. Jumlah judul buku yang terbit tiap tahun mesti diperiksa juga apa dan bagaimana isinya. Yang jelas karya sastra dan ilmiah di peringkat jumlah terendah. Apalagi yang bermutu. Artinya, kita bukan bangsa dengan budaya tulis dan baca. Kita pun bukan bangsa yang "bersejarah" (hystorical).

Karena dalam kenyataannya, jika kita atau bangsa Indonesia hanya melandaskan diri dan kesejatiannya dari produksi tulisannya sendiri, bisa dipastikan akan terjadi reduksi besar-besaran hingga kita tak mengenali keberadaan kita sendiri. Apalagi jika kita hanya mengandalkan catatan, riset, atau hasil analisis orang luar, dengan seluruh kepentingan ideologisnya, kita bisa sangat keliru melihat diri sendiri. Menjadi manusia atau bangsa yang palsu, fake. Sebab, bahkan sebelum inskripsi tiruan India yang pertama kali ada di negeri ini, sebenarnya riwayat bangsa kita sudah berlangsung dengan hebat dan gagahnya. Namun, sekali lagi, kita tidak pernah mencatatnya. Orang lain yang melakukannya.

Hal itu terjadi hingga detik ini. Sekujur hidup kita sebagai bangsa berisi kekaburan fakta yang buat saya menyesatkan. Mulai dari riwayat kebaharian kita, masa penaklukan budaya India, kerajaan-kerajaan awal, siapa Gadjah Mada, bagaimana sebenarnya perikehidupan di masa Sriwijaya, hingga siapa Wali Songo, fakta sesungguhnya dalam tragedi G30S 1965, di mana dan apa isi Supersemar, sampai pada kebenaran tragedi kematian mahasiswa Trisakti, atau  siapa sebenarnya penggerak dan donatur di balik demo-demo "Ahok" kemarin itu? Kita memar... kita samar... kita tak mengerti. Namun, nyatanya, kita tak peduli. Sampai kita ketemu hoaks,trending topic, dan sensasi di headlinetelevisi. Kita lalu ribut sendiri.

Itulah bangsa bahari, rasa kontinental.

RADHAR PANCA DAHANA

BUDAYAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Bangsa Tanpa Sejarah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger