Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 04 Oktober 2017

"Quo Vadis" Partai Golkar (RIZAL MALLARANGENG)

Partai Golkar kini berada di ujung sebuah impasse, jalan buntu politik.

Betapa tidak? Hakim Cepi Iskandar di sidang praperadilan, 29 September, telah menjatuhkan vonis yang oleh publik dianggap kontroversial, membebaskan Setya Novanto dari status sebagai tersangka kasus korupsi KTP-el. Namun, vonis ini bukanlah sebuah penutup karena KPK memiliki kewenangan untuk menjadikan lagi Ketua Umum Partai Golkar itu sebagai tersangka dalam kasus yang sama dengan sejumlah pembuktian baru.

Artinya, "The Setnov Case", kalau boleh diistilahkan demikian, tampaknya belum tuntas. Bola panas akan terus bergulir dan kita belum tahu ujungnya berakhir di mana dan sampai kapan. Dampak semua itu pasti akan menyedihkan bagi Golkar secara keseluruhan. Sekarang saja, sebagaimana dilaporkan dengan jelas oleh Kompas (18/9/2017), dukungan bagi partai berlambang beringin itu terus merosot drastis dari 14,6 persen pada Pemilu 2014 menjadi 7,1 persen dalam survei terakhir bulan lalu. Artinya, lebih dari setengah basis pemilih potensial kini berpaling akibat merebaknya kasus ini.

Bukan tak mungkin jika kasus KTP-el terus bergulir, basis dukungan merosot lebih jauh lagi. Dalam politik, faktor terpenting adalah momentum. Sekali sebuah partai mengalami momentum negatif, suara pendukung akan terus mengecil. Suka atau tidak, fakta yang ada sekarang mengatakan itulah yang sedang terjadi pada Golkar.

Jika momentum negatif ini tidak segera dibalik, akibatnya akan kelam. Setidaknya secara potensial kemungkinan paling buruk sudah terbayang di depan mata: Partai Golkar dalam Pemilu 2019 hanya meraih suara kurang dari 5 persen, bahkan kurang dari 4 persen, dan karena itu tak melewati persyaratan ambang batas parlemen.

Dengan perolehan sekecil ini, kalau terjadi, kekuatan beringin akan memudar dan berubah bentuk menjadi partai gurem.

Solusi penyelamatan

Karena itu, sekarang adalah saat yang tepat untuk bertanya, mau ke mana sebenarnya Partai Golkar? Apakah nasib dan masa depan parpol besar ini terus dibiarkan tersandera oleh kontroversi dan kiprah satu orang walaupun orang itu kebetulan saat ini menduduki posisi sebagai ketua umum? Pertanyaan pahit ini harus dipikirkan oleh seluruh lapisan kepemimpinan Partai Golkar, baik di pusat maupun di daerah. Ibarat kata, this is now the existential question, sebuah pertanyaan yang menyangkut nasib dan keberadaan partai di percaturan politik nasional.

Harapan saya, dalam situasi pelik dan menjepit inilah lapisan kepemimpinan Golkar bangkit dari tidur berkepanjangan. Sebelum terlambat, kapal besar yang kini oleng harus segera diselamatkan. Caranya tentu harus sesuai konstitusi partai serta sesuai pula dengan kaidah-kaidah politik yang bermartabat.

Solusi pertama dan paling elegan adalah jika seluruh lapisan kepemimpinan Partai Golkar mengambil langkah untuk meyakinkan Novanto agar mundur secara sukarela dari posisi ketua umum. Sebelum mundur, dia bisa diminta menyiapkan musyawarah nasional (munas) sebaikbaiknya untuk memilih generasi pengurus baru yang segar.

Bagi Novanto sendiri, solusi ini akan membebaskannya dari beban berat sehingga dia bisa memusatkan pikiran menghadapi kemungkinan legal apa pun yang masih terus mengintai di bulan-bulan mendatang. Namun, kalau ternyata Novanto memilih terus bertahan, konstitusi Partai Golkar memberi sebuah jalan keluar terlembaga yang sah. Kuncinya terletak pada kaum pemimpin partai di daerah, khususnya di tingkat provinsi. Jika dua pertiga mereka meminta munas segera diadakan untuk memilih pengurus baru, semua pihak, termasuk ketua umum dan jajaran dewan pimpinan pusat, wajib mengikuti.

Dengan kata lain, jika Novanto berkeras, solusi penyelamatan partai sebenarnya terletak di pundak pimpinan daerah. Mereka yang harus muncul menjadi pendorong perubahan serta dan memberi arah yang jelas bagi Partai Golkar. Saya cukup yakin pimpinan partai di tingkat provinsi akan memenuhi "panggilan tugas" mereka-dan waktunya mungkin tidak akan lama lagi. They will rise to the occasion: mereka akan membuktikan bahwa Partai Golkar memang layak menjadi partai besar dan terus mengawal demokrasi Indonesia di masa mendatang.

Setelah munas, dengan generasi kepemimpinan baru, tangan Partai Golkar tak lagi terikat untuk menyongsong datangnya Pemilu 2019. Waktu yang ada masih cukup memungkinkan untuk meraup kembali potensi pemilih yang hilang. Bahkan, bukan tak mungkin kekuatan beringin akan memberi kejutan dengan menyalip partai besar lain dan muncul sebagai pemenang, khususnya dalam pemilu legislatif.

Sekarang, hal itu memang masih terasa jauh seperti harapan yang tersembunyi di balik awan. Namun, dengan strategi tepat, plus sedikit keberuntungan, the impossible dapat menjadi possible, dan jalan buntu bisa diubah jadi sebuah kemungkinan baru.

RIZAL MALLARANGENG

Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul ""Quo Vadis" Partai Golkar".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger