Pagi dini hari, Minggu, 14 Januari 2018, saya menerima pesan WA dari seorang mantan wartawan senior tentang konflik perbedaan pandangan kebijakan soal reklamasi yang dibesar-besarkan menjadi konflik konstitusional.
Konflik ini membenturkan gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan, yang mencitrakan antireklamasi, dengan pemerintah pusat yang dicitrakan sebagai proreklamasi dan propengembang. Perbedaan kebijakan itu telah menjadi sangat personal dan terpolitisasi secara "pragmatis" sehingga kita bisa kehilangan wawasan akal sehat dan pencerahan hati nurani untuk berpikir komprehensif-strategis.
Peringatan dari "langit"
Untung suatu peringatan dari "langit" muncul, berupa laporan khusus halaman depan koran The New York Times edisi 21 Desember 2017 dengan judul provokatif: "Jakarta Is Sinking So Fast, It Could End Up Underwater". Karena seluruh elite sedang tenggelam dalam kemelut pilkada serentak 2018, maka tidak ada yang peduli pada peringatan Michael Kimmelman, sang penulisnya.
Sebaliknya, polemik ofensif Pemprov DKI Jakarta yang ingin membatalkan HGB di lahan reklamasi hingga mengancam menggugat BPN yang justru diingatkan oleh pakar hukum tata negara agar tidak perlu memperdalam konflik secara "vulgar". Tampaknya memang isu ini mau dijadikan "jualan politik" oleh gubernur terpilih.
Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sejak didirikan tahun 1980 selalu mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan temporer: siapa pun presiden dan atau gubernurnya. Kita telah mengamati pelbagai perebutan kepentingan yang berdampak ketelantaran program pembangunan. Proyek MRT sampai lima gubernur baru tuntas konkret dibangun terlambat 25 tahun. Masalah banjir dan geologis Jakarta juga sudah ditangani sejak zaman Kopro Banjir era Bung Karno.
Benang merah relasi antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta memang unik. Selama 15 tahun DKI Jakarta dipimpin oleh empat wali kota: Suwiryo, Daan Yahya (interim), kembali Suwiryo, Syamsurizal, dan Sudiro. Tahun 1960, Presiden Soekarno mengubah jabatan wali kota menjadi gubernur DKI dan Mayjen Dr Sumarno Sosroatmojo jadi gubernur pertama DKI Jakarta.
Ketika Ali Sadikin diorbitkan oleh Soekarno menjadi Gubernur DKI, 28 April 1966, setahun kemudian ia membuka kasino di Petak IX sebagai sumber pembiayaan pembangunan gedung SD lantaran defisit APBD ataupun APBN yang diterima DKI. Era Ali Sadikin ini adalah awal reklamasi di Ancol dan Pluit. Dari dana pajak kasino itu pula Ali Sadikin membangun proyek Husni Thamrin, perbaikan kampung yang menjadi model Bank Dunia untuk pembangunan dunia ketiga.
Kembali ke soal reklamasi yang jadi "jualan politik pilkada" dan mau dijadikan "jualan politik" di Pemilu dan Pilpres 2019, menurut PDBI, siapa pun gubernur DKI dan presiden RI, Jakarta memerlukan apa yang disebut NCICD (National Capital Integrated Coastal Development). Ini semacam wadah perumus kebijakan terpadu tentang geologi Jakarta dengan pelbagai program seperti GSWP (Giant Sea Wall Project), termasuk reklamasi. Bahkan sepanjang 1.000 kilometer pantai utara Jawa, bukan hanya secuil di Jakarta Utara.
Dalam kaitan geopolitik justru Poros Maritim harus bersinergi dengan One Belt One Road (OBOR) Maritim secara saling menguntungkan dengan reklamasi masif seluruh pantai utara Jawa. Sebab, yang sekarang berjalan hanya OBOR darat, pembangunan OBOR di kawasan Indochina, delta Mekong, dan jaringan jalan darat kereta api lintas India-Bangladesh-Vietnam ataupun dari Malaysia ke Laos- Myanmar adalah di luar wilayah RI.
Indonesia tidak langsung menikmati atau dilewati jalur OBOR darat kontinental itu. Poros Maritim seolah di luar OBOR, sedangkan ASEAN kontinental memanfaatkan maksimal OBOR darat. Karena itu, sinergi Poros Maritim dan OBOR Maritim itu harus jadi agenda geopolitik, siapa pun presiden RI dan gubernur DKI atau gubernur se-Jawa.
Jangan korbankan rakyat
PDBI akan menyelenggarakan Seminar Anatomi Jakarta Tenggelam? guna membahas tuntas masalah mendasar dan mendesak, yaitu ancaman tenggelamnya Jakarta secara geologis dan manajemen geopolitik dari lokasi geografis RI secara komprehensif dan terpadu.
Masalah ini tak boleh dan tak bisa dijadikan sekadar "jualan politik" calon gubernur dan presiden. Sebab, yang dipertaruhkan bukan menang-kalahnya seorang cagub dan capres, melainkan nasib Jakarta dan tentu nasib Indonesia bila Jakarta mendadak tenggelam karena gubernur konflik dengan presiden secara "personal", tetapi menyeret nasib suatu metropolis dan suatu negara-bangsa.
Sudah sering elite politik membohongi rakyat dengan kampanye sok "nasionalis" dan "sok patriotik". Misalnya, di zaman negosiasi dengan Belanda dulu diisukan Bung Karno kolaborator Jepang, maka Sekutu dan Belanda hanya mau berunding dengan Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin karena keduanya memang bergerak di bawah tanah: anti-Jepang. Sementara Bung Karno dan Bung Hatta ikut dalam struktur elite politik Sutan Syahrir, dijatuhkan oleh Amir Syarifudin, dengan alasan lembek dan lunak menghadapi Belanda dengan Perjanjian Linggarjati.
Namun, Amir justru menandatangani Persetujuan Renville yang malah lebih buruk daripada Linggarjati. Amir pun memberontak dan posisinya diambil alih Hatta. Karena sudah capek, Republik Indonesia Serikat (RIS) menerima Konferensi Meja Bundar mewarisi utang Hindia Belanda. Jadilah kita satu-satunya negara bekas jajahan yang harus membayar utang bekas penjajah senilai 1,1 miliar dollar AS dan baru lunas pada 1956.
Namun, ketika kita menyita seluruh aset perusahaan Belanda, termasuk KPM 1957, kita tidak mampu memelihara RLS (regular liner rervice/pelayaran terjadwal) sehingga biaya logistik Indonesia termahal di dunia. Ongkos angkut jeruk dari Shanghai ke Jakarta lebih murah daripada Pontianak-Jakarta. Inilah yang mau diubah dengan tol laut Poros Maritim.
Dalam konteks inilah kita harus membahas suatu kasus dan isu kebijakan secara komprehensif, terpadu, holistik, dan tidak secara murah meriah lalu dijadikan komoditas "jualan politik" berbau SARA. Hanya PDBI yang dapat menggelar seminar secara lugas, tuntas, di luar kerangka politik praktis, tetapi langsung ke substansi masalah. Sebab, Jakarta benar-benar bisa tenggelam bila kita hanya asyik berpolemik sentimental emosional antarpribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar