Posisi kaum muda, khususnya usia 17-37 (millennial), cukup menentukan, dengan jumlah sekitar 84 juta orang menurut BPS tahun 2015 atau sekitar 50 persen dari penduduk usia produktif.
Suara mereka harus didengar dan representasi mereka mesti diperhitungkan (Kompas, 28/ 12/17). Posisi mereka menjadi penopang arah gerak cita-cita bangsa sekaligus sumber energi untuk merajut republik ini agar bangkit menyongsong pembangunan berkeadaban.
Di tengah potensi konflik akibat politik identitas yang diembus-embuskan, kaum muda hadir sebagai agen-agen penyelamat bangsa. Kiranya mereka mampu menghadirkan kampanye damai dan produktif bagi pergerakan keindonesiaan yang substantif dan mandiri.
Namun, hingga kini, kaum muda masih menjadi pangsa pemilih pemula yang dimanfaatkan partai politik. Anak muda dianggap berpotensi karena sering galau (swing voters) dalam menentukan pilihannya.
Kekuatan politik
Demokratisasi bangsa berkembang dengan aliran-aliran politik yang termanifestasikan dalam kekuatan politik (Jurdi, 2016). Proses itu diharapkan tidak hanya berasal dari partai politik, tetapi juga kelompok- kelompok sosial lewat organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan, seperti karang taruna. Kedua kelompok diharapkan punya legitimasi politik untuk memengaruhi program konfigurasi politik nasional.
Oleh karena itu, kaum muda semestinya mampu mendorong perubahan politik lewat sekoci baru yang berani menyuarakan kebenaran. Partai politik wajib transparan dalam pendanaan, sekaligus menegakkan etik dan mendorong keterbukaan dalam perekrutan kader.
Namun, sejauh mana kaum muda berani pasang badan dan bertarung dalam proses politik kebangsaan. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, tahun 1908, sekumpulan kaum muda, yang sedang kuliah di fakultas kedokteran, melahirkan organisasi Budi Utomo. Inilah sebagai penanda kebangkitan kaum muda pada masa tersebut.
Kemudian Sumpah Pemuda menyusul tahun 1928, dilakukan oleh orang muda yang berlatar belakang dari segala disiplin ilmu dan suku bangsa. Hal ini makin menambah semangat kemerdekaan kaum muda, yang berperan dalam aspek kenegaraan penting di zamannya.
Politik, yang dimaknai sebagai jalan untuk memperjuangkan kebaikan bersama, keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan, sebetulnya sudah diperhatikan oleh sebagian kaum muda.
Bangkit dan kawal
Kini, pemuda perlu bangkit dan mengawal berbagai isu seperti inisiasi gerakan kemanusiaan lewat kedermawanan atau menyumbang berbasis aplikasi daring yang mudah akses dan pertanggungjawabannya, menghidupkan gerakan literasi dengan menghadirkan perpustakaan mini, dan mem-viral-kan informasi berbasis media yang dirasa krusial.
Semua itu, terutama untuk membentuk proses demokratisasi republik ini dalam menghadirkan pemimpin yang penuh integritas dan berdedikasi pada rakyat dalam pilkada serentak di 171 daerah tahun ini.
Kaum muda patutlah bergerak, apalagi sejak pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tahun 2015, satu per satu kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Tentu ini potret buruk bagi calon pemimpin.
Proses pembiayaan politik, yang sedari awal dilakukan oleh calon kepala daerah dalam pilkada, harus ikut menentukan apakah proses korupsi mungkin atau tidak dilakukan dalam periode kepemimpinan yang bersangkutan saat terpilih.
Kecenderungan mengumpulkan uang melalui suap, mempermainkan kalkulasi proyek, hingga memelintir perizinan adalah pola yang dilakukan petahana yang ingin maju kembali dalam kontestasi politik (Kompas, 5/1/18).
Hingga kini korupsi masih dianggap sebagai kelaziman dan seakan tiada rasa takut dalam melakukan. Sebagian akan mengatakan bahwa yang bersangkutan "sedang sial" atau "kurang setoran" sehingga tertangkap korupsi. Jadi, semua hanya terkait dengan waktu dan momentum.
Artinya korupsi ini jamak dilakukan atas nama balas budi dan juga jatah yang sudah dijanjikan pada pihak-pihak pendukung kontestan. Kaum muda sebenarnya sudah membuat kegiatan pencegahan sejak dini.
ICW fokus mengawal kaum muda lewat kelas antikorupsi di beberapa kampus di Indonesia. Pemuda Muhammadiyah juga menyelenggarakan "madrasah anti-korupsi". Sejauh ini proses berlangsung, demikian pula halnya awareness. Namun, pelaku praktik korupsi tetap saja belum menemui efek jera. Mungkin karena sudah terjerat pada lingkaran kekuasaan.
Tolak politisi busuk
Mari kita mengawal penyelenggaraan pilkada dengan "Gerakan tolak politisi busuk".
Politik kewargaan menjadi sebuah jalan terang bagi hak seorang pemilih untuk menagih janji-janji pemimpin di mana pun dia berada. Oleh karena itu, sudah selayaknya kaum muda memulai.
Pertama, dengan mengidentifikasi siapa-siapa calon yang bermasalah secara hukum. Misalnya, sang calon berasal dari pengusaha yang menunggak pajak atau mempunyai kasus perdata/pidana yang berdampak signifikan.
Kedua, hindari yang berpotensi korupsi dan track record terkait akuntabilitas keuangan yang buruk.
Ketiga, waspadai yang banyak mengeksploitasi alam ataupun membuat janji-janji politik yang tidak ditepati.
Keempat, pelaku KDRT. Setelah hal tersebut mampu dipetakan dengan baik, tidak ada salahnya gerakan anti-politisi busuk mulai disuarakan. Caranya, dengan menviralkan lewat akun media sosial,talkshow interaktif ataupun turun ke jalan, sebagai bagian dari unjuk rasa keprihatinan.
Semua ini diharapkan dapat mengubah relasi kekuasaan melalui representasi populer dan partisipasi yang lebih baik, juga untuk meningkatkan efisiensi tata pemerintahan yang demokratis. Dengan demikian, daya-tawar meningkat dan mendorong kompromi-kompromi yang mampu memajukan pembangunan berkelanjutan, berbasis hak kewargaan dengan mengutamakan dialog, dan mendengarkan banyak masukan dari kaum muda sebagai modal kekuatan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar