Uni Eropa (UE) memenuhi permintaan PM Inggris Theresa May untuk memberikan "masa transisi" selama dua tahun setelah Inggris resmi keluar dari blok pada Maret 2019.
Namun, kelonggaran itu ada konsekuensinya. Senin lalu, UE mengumumkan, dalam periode transisi itu, yaitu Maret 2019 sampai Desember 2020, Inggris akan tetap diperlakukan sebagai negara anggota, tetapi Inggris tak memiliki hak suara.
Dengan demikian, Inggris harus tunduk terhadap aturan UE, termasuk aturan yang diterbitkan pada masa transisi. Konsekuensinya, Inggris dilarang melakukan kesepakatan dagang secara unilateral dengan pihak ketiga karena aturan mengharuskan adanya persetujuan dari 27 negara anggota.
Keputusan itu membuat Inggris yang telah mengambil ancang-ancang melakukan kesepakatan dagang dengan sejumlah negara, termasuk kunjungan kerja PM Theresa May ke China pekan ini, terenyak. Para politisi pro-Brexit menganggap Brussels sewenang-wenang, sementara Brussels menganggap aturan ini cukup adil karena selama masa transisi Inggris tetap memperoleh akses ke pasar Eropa.
Persoalan bagaimana strategi Inggris menyudahi hubungannya dengan UE itu menjadi sorotan publik, terlebih setelah munculnya bocoran laporan internal pemerintah yang menganalisis berbagai opsi strategi perdagangan pasca-Brexit. Kesimpulannya membuat kecil hati karena semua opsi yang diambil Inggris tetap akan membuat pertumbuhan ekonomi melemah selama 15 tahun mendatang.
Analisisnya adalah, jika Inggris tetap berada di pasar tunggal Eropa, pertumbuhan akan turun 2 persen. Jika Inggris berhasil mencapai kesepakatan komprehensif dengan UE, pertumbuhan akan turun 5 persen. Jika tidak ada kesepakatan, dan Inggris mengacu pada WTO, pertumbuhan turun 8 persen.
Bagi PM May, situasinya menjadi lebih sulit karena ia tidak mendapatkan dukungan penuh dari partainya. Kabinet yang tidak kompak, partai yang tidak solid, ditambah dengan kegagalan Partai Konservatif meraih kursi mayoritas di parlemen membuat kakinya terbelenggu.
PM May sulit untuk fokus pada isu Brexit ketika ia menghadapi pemberontakan internal. Salah satu contohnya adalah ketika sejumlah anggota Konservatifmbalelo dalam voting RUU Brexit tahun lalu. Akibatnya, kesepakatan final perundingan Inggris-UE kelak harus mendapat persetujuan parlemen Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar