Terjadinya peristiwa alam yang unik dan fenomenal seperti Super Blue Blood Moon yang merupakan gabungan tiga fenomena alam sungguh menggugah.

Fenomena Gerhana Bulan Super Darah Biru terlihat dari Klenteng Sanggar Agung di Surabaya, Rabu (31/1). Fenomena tersebut terjadi 152 tahun sekali.
BAHANA PATRIA GUPTA

Fenomena Gerhana Bulan Super Darah Biru terlihat dari Klenteng Sanggar Agung di Surabaya, Rabu (31/1). Fenomena tersebut terjadi 152 tahun sekali.

Kita bersyukur bahwa alam bermurah hati memaparkan diri—kadang keindahannya (gerhana matahari atau bulan), kadang kedahsyatannya (letusan gunung api atau gempa bumi)—untuk menjadi bahan pemikiran manusia.

Fenomena gerhana bulan—ketika Bulan dalam orbitnya melewati bayangan gelap Bumi yang disorot Matahari—sesungguhnya bukan hal langka. Dalam setahun, bisa terjadi sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali gerhana bulan total. Namun, gerhana bulan total kali ini lebih dari soal frekuensi. Inilah fenomena ketika gerhana bulan total juga terjadi saat Bulan dalam orbitnya berada dalam jarak terdekat dengan Bumi, sekitar 350.000 kilometer, yang terjadi tiga sampai empat kali dalam setahun. Selain itu, gerhana semalam juga terjadi ketika Bulan dalam periode Blue Moon, yaitu saat dalam satu kalender bulan terjadi dua purnama.

Gabungan tiga fenomena di atas tak heran membuat gegap antusiasme di masyarakat. Banyak yang ingin menonton fenomena ini. Mereka yang lebih serius bahkan rela merogoh tabungan untuk membeli teleskop, dengan harapan bisa melihat permukaan Bulan dengan kawah-kawahnya secara lebih jelas.

Kita melihat antusiasme masyarakat, khususnya kaum muda, terhadap fenomena Super Blue Blood Moon sebagai hal yang membesarkan hati. Alam seperti memberi jalan bagi terbukanya minat masyarakat terhadap fenomenanya justru ketika kita mendengar kabar bahwa minat kaum muda terhadap sains cenderung merosot akhir-akhir ini.

Kita pandang sains tetap elemen penting bagi kemajuan bangsa. Selain untuk mengetahui rahasia alam, ia juga membangkitkan jiwa rasa ingin tahu yang syukur diikuti dengan jiwa penelitian. Dalam ranah sains ini, ada astronomi yang berkaitan dengan kosmos dan benda serta fenomena langit, juga fisika, biologi, kimia, geofisika, dan meteorologi.

Pada masa lalu, ilmu-ilmu di atas sering dikatakan sebagai ilmu murni, ilmu yang sulit dipelajari, sementara setelah lulus sarjananya lebih sulit mendapat pekerjaan. Anggapan di atas sebenarnya hanya benar di permukaan, tetapi tidak tepat di dalamnya. Ilmu meteorologi, misalnya, kini amat dibutuhkan ketika manusia dihadapkan pada fenomena perubahan iklim dan pemanasan global. Indonesia membutuhkan ahli seismologi setelah menyadari bahwa bangsa ini hidup di atas cincin api yang rawan gempa bumi. Kelangkaan pangan besar kemungkinan bisa diatasi dengan terobosan baru di bidang biologi yang ditransformasikan ke bioteknologi.

Peran pemerintah untuk memberi dana penelitian yang memadai dirasakan penting, mengingat selama ini dana penelitian di Indonesia baru di kisaran 0,08 persen dari PDB.

Selain dana, harus kita akui bahwa kemajuan penelitian terkait juga dengan kultur. Masih senang meneliti di tengah era materialisme dan konsumerisme itu sudah harus diapresiasi.