Gagasan DPR untuk mengajukan dan mengkaji ketentuan tentang korupsi di sektor swasta pada Rancangan KUHP sebenarnya merupakan kehendak yang apresiatif.

Sebab, rancangan ini merupakan karakter perubahan dari hukum pidana yang dinamis, baik dari sisi tempat, ruang, maupun waktu. Pembaruan hukum pidana ini tidak saja mempertimbangkan faktor dan asas proporsionalitas serta subsidaritas, tetapi juga mempertimbangkan pengaruh globalisasi di bidang ekonomi serta dengan dampak dan efeknya pada kompetensi hukum dan ekonomi.

Suap yang dilakukan pada sektor swasta merupakan bentuk implementasi dari perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan perbuatan melawan hukum. Jadi, pemahaman korupsi di sektor swasta lebih dikaitkan pada perbuatan suap. Bahkan, perbuatan suap oleh dan di antara swasta juga sudah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (TPK), yang meletakkan unsur "kepentingan umum" sebagai dasar pemidanaan. 

Dengan demikian, yang membedakan antara tindak pidana suap pada UU No 11/1980 dan pidana suap yang terakomodasi dalam UU No 31/1999 ataupun UU No 21/2002 tentang Tindak Pidana Korupsi (TPK) adalah bahwa tindak pidana suap hanya berkaitan dengan perbuatan yang dinamakan private bribery. Ia tidak memiliki persyaratan pada public official bribery, seperti hubungan antara kekuasaan dan jabatan sebagaimana rumusan yang ada dalam TPK. Selain itu , kepentingan umum (public interest) merupakan syarat yang melekat pada delik inti dalam UU No 11/1980, di mana rumusan unsur "kepentingan umum" tidak ditemukan dalam TPK.

Dengan demikian, ketentuan ini mengandung perluasan yang tidak saja membatasi persoalan suap terhadap kegiatan olahraga, perlombaan/festival seni saja— sebagaimana jawaban pemerintah kepada DPR saat pembahasan RUU Tindak Pidana Suap Swasta—tetapi juga memiliki kompetensi terhadap pelanggaran dalam segala bidang sehingga tidak membatasi.

Adopsi Konvensi Antikorupsi

Ketentuan korupsi di sektor swasta ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Konvensi-konvensi korupsi internasional dan akhirnya diikuti oleh  United Nations Convention Against Corruption 2003, yang dikenal dengan UNCAC 2003, dan diratifikasi melalui UU No 7/2006, telah mengenal korupsi di sektor swasta.   Berdasarkan konvensi di atas, baik di Eropa, Amerika, maupun Afrika, dominasi  acuan korupsi itu adalah dalam kaitan dengan bribery (suap). Begitu pula dengan Rancangan KUHP yang menempatkan klausul korupsi swasta sekarang ini sebenarnya juga mengacu dan merupakan adopsi Pasal 21 UNCAC 2003.   

Suap di sektor swasta, sebagaimana diatur dalam Rancangan KUHP (yang merupakan   penyesuaian dari Pasal 21 UNCAC 2003)  dan pernah tercantum dalam Rancangan Perubahan UU Korupsi berbunyi : "Setiap orang yang dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, atau komersial menjanjikan, menawarkan, atau memberikan secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang  menduduki jabatan apa pun pada sektor swasta suatu  keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya…."

Selain itu, diatur juga "penggelapan kekayaan pada sektor swasta" (embezzlement's private property) merupakan penyesuaian dari Pasal 22 UNCAC 2003.  Namun, yang agak unik, kajian DPR yang akan memasukkan klausul korupsi di sektor swasta ini mengundang polemik, yaitu pandangan Panja DPR bahwa penempatan ketentuan korupsi swasta ini hanya memberikan kewenangan kepada Polri dan kejaksaan untuk melakukan pemeriksaan dan  perlu melakukan revisi UU KPK untuk menempatkan otoritas KPK melakukan pemeriksaan korupsi swasta.

Delegitimasi institusi

Pemahaman untuk menempatkan klausul korupsi swasta seharusnya juga mempertimbangkan untuk menghindari kesan yang terjadi selama ini bahwa aturan korupsi sekarang ini menciptakan adanya suatu kriminalisasi kebijakan ataupun  kriminalisasi privat. Alhasil, sering kali UU  Tindak Pidana Korupsi dikatakan berfungsi sebagai sarang laba-laba bagi perbuatan yang tidak kriminalitas sifatnya sehingga hukum pidana bukan lagi berfungsi sebagai guard dari hukum administrasi negara dan hukum perdata.

Meski demikian, dengan mengesampingkan kewenangan KPK, dapat diartikan bahwa penempatan aturan korupsi swasta pada Rancangan KUHP justru menciptakan kooptasi kelembagaan. Bahkan, memberikan stigma diskriminasi  kelembagaan penegak hukum jika (nanti) korupsi swasta mereduksi kewenangan  KPK tersebut.    

Ada pemahaman yang keliru dengan menyatakan bahwa KPK tidak memiliki otoritas terhadap pemeriksaan korupsi swasta karena basis KPK adalah pemeriksaan terhadap penyelenggara negara.  Kesan pandangan ini adalah bentuk delegitimasi institusi penegak hukum, khususnya terhadap KPK dalam menangani perkara korupsi sektor swasta.

 

Sebenarnya Rancangan KUHP telah memberikan solusi atas polemik ini dengan mencantumkan aturan peralihan pada  Pasal 763 Rancangan KUHP yang berbunyi, "Pada saat UU ini mulai berlaku, UU di luar UU ini yang mengatur hukum acara yang menyimpangi UU tentang Hukum Acara Pidana, ketentuan hukum acaranya tetap berlaku sepanjang belum diubah atau diganti berdasarkan UU tentang Hukum Acara Pidana yang baru."

Dengan pemahaman demikian, UU KPK yang mengatur pula hukum acara pidana secara khusus memberikan KPK suatu kewenangan memeriksa, tidak saja subyek, tetapi juga obyek perkara korupsi, baik di sektor publik maupun sektor swasta yang regulasinya diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi maupun (rancangan) KUHP. Hal ini sekaligus meniadakan kesan kooptasi dan dualisme regulasi korupsi dalam sistem hukum pidana, yaitu regulasi korupsi yang akan dibentuk berdasarkan KUHP dan yang dibentuk berdasarkan UU di luar KUHP dengan perbedaan penanganan dari penegak hukum, sesuai tujuan hukum pidana melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum.   

Maknanya, KPK sebagai lembaga penegak hukum tetap memiliki kewenangan yang sama dalam melakukan pemeriksaan korupsi di sektor swasta. Dengan demikian, prinsip Culpae poena par estotetap terjaga tanpa adanya kooptasi dan diskriminasi kelembagaan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi pada Rancangan KUHP.