Ujaran dan ekspresi intoleransi berbasis sentimen keagamaan dalam gelaran politik tidak dipandang sebagai tabu—alih-alih kejahatan elektoral—dalam praktik politik kita. Masih sangat minim upaya sistemik untuk membangun politik elektoral yang steril dari instrumentasi sentimen keagamaan provokatif untuk kepentingan pengumpulan suara, yang berdampak pula bagi eksklusi sosial anak bangsa yang berjumlah sedikit.
Mekanisme untuk menagih akuntabilitas sosial dari kampanye dan marketing politik absen. Intensi untuk mendekonstruksi banalitas intoleransi dari jagat politik nyaris nihil.
Hari-hari ini, beberapa ketua umum partai politik mulai memainkan isu agama untuk menghimpun impresi publik. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, seperti diberitakan beberapa media, mulai mengusik sentimen keagamaan di ranah publik dengan isu "kriminalisasi ulama". Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, yang juga Ketua MPR, mengusik sentimen keagamaan publik dengan menunggangi isu LGBT (lesbian,gay, biseksual, dan transjender).
Pelajaran buruk
Pilkada Jakarta merupakan contoh puncak dan pelajaran buruk dari banalitas intoleransi dalam kontestasi elektoral, di mana sentimen keagamaan digunakan untuk memenangkan pertarungan politik dengan ancaman, intimidasi, dan bahkan persekusi. Kampanye pilkada lebih banyak disesaki dengan pengafiran, pemunafikan, penolakan menshalatkan jenazah warga yang memiliki preferensi berbeda, dan praktik intoleransi lainnya, daripada kontestasi gagasan dan program kerja.
Jakarta bukan misal tunggal. Dua tahun sebelum itu, di Aceh Singkil, pilkada serentak diwarnai dengan tragedi pembakaran gereja HKI sebagai alat permainan politik kekuasaan menjelang pilkada serentak 2017. Teuku Kemal Fasya ("Memperbaiki Keberagaman Singkil",Kompas, 19/10/2015) menjelaskan, mobilisasi sentimen massa untuk melakukan pembakaran gereja sebenarnya sudah dilakukan secara terbuka beberapa hari sebelum kejadian. Hanya saja, aparat keamanan dan pemerintah setempat tidak mengambil tindakan responsif yang memadai. Sangat kuat kesan adanya upaya kapitalisasi situasi konfliktual kasus gereja tak berizin untuk kepentingan politik elite lokal. Di satu sisi, elite lokal tertentu memanfaatkannya untuk meraup suara mayoritas, di sisi lain untuk merebut simpati minoritas dengan janji-janji perlindungan di masa-masa mendatang.
Pola serupa juga penulis temukan di Aceh Singkil pada Pilkada 2012. Ketika terjadi penyegelan besar-besaran atas 20 gereja dan undung-undung oleh pemerintah setempat, elite politik lokal ikut bermain. Mereka tak secara serius berniat merencanakan resolusi secara permanen atas gesekan sosial yang terjadi. Sebaliknya, mereka malah melakukan politisasi sentimen keagamaan yang memicu reproduksi konflik keagamaan dalam skala mengkhawatirkan untuk kepentingan jangka pendek elektoral.
Cara pandang yang sama juga dapat kita gunakan untuk menjelaskan mengapa polemik pendirian rumah ibadah di Kota Bogor dan Kabupaten Bekasi, yaitu GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, tidak kunjung berpihak pada minoritas. GKI Yasmin sudah memenangi gugatan PTUN, hingga inkracht di tingkat peninjauan kembali (PK) MA pada 2009. HKBP juga memenangi perkara di tingkat yang sama sejak 2011.
Namun, hingga kini mereka belum bisa menikmati hak fundamentalnya untuk beribadah di rumah ibadah sendiri yang sudah memiliki kekuatan hukum kuat dan mengikat. Politisasi di daerah setempat mengangkangi putusan hukum MA. Elite politik di kedua daerah itu terus mengakomodasi aspirasi intoleran dari mereka yang mengklaim merepresentasikan mayoritas demi politik elektoral lima tahunan.
Pendekatan politiko-yuridis
Dalam konteks pilkada, banalitas intoleransi sudah seharusnya diperangi dengan keseriusan untuk melaksanakan agenda-agenda politiko-yuridis dalam menyelesaikan persoalan akibat berbagai ekspresi intoleransi secara retrospektif, aktual, dan prospektif. Terhadap persoalan-persoalan terdahulu yang terus berdampak pada restriksi hak-hak minoritas saat ini, lebih banyak dibutuhkan pendekatan politik dari pemerintah, khususnya pemerintah pusat. Warga negara dari kelompok minoritas yang jadi korban politisasi sentimen keagamaan di tingkat lokal harus segera mendapat rehabilitasi hak, restitusi, dan kompensasi di bawah penanganan langsung pemerintah pusat, mengingat bidang agama pada dasarnya merupakan kewenangan pusat.
Di ranah aktual dan prospektif, dibutuhkan pendekatan politik dan yuridis sekaligus untuk memastikan bahwa politik elektoral tidak melonggarkan ikatan kebangsaan dengan mendiskriminasi dan mengeksklusi mereka yang dari sisi kuantitas suara elektoral sedikit. Regulasi pemilu dan pilkada sebenarnya sudah mengatur larangan penggunaan isu-isu SARA (suku, agama, ras, antar-golongan). Namun, di level eksekusi, peraturan tersebut belum efektif.
Dalam konteks itu, kita layak mengapresiasi inisiatif Kepolisian Negara RI untuk membentuk Satgas Anti-SARA. Satgas ini dibentuk dalam rangka pilkada untuk memberikan prosedur legal bagi pencegahan dan penindakan atas tindakan politisi-politisi karbitan, tim kampanye, dan pendukungnya yang meletakkan politik kekuasaan di atas politik kebangsaan melalui instrumentasi strategi-strategi machiavellis yang memecah belah bangsa demi kepentingan pemenangan kompetisi dalam pilkada. Optimalisasi kerja-kerja legal dan sinergi kepolisian, KPU, Bawaslu, dan kejaksaan diharapkan akan mengurangi politisasi intoleransi.
Di atas itu semua, kita tentu harus meletakkan harapan di pundak para politisi agar mereka tak menggunakan populisme agama sebagai instrumen kontestasi yang nyata-nyata mengingkari politik kebangsaan yang diletakkan dan diteladankan oleh para pendiri negara-bangsa. Provokasi-provokasi intoleran yang membelah warga berdasarkan latar belakang keagamaan dan menciptakan eksklusi sosial kepada warga minoritas nyata-nyata potret ketidakberadaban politik yang harus segera disudahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar