Ihwal "Lema" dan "Jejar"
Barangkali masih banyak yang belum tahu arti kata lema karena relatif baru. Kata ini mulai digunakan para penulis dan media cetak, termasuk kolom "Bahasa" Kompas.
Lema dimaksudkan menggantikan kata entry dalam bahasa Inggris. Entry, sekadar mengingatkan, adalah kata dasar bagi kata yang dimaksud dalam kamus, baik kata benda, kata kerja, maupun kata sifat.
Kemajuan teknologi dan pemikiran, serta peristiwa baru, melahirkan kata-kata baru yang dimaksudkan sebagai entry dalam kamus. Sebaliknya, kata-kata yang tidak lagi digunakan akan terhapus dari kamus.
Kata lema sejatinya tidak (perlu) masuk kosakata bahasa Indonesia karena kata itu jelas berasal dari bahasa Italia: lemma, dengan dua m. Mengapa para ahli bahasa kita tidak mencari padanan dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti mirip?
Terbitan berkala Kata dari Fakultas Sastra UI, Depok —kalau tidak salah—pada salah satu edisinya tahun 2000 pernah mengajukan pilihan dua kata untuk menggantikan entry, yaitu lema dan jejar. Saya tidak tahu, mengapa lema diajukan sebagai salah satu pilihan, padahal dewan redaksi berkala Kata tentu tahu kata itu berasal dari bahasa Italia. Berkala Katabukan mingguan, mungkin terbit sekali tiga bulan, tebalnya tidak lebih dari 20 halaman, tanpa delamak dengan logo Fakultas Sastra UI.
Kalau tidak ada kata lain yang bisa menggantikan entry dan lema dalam bahasa Indonesia, barangkali jejar bisa dijadikan terjemahan kedua kata bahasa asing itu. Jejar mengingatkan pada jejerdan deret. Berjejer dan berderet arahnya ke samping, tetapi jejar mengarah ke bawah. Sublema bisa diganti dengan anak jejar.
Soegio Sosrosoemarto
Jalan Kepodang I, Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten
Ihwal Stop Reklamasi
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan terkesan menggampangkan penyelesaian persoalan reklamasi di Teluk Jakarta. Ia bahkan optimistis bahwa "stop reklamasi" bisa terlaksana karena dilandasi peraturan dan perundang-undangan yang ada.
Berbicara dengan gaya khas seorang cerdik pandai, di hadapan penonton televisi Anies Baswedan bahkan seperti sudah meyakini pernyataan "stop reklamasi" tidak luar biasa!
Optimisme pasti kita hargai, tetapi semua pernyataan tersebut jangan sampai bak hujan sehari pada musim kemarau. Hanya sesaat membasahi kemudian bumi kembali kering.
Gubernur memiliki kewenangan; itu sudah pasti. Namun, bisakah sendirian ia melaksanakan putusannya? Apakah para pengembang kawasan reklamasi dan masyarakat konsumen akan diam? Bagaimana nasib para investor yang sudah keluarkan triliunan rupiah? Akankah diabaikan nasib calon penghuni yang sudah transaksi miliaran rupiah?
Apakah semua lini birokrasi sepenuhnya mendukung langkah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan?
Selain tumpang tindih peraturan dan perundang-undangan kita, persepsi yang muncul, penyimpangan terjadi akibat masih belum hilangnya watak koruptif birokrasi.
Intinya, kebijakan pemimpin belum tentu dapat dukungan penuh birokratnya sebab belum seluruh birokrasi bekerja melayani, apalagi mengabdi kepada masyarakat. Saat ini idealisme semacam itu masih jauh panggang dari api.
Perlu pula diingatkan, selain pemerintah provinsi, masih ada pemerintah pusat. Kementerian dan lembaga negara terkait juga memiliki peraturan dan perundang-undangan tersendiri yang di banyak kasus belum sinkron satu sama lain.
Apalagi, ribuan peraturan daerah yang dianggap belum berpihak kepada rakyat telah menjengkelkan Presiden Joko Widodo. Rasanya tak cukup waktu lima tahun membenahi semua itu. Semoga isu "stop reklamasi" yang dikumandangkan Anies Baswedan bukan sarana politik belaka.
A RISTANTO
Sinar Kasih Jatimakmur,
Pondok Gede, Bekasi,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar